Selasa, 27 Oktober 2009

RONA UNGU DI RELUNG HATI MAWA

RONA UNGU DI RELUNG HATI MAWA
MAN Kembangsawit
Kebonsari, Madiun, Jawa Timur.

Bagian I
BERKUNJUNG KE PASAR

Matahari mulai mengintip dari balik awan. Sinarnya perlahan-lahan menerobos di semua penjuru jagad raya. Tampak panorama yang elok di ufuk timur. Menambah ketentraman di hati orang-orang yang menikmatinya. Burung-burungpun tidak mau ketinggalan menyemarakkan pagi cerah ini dengan suara kicauan khas yang merdu di dengar telinga. Inilah nikmat yang diberikan Allah pada makhluk-Nya yang wajib disyukuri.
Di depan rumah yang berukuran agak besar, tampak seorang perempuan berjilbab duduk di teras rumahnya. Sepertinya dia sedang menunggu kedatangan seseorang. Hal itu terlihat karena berkali-kali dia melihat jam tangannya yang terus berputar.
Lalu wajah yang tadinya berkerut berubah menjadi berseri ketika dilihatnya seseorang yang datang kerumahnya.
"Assalamualaikum!", ucap seseorang yang baru dating itu padanya.
"Wa'alaikumsalam!", balasnya.
Zaenab, yang duduk di teras rumahnya mengajak masuk tamu yang baru dating itu.
Kemudian ibunya Zaenab menemui tamu itu.
"Aisyah baru datang to! Dari tadi Zaenab menunggu kedatanganmu." Kata bu Rosi tatkala menyalami Aisyah.
"Aduh! Maafkan aku Zaenab! Soalnya tadi aku disuruh ibu pergi ke pasar dahulu membeli sayuran. Ya terpaksa aku dating terlambat ke rumahmu." Terangnya.
"Tidak apa-apa Aisyah! Kalau aku jadi kamu, tentunya aku akan melakukan hal yang sama sepertimu. Kalau begitu kita berangkat yuk."
Zaenab berpamitan kepada kedua orang tua tercintanya. Diciumnya tangan keduanya yang sudah mulai keriput. Sedang Aisyah hanya bersalaman saja.
Keduanya berangkat dengan mengendarai motor shogun warna biru. Terdengar bacaan basmalah oleh zaenab saat kendaraan mulai melaju. Aisyah mengendarai motor dengan santai.
Sebenarnya mereka berdua hendak mendaftar di sekolah Aliyah Serutsewu, Kebonsari, Madiun. Sekaligus mengunjungi pondok yang berada di dekat sekolahan tersebut.
Sepanjang jalan yang dilalui banyak air yang menggenang. Maklum saja karena tadi malam hujan turun membasahi bumi di musim penghujan ini. Membuat hati para petani bersyukur pada Allah karena tanaman di sawah menjadi segar dan tumbuh subur karena siraman air dari langit.
Ketika melalui jalan yang sepi, Aisyah melajukan kendaraannya dengan kecepatan yang tinggi. Zaenab yang biasa naik motor dengan kecepatan sedang, segera mengingatkan temannya supaya mengurangi kecepatan. Namun sia-sia saja karena Aisyah tidak menghiraukan peringatan Zaenab.
Disaat Aisyah lengah, tidak sengaja dia melewati jalan yang tergenang air, sehingga airnya terlempar jauh. Dan kebetulan ada seorang pemuda menenteng tas belanja di kedua tangannya sedang lewat disitu. Sehingga kejadian buruk menimpa pemuda yang mengenakan sarung itu. Baju dan sarungnya menjadi basah karena perbuatan Aisyah. Spontan kaki Aisyah menginjak rem motornya. Dengan perasaan yang bercampur aduk, dia menghampiri pemuda itu. Sedang Zaenab hanya diam di tempat.
"Maafkan atas kesalahan saya ya!" ucap Aisyah setelah berada di depan pemuda itu.
Namun pemuda itu tidak menghiraukan gadis itu. Ia masih sibuk meneliti barang belanjaannya yang juga ikut basah.
"Hallo! Aku minta maaf ya!" ulangnya sekali lagi.
Barulah pemuda itu menatap wajah Aisyah. Ada pesona tersendiri bagi Aisyah saat ia membalas tatapan mata indah milik pemuda itu.
Dan berkatalah pemuda itu kepadanya.
"Kamu hanya berkata maaf saja? Kamu tahu akibat perbuatan kamu?"
"Lalu apa yang harus aku lakukan agar kamu mau memaafkan kesalahanku?"Tanya Aisyah dengan perasaan menyesal.
Pamuda itu tidak menjawab pertanyaan Aisyah. Dia malah pergi meninggalkan gadis itu. Sehingga perasaan menyesal semakin memenuhi dadanya. Zaenab menghampiri temannya dan mengajak untuk melanjutkan perjalanan. Aisyah menyerahkan kunci motor kepada zaenab agar menggantikannya mengemudi.
"Aisyah! Lain kali kalau mengemudikan motor tidak usah ngebut. Sekarang sudah merasakan akibatnya bukan? Mungkin ini teguran Allah supaya kamu sadar."tuturnya menasihati Aisyah yang berubah menjadi murung.
Aisyah adalah orang yang mudah meminta maaf pada orang lain jika melakukan kesalahan. Tetapi jika kesalahannya tidak dimaafkan, dia akan merasa terbebani dengan kesalahannya.
"Sudahlah Aisyah! Toh kamu sudah minta maaf sama dia atas kesalahanmu yang tidak sengaja kamu lakukan. Kalau dia tidak memaafkanmu, itu haknya dia. Yang terpenting kamu memohon ampun sama Allah."lanjutnya.
Beberapa menit kemudia mereka berdua sudah sampai di sekolahan Aliyah Serutsewu. Wajah Aisyah yang mendung perlahan-lahan berubah cerah saat memasuki bangunan gedung bercat hijau yang dihiasi tumbuh-tumbuhan segar. Hatinya menjadi nyamankarena pemandangan yang berada di depan matanya. Zaenab sendiri sibuk memperhatikan gedung sekolah yang tertata rapid an indah.
Keduanya memasuki ruang pendaftaran. Di dalam ruangan tersebut penuh dengan siswa siswi yang sedang mendaftar sekolah. Zaenab sempat memperhatikan satu dari mereka yang sedang tes baca Al-Quran. Bacaan anak itu fasih dan mengalun indah. Akan tetapi ia memakai baju seragam SLTP. Sehingga auratnya kelihatan. Terlebih lagi ia seorang kaum hawa yang wajib menutupi semua badannya kecuali wajah dan kedua telapak tangannya.
Di dalam kerumunan orang banyak itu, mereka berdua tiba giliran tes baca Al-Quran. Setelah itu, diberikan pertanyaan yang berhubungan dengan fiqih. Syukur Alhamdulillah dua pemudi itu mampu untuk menjalankan tes tersebut. Mereka berharap di hari pengumuman penerimaan siswa baru nama mereka tercantum sebagai siswi baru di sekolahan tersebut.
Zaenab berjalan-jaln untuk melihat seisi gedung sekolahan tersebut. Sedang Aisyah duduk di depan ruang pendaftaran bersama peserta lain yang belum dikenalnya.
Tatkala melewati sebuah masjid, tidak sengaja ia melihat sepasang muslim dan muslimah duduk berdekatan di samping rumah Allah yang suci. Dia melihat suasana yang seharusnya tidak pantas dilakukan oleh orang yang bukan muhrimnya. Zaenab cepat-cepat membalikkan badannya agar matanya terhindar dari pemandangan yan tidak diperbolehkan dalam agama Islam. Karena ceroboh kakinya menyandung batu besar yang tepat berada di depan kakinya. Hingga keluarlah teriakan mengaduk karena sakit. Tentu saja hal itu membuat dua anak adam itu menoleh kea rah Zaenab. Sebelum terjadi apa-apa, dia segera meninggalkan tempat itu.
Zaenab berjalan tertatih-tatih sambil merintih dengan suara lirih hamper tidak terdengar telinga. Beruntung kakinya hanya memar tidak sampai berdarah.
Dari arah utara tampak Aisyah menghampiri dirinya. Gadis keras kepala itu melongo melihat cara berjalan Zaenab yang tidak teratur.
"Kenapa Nab kakimu? Tanyanya dengan nada menggoda.
Yang ditanya hanya manyun satu meter. Zaenab tidak suka dipanggil dengan panggilan "Nab". Karena panggilan itu terlalu kuno buatnya.
"Mbak Zaenab, kenapa dengan kakimu?"tanyanya sekali lagi.
"Nah, begitu dong! Baru aku mau jawab. Tadi kakiku tersandung batu."
"Kenapa bisa kesandung?"
"Ya…..namanya orang berjalan nggak lihat-lihat begini akibatnya. Beruntung Cuma memar saja."
Percakapan mereka berhenti di tempat parkir. Aisyah menuntun motornya keluar gerbang. Dua remaja itu hendak mencari letak pesantren yang tidak jauh dari Aliyah Serutsewu. Dan tadi Aisyah mencari informasi tentang pondok tersebut pada salah satu panitia yang berada di ruang pendaftaran ketika Zaenab meninggalkannya sendirian.
Dari sekolahan tersebut Aisyah mengemudikan kendaraannya menuju arah barat. Disitu ada parempatan jalan, dia belok ke selatan. Panitia tadi mengatakan kalau setelah menuju ke arah selatan ada jalan pertigaan, nanti belok ke timur jika ada bangunan masjid berada di seberang selatan jalan dan bercatb hijau, maka pondoknya berada di dekat masjid tersebut.
Aisyah mengikuti petunjuk tersebut. Akhirnya dia berhenti di samping bangunan masjid yang dimaksudkan panitia tersebut. Suasananya asangat sepi. Tak satupun orang lewat di sekitar masjid. Zaenab menoleh ke semua penjuru berharap akan ada orang yang lewat supaya dia bias bertanya. Tiba- tiba saja Aisyah menepuk bahunya sehingga ia jadi kaget karenanya.
"Nab lihat itu ada tulisan pondok pesantren. Lihat tuh! Masuk yuk!" katanya sambil jari telunjuknya mengarah ke tulisan tersebut.
Zaenab manyun lagi karena dipanggil dengan panggilan "Nab". Aisyah yang tidak sadar telah membuat sebel temannya segera nyelonong masuk gerbang jalan menuju pondok. Sementara kendaraannya di parkir di samping masjid itu. Kemudian Zaenab menyusul di belakangnya.
"Ini pondok apa kandang ayam sih?"kata Zaenab spontan karena dilihatnya halaman penuh daun-daun kering dan plastik.
Ternyata ada seseorang yang mendengar ucapan Zaenab. Orang itu menampakkan dirinya di depan pintu kamar pondok.
"Mbak! Yang jelas ini adalah pondok!"kata seorang laki-laki itu tiba-tiba.
"Maaf! Habisnya halaman ini kotor sih." Ucap Zaenab semakin lirih karena menahan rasa malu.
"Sebenarnya mbak-mbak ini mau kemana?"tanyanya dengan sopan.
"Ya kami mau mencari pondok Serutsewu. Apakah ini pondok yang kami cari?" Tanya Zaenab.
"Iya,ini memang pondok Serutsewu,tapi untuk santri putra. Kalau santri putrid letaknya di seberang utara jalan, tepatnya di belakang dalemnya Pak Kyai. Lebih baik mbak-mbak mengenal lebih dahulu pondok ini. Untuk itu mari ikut saya ke pondok diniyah."
Zaenab dan Aisyah mengikutinya dari belakang. Saat pintu kantor dibuka, tampaklah hiasan dinding berupa kaligrafi yang dibuat oleh tangan-tangan kreatif memenuhi tembok. Meskipun berukuran sempit tidak menjadi masalah, karena penataan peralatan yang tertata rapid an didukung adanya hiasan-hiasan dinding membuat kantor mungil itu nyaman untuk ditempati.
Laki-laki itu mempersilahkan duduk dengan sikap yang masih sopan, sehingga membuat kedua remaja itu menjadi sungkan.
"Sebentar mbak, saya panggilkan Kang Habibi dulu. Saya tinggal dulu mbak. Permisi!"
Keduanya hanya mengangguk tanpa mengeluarkan kata-kata. Zaenab memperhatikan jadwal pelajaran diniyah yang terpajang di samping jendela, di melakang kursi yang didudukinya. Disitu tertulis jelas ada kitab sulam taufiq, khulashoh, risalatul musthahadhoh, nahwa dan masih banyak lagi. Dia hanya bengong membaca nama-nama kitab yang belum pernah ia ketahui sebelumnya.
Lalu terdengar suara salam dari seseorang yang baru datang. Suara itu terdengar lebih sopan lagi dibandingkan dengan pemuda sebelumnya. Dia dating sambil membawa nampan yang berisi dua gelas air the.
"Silahkan diminum mbak!"katanya kemudian.
"Iya, terima kasih!"ucap Zaenab.
Aisyah hanya diam saja. Pikirannya melayang tidak karuan. Sebenarnya ia masih agak ragu dengan rencananya untuk mondok. Karena keputusan itu diambil disaat hatinya sedang kalut,. Kacau, dan gundah. Ia memilih mondok supaya bias melupakan kekasihnya yang telah menghianatinya.
Kang pondok itu memberikan keterangan yang jelas dan lengkap tentang pondok Serutsewu sesuai dengan kenyataan yang ada tanpa dikurangi maupun ditambah.
Setelah merasa puas akan penjelasan pemuda itu, keduanya pamit pulang.
Keluar dari kantor diniyah, Zaenab menyeringai kepanasan karena terik matahari yang terlalu menyengat. Tepatnya matahari berada diatas kepala.
"Bagaimana Aisyah? Apa kamu semakin berniat nyantri disini?"katanya setelah menaiki motor.
"Iiy…..ya deh!"ucapnya dengan berat hati.
Zaenab diam sejenak mencerna jawaban temannya.
"Aisy! Kalau kamu masih ragu, nanti malam aku saranin sholat malam deh. Minte petunjuk kepada-Nya."
"Shalat malam? Shalat apa namanya?"
"Namanya Shalat istikhoroh. Ibaratnya kamu sedang bingung menghadapi dua pilihan seperti yang kamu rasakan sekarang. Mondok atau tidak." Terangnya dengan pasti.
"Tapi aku gak bias tata cara shalatnya." Katanya sambil menancap gas meninggalkan pesantren.
"Tata cara shalatnya sama saja dengan shalat biasa. Shalat istikharah terdiri dari dua rokaat. Soal niat plus doa ada di buku. Nanti aku pinjami."
Aisyah tersenyum manis karena dirinya merasa diperhatikan oleh Zaenab.
Sebenarnya Aisyah adalah lulusan SLTP Negeri 1 Geger, sekolalhan tingkat SLTP yang terfavorit di kecamatan Geger. Dia termasuk lulusan yang menyandang nilai terbaik nomor tiga dari tiga ratus siswa. Hanya saja dalam ilmu agama dia ketinggalan jauh. Sehingga dia berencana ingin mengenyam pendidikan agama di pesantren. Sedang Zaenab siswi luilusan MTs Tri Bakti yang terletak di Pagotan. Sekolahan tersebut masih dalam tahap berkembang belum begitu maju. Tapi bagi Zaenab hal itu idak menjadi masalah. Yang terpenting baginya adalah mampu melaksanakan dan mengamalkan ilmu yang didapatnya. Terlebih ilmu agama yang mengajarkan manusia menjadi manusia yang seutuhnya yan beriman dan bertaqwa kepada Allah AWT. Sehingga wajar saja kalau dirinya lebih mahir disbanding Aisy dalam hal ilmu Agama.
********************
Bagian 2
KEPENGURUSAN PONDOK

Angin malam yang dingin menggerakkan daun-daun lebat sehingga kelihatan bergoyang-goyang mengikuti irama yang mengalir. Baying-bayang dedaunan tampak berwarna hitam gelap samara-samar terlihat. Suasana di pedesaan sungguh terlihat sepi. Hanya sesekali terdengar suara burung hantu dengan suara andalnnya yang bias membuat orang lemah imannya menjadi berdiri bulu kuduknya alias merinding.
Dari luar kamar pondok, terdengar lantunan ayat-ayat suci Al-Quran yang dibacakan dengan fasih dan merdu. Namun suaranya tiba-tiba berhenti.
Kang Habibi menutup Al-Quran Al-Karim seraya mencium kitabullah tersebut. Karena ada kang santri yang mencarinya.
"Ada apa kang Rohman?" tanyanya setelah meletakkan Al-Quran pada tempatnya.
"Ah……..tidak apa-apa kang. Ya hanya ingin ngobrol santai saja." Tuturnya sambil membenahi posisi songkoknya.
"Ah……..kirain ada apa-apa. Kang rohman tadi pagi kulihat bajumu basah semua. Memamg tadi di pasar turun hujan ya?" Tanya Habibi asal ngomong.
"Oh…….tadi ya. Yah gara-gara ada perempuan naik motor nabrak genangan air pas aku lewat disitu. Akibatnya bajku jadi basah. Belum lagibelanjaannya jadi kotor."
"Kamu mengenali perempuan itu?"
"Tidak. Aku tidak kenal. Tapi kang, aku menyesal karena aku tidak memberi maaf perempuan itu. Padahal ia sudah minta maaf dengan sungguh-sungguh, eh……aku malah pergi meninggalkannya begitu saja."
"Lain kali kalau hal seperti itu terulang lagi, kamu harus bias menjadi orang yang pemaaf. Aku tahu kamu mudah emosi. Tapi InsyaAllah kalau kita berusaha, pasti bias mengendalikan nafsu syetan."
Kang Rohman mengangguk perlahan meresapi nasehat temannya.
Kang Rohman pamit keluar kamar hendak pergi kekamar mandi. Tangannya memegang perutnya yang buncit. Dapat dipastikan kalau ia hendak buang hajat.
Sedang kang Habibi pergi ke kamar atas menemui kang Tholib. Orang yang akan ditemuinya itu adalah ketua pondok pesantren Subulul Huda Serutsewu. Ia memegang jabatan sebagai pimpinan sudah lima tahun lamanya. Usianya sekarang mencapai dua puluh lima tahun. Dalam menangani masalah pondok, dia dikenal ulet, bijaksana dan tegas. Sehingga tek heran ia menjadi anak emas di pesantren tersebut. Kang Habib sendiri adalah anak buah kang Tholib. Dia memegang jabatan sebagai pengurus bagian keamanan. Tugas itu dipegangnya sudah tiga tahun sampai saat ini. Jabatan pengurus ia raih ketika umurnya tujuh belas tahun pada sat kelas dua aliyah.
Sampai di kamar atasdia tidak menemukan kang Tholib. Ada yang mengatakan kalau kang Tholib berada di masjid.
Dia membersihkan kedua telapak kakinya diatas keset yang berada di teras masjid sebelum memasuki tempat ibadah itu. Matanya menatap tajam kea rah jam dinding yang telah menunjukkan pukul 23.40
Dia mengucap salam tatkala melihat kang Tholib berada di serambi masjid.
"Assalamualaikum kang Tholib." Sapanya.
"Waalaikumsalam. Pasti mau laporan tentang kang Yayan to?" katanya menebak.
"Kok sudah tau kang?" kata kang Habib tak mengerti.
"Tadi sebelum kamu kesini ada yang lapor tentang kang Yayan padaku. Masalah kebersihan pondok bukan?"
"Iya kang! Tadi pagi kang Syafi'a mendengar perkataan seseorang yang berkunjung kesini untuk sekedar melihat pondok. Katanya sih ini pondok apa kandang ayam. Otomatis kalau ada yang berkomentar seperti itu berarti memang sudah keterlaluan."
"Siapa yamg berkunjung kesini kang?"
"Tadi ada dua perempuan yang ingin mondok ke sini. Tapi sebelumnya mereka mencari informasi dulu. Kalau cocok, ya mondok di sini. Kalau tidak salah mereka dari Jogodayuh."
Mereka berdua mengakhiri perbincangan sampai pukul 00.10. kang Habib kembali ke kamar hendak tidur. Kang Tholib sendiri mengurangi waktu tidurnya untuk membaca kitab tafsir jalalain yang merupakan tafsir Al-Quran. Itulah kebiasaan kang Tholib, selalu memuraja'ah atau mengulangi pelajaran yang baru diajarkan oleh ustadz. Ustadz yang mengajarkan kitab tersebut adalah Gus Yusron putra pertama dari alumnus bapak Kyai Abdullah pemilik Pondok Serutsewu.
Gus Yusron beberapa tahun yang lalu pernah mengenyam pendidikan di Damascus selama 4 tahun. Di sana juga beliau menemukan pendamping hidupnya yang sesama mahasiswa. Istri beliau berasal dari kalangan Pondok Gedhe yaitu putrid Kyai Bashir dari Kediri
Dari sepasang suami istri tersebut lahirlah 4 putra. Pertama bernama bernama Siti Fathonah yang saat ini telah menikah dengan Kyai Sidiq dari Sragen dan telah dikaruniai dua anak. Lima tahun kemudian putra kedua Zainal Musthofa melangsungkan pernikahan di Pondok Sarang, Jepara dengan seseorang yang telah di jodohkan dengannya oleh Kyai Sarang. Istrinya berasal dari keluarga sederhana. Kedua mertuanya seorang petani di daerah cepu. Sedang Sofyan Hanafi putra Gus Yusron ke tiga. Ia masih sekolah di sebuah Madrasah Aliyah di Jombang. Putra terakhir seorang laki-laki masih berumur lima tahun, Bayu Taufiqurrahman biasa dipanggil Gus Bayu, yang terakhir ini sangat pandai dengan umurnya yang masih belia.
Gus Yusron mempunyai tiga saudara yang masing-masing sudah membangun keluarga sendiri-sendiri, yang bermukim di Serutsewu hanya beliau seorang, sehingga Pondok Subulul Huda hanya dipegang oleh beliau.
Malam semakin larut, hanya terdengar suara Jangkrik di rerimbunan semak-semak liar di belakang pagar pondok. Seolah-olah hewan-hewan kecil itu berdzikir mengumandangkan asma-asma Allah yang mulia. Hembusan angin yang ramah menyapa lembut menyentuh sekujur tubuh menambah kenikmatan kala mata tertutup rapat-rapat, terbawa hanyut oleh bunga-bunga tidur yang semu.
Lampu penerang kamar mandi menyala terang tatkala ada seseorang masuk ke dalam tempat itu, laki-laki itu menggosok gigi sebelum mensucikan diri dari hadats kecil. Ia berusaha membuka matanya lebar-lebar untuk mengusir rasa kantuk yang sangat. Namun tidak juga berhasil. Ia paksakan tangannya menyentuh air pancuran yang dingin. Perlahan-lahan ia mulai membasuh mukanya diiringi niat berwudlu dalam hati. Ia basuh mukanya tiga kali. Kemudian anggota-anggota badan lainnya yang harus disucikan. Tak lupa sunnah-sunnah wudlu juga ia sempurnakan.
Kedua tangannya menengadah ke atas membaca doa usai wudlu. Diresapinya lafaz-lafaz yang meluncur begitu saja dari bibirnya. Pemuda itu melangkah dengan pasti menuju masjid Pondok hendak melaksanakan shalat malam. Kaki kanan ia dahulukan tatkala memasuki masjid. Pandangannya menerawang ke langit-langit masjid yang berhiaskan barisan tulisan kaligrafi.
Dalam keheningan malam ia memasrahkan dirinya sepenuh hati untuk bermunajat kepada Sang Khaliq. Untuk memohon ampunan dan rahmat dari Yang Maha Kuasa. Selepas shalat malam, Habibi melantunkan ayat-ayat suci yang berisi firman-firman Allah yang tidak ada keraguan sedikitpun di dalamnya.

Bagian 3
KEKHILAFAN
Pagi dinihari saat sang surya merangkak perlahan santri putra bekerja bakti membersihkan lingkungan pondok yang dipenuhi oleh plastik jajan dan dedaunan yang jatuh di halaman pondok Halaman pondok yang demikian luas membuat mereka kewalahan untuk mencabuti ilalang yang tumbuh liar di situ. Tapi pekerjaan akan akan terasa ringan jika dikerjakan dengan gotong royong. Apalagi jumlah santri putra sekitar enam puluh orang. Dari enampuluh santri ada beberapa yang tidak ikut kerja bakti seperti kang Habib karena menjaga koperasi, juga Kang Rahman yang pergi berbelanja di pasar membeli keperluan bahan makanan untuk dimasak oleh Mbak Binti yang juga nderek ndalem. Dalam sehari Mbak Binti memasak dua kali. pagi dan sore, soalnya semua santri mendapat jatah makan dua kali dalam sehari.
Pada awal bulan, semua santri membayar uang makan untuk satu bulan pada santri yang dipercaya oleh keluarga ndalem. Santri putra biasa membayar pada Kang Rahman, sedang santri putri menyerahkan uang makan pada Mbak Isti.
Ketika sedang asyik mencabuti rumput, Yayan dipanggil oleh Kang Tholib, Ketua Pondok. Kang Tholib mengajaknya masuk ke dalam Kantor Diniyah. Mereka berdua menjadi pusat perhatian berpasang-pasang mata yang memperhatikan gerak-gerik mereka.
Wajah yayan berubah menjadi pucat pasi tatkala Ketua Pondok itu menatap ke arahnya dengan tajam setelah ia berada di dalam kantor. Kang Tholib menjelaskan tujuannya memanggil anak buahnya itu. Mendengar penuturannya Yayan tertunduk merenungi kesalahannya, ia telah lalai mengurusi masalah kebersihan. Ia pun mengakui kesalahannya tersebut.
"Kang satu lagi yang mengganjal di hatiku. Kemarin kamu ada urusan apa di madrasah aliyah?"tanyanya mendelik.
"E…..Anu kang, ngantar Kang Shodikin mendaftar sekolah, saya ingin mengantar karena dia kan santri baru." Jelasnya berbohong.
"Memangnya Kang pondok yang sebaya dengan santri baru itu tidak ada?" tanyanya.
"Ada kang, tapi sudah berangkat duluan."
"Sudahlah Kang Yayan, kamu tidak usah berbohong. Aku tahu apa yang kamu lakukan di sekolahan itu. Janjian dengan mbak Laila to?"
Yayan tak berkutik dengan tembakan pertanyaan ketua pondok tersebut. Perasaannya semakin tidak tenang, ingin rasanya ia melarikan diri dari ruang persidangan itu. Matanya tak berani menatap Kang Tholib. Itu tanda bahwa tuduhan itu benar adanya.
"Kenapa menunduk Kang, benar apa yang ku katakana tadi?"
Yayan hanya mampu mengangguk lemah.
"Kang bukankah kamu di sini menjabat pengurus, tentunya sudah tahu kewajiban yang harus kamu lakukan, seharusnya kamu bisa menjadi teladan bagi santri-santri lainnya. Apakah pacaran itu sunnah, hingga kamu harus berbohong untuk melakukannya?"
Kang Tholib diam sejenak berusaha melawan amarahnya. Berkali-kali ia membaca istighfar.
"Kang Yayan, berdekatan dengan lawan jenis yang bukan muhrim itu sudah jelas tidak di perbolehkan oleh agama, apalagi pacaran?"
"Maafkan atas kekhilafan saya Kang, saya berjanji tidak akan mengulangi kesalahan untuk kedua kalinya." Kata Yayang memberanikan diri.
"Baik, tapi bagi santri siapapun yang melakukan kesalahan wajib di ta'zir, walaupun ia seorang pengurus, sebagai kebijakannya, mulai hari ini sampai dua minggu yang akan datang, kamu bersihkan masjid sampai debu satupun tidak tampak di mata. Dan selama satu bulan kamu dilarang keluar dari pondok, ku harap kamu mampu mengerjakan dengan baik dan hati yang ikhlas."
Yayan melangkah gontai menuju masjid, ia merasa dunia akan kiamat. Rasa malu meliputi ruang lingkup hati kecilnya. Dia duduk sendirian di masjid merenungi kekeliruan yang telah diperbuatnya. Sambil lidahnya berkomat-kamit melantunkan Zikir. Hampir saja butiran bening meluncur di pipinya. Diusapnya butiran kristal itu dengan sarung yang dikenakan saat ini. Ia merasa sangat menyesal atas semua kesalahan yang telah dilakukannya. Tapi sesal kemudian tiada guna.
Bagian 4
Tiba di Pesantren
Zaenab menarik nafas panjang menahan kecewa setelah mengetahui Aisyah membatalkan rencananya mondok di Pondok Subulul Huda. Ternyata Aisyah lebih memilih sekolah SMU favorit di Madiun daerah perkotaan. Keputusan itu diambilnya sendiri tanpa melakukan munajat kepada Allah seperti dianjurkan oleh Zaenab agar melaksanakan shalat Istikharah beberapa hari yang lalu.
Zaenab segera menghapus bayangan rasa kecewa. Yang memenuhi pikirannya sekarang hanyalah kesiapan dirinya untuk meninggalkan semua yang ada dirumahnya. Siap untuk meninggalkan kedua orang tua dan kakak perempuannya demi menuntut ilmu di Pondok.
Setelah berpamitan dengan tetangga terdekat, Zaenab diantarkan keluarganya menuju pondok pesantren yang diharapkan akan mencetaknya menjadi seorang wanita yang berakhlak karimah. Suasana hiruk pikuk di dukuhnya membuat dirinya semakin berat hati untuk melepaskan semuanya. Hingga membuat bola matanya berkaca-kaca membendung air mata yang hampir ambrol. Tanpa ia sadari, sang ibu telah berada dihadapannya. Wanita yang sangat dicintainya itu memberikan rangkaian nasehat yang penuh makna bagi seorang anak. Rasa haru mengiringi perjalanannya menuju sebuah tempat untuk menemukan jati diri yang sesungguhnya.
Sesampainya di Pesantren, mereka sowan pada Gus Yusron. Pak Hamid mengutarakan maksud kedatangannya sowan ke ndalem yang tak lain untuk memondokkan putrinya, Zaenab. Kedatangan mereka disapa hangat oleh Gus Yusron.
Beberapa menit telah berlalu, keluarganya pamit undur diri. Hal itu membuat Zaenab semakin sedih karena mulai nanti malam ia tidur tanpa ditemani nyanyian nyamuk-nyamuk yang bersarang di kamarnya, senyum yang selalu mengembang di wajah orang-orang yang dicintainya dan kata-kata bermakna yang menjadi motivasinya yang tak akan pernah bisa terhapus dari memorinya.
Dia melepas kepergian keluarganya dengan menderaikan air mata kasih yang menguraikan cerita hatinya saat ini.
Barang-barang milik Zaenab dibawa masuk ke pondok oleh seorang santriwati. Ia berjalan di belakang perempuan yang menjinjing tasnya.
Saat memasuki pintu gerbang pondok putrid, sangat terasa asing baginya. Suasananya begitu tenang sehingga membuat pikirannya kembali jernih.
Perempuan itu mengajaknya masuk ke dalam kamar pondok paling selatan. Disana terdapat tulisan angka satu di atas pintu kamar yang dimasukinya.
"Assalamu'alaikum!" sapa Zaenab pada mbak-mbak pondok yang berada di dalam kamar satu.
"Wa'alaikumussalam!" jawab mereka.
Zaenab menyalami mereka satu persatu. Beberapa dari mereka menanyainya, mulai dari nama, rumah, asal sekolah dan lain-lainnya.
"Namanya siapa, mbak?" Tanya seseorang yang telah membawakan tasnya.
"Namaku Zaenab al-Mawadah"
"Panggilannya?"
"Terserah mbak deh, mau panggil apa"
"Karena di pondok yang panggilannya Zaenab sudah ada. Aku panggil kamu dek Mawa aja. Panggilan yang indah kan?!"
Zaenab hanya tersenyum. Wajar saja kalau dirinya masih terasa asing untuk berbincang-bincang dengan mereka. Ia mendengarkan penjelasan tentang peraturan pondok oleh ketua pondok putri, yang biasa dipanggil mbak Santi.
Mawa baru berani bicara, saat di dalam kamar itu hanya tinggal dia dan Santi. Mereka berdua membicarakan tentang dunia kepesantrenan.
"Mbak Santi, yang ngepel lantai itu siapa, sudah rajin, cantik, rajin bersih-bersih, pasti orangnya baik?" Pujinya pada seseorang santriwati yang sedang membersihkan lantai teras pondok.
"Kamu terlalu polos dek. Dia membersihkan lantai karena mendapatkan ta'ziran dari pondok."
"Ta'….zi..ran, apa itu mbak?"
"Ta'ziran adalah sanksi atau hukuman. Laila dita'zir karena kepergok berpacafran dengan kang pondok di masjid Aliyah"
"Di masjid Aliyah, sepertinya aku tidak asing melihat wajah mbak Laila." Katanya sambil mengingat-ingat.
"Oh….aku ingat, aku pernah melihatnya berciuman dengan seorang laki-laki di samping masjid." Ucapnya spontan.
"Apa? Berciuman?" Tanya santi kaget.
"Astaghfirullahal'azim!"
"Kenapa dek Mawa?"
"Aku berdosa karena membuka aib orang lain."
"Tapi untuk yang satu ini membantu pengurus, berarti Laila harus ditambah ta'zirannya."
Diam-diam ada yang mendengarkan pembicaraan mereka berdua. Dan kebetulan yang emnguping adalah Isma, sahabat Laila. Tanpa menunggu lama Isma menghampiri Laila yang masih sibuk mengepel lantai.
Isma menceritakan tentang apa yang dibicarakan oleh ketua pondok dengan santri baru pada Laila. Hal ini membuat Laila menjadi semakin panas hatinya. Ia masih belum ikhlas menerima hukuman yang diberikan padanya. Rasa benci perlahan merasuk ke dalam darahnya. Apalagi ditambah laporan tanpa sengaja yang diberikan oleh santri baru pada ketua pondok putri.
"Namanya siapa sih?" Tanya Laila manggerutu.
"Zaenab al-Mawaddah"
"Zaenab, Aku tidak akan tinggal diam padamu." Ungkapnya ketus.
Sore hari, menjelang petang, Zaenab sibuk membersihkan kamar yang ditempatinya. Banyak baju-baju yang tidak diletakkan pada tempatnya. Apalagi bungkus jajanan yang berserakan di lantai. Padahal penghuni kamar satu hanya lima orang. Mereka adalah Binti, Zaenab Bintan Sholikatin, Indah, Azizah dan Zaenab sendiri.
"Dek Mawa, maaf ya, kamarnya masih kotor" tutur mbak Binti ketika melihatnya sedang membersihkan kamar.
"tidak apa-apa mbak. Soalnya mbak-mbak kelihatan masih sibuk semua. Karena saya nganggur, tidak ada salahnya jika saya bersihkan."
Binti merasa malu karena seharusnya santri lama mengajarkan kebaikan bukan keburukan. Menjaga kebersihan kamar sudah mutlak hukumnya. Tetapi ternyata hal itu masih menjadi teori saja, belum ada pengamalannya.
Sebenarnya setiap kamar sudah ada jadwal piketnya, hanya saja belum dikerjakan dengan sebaik-baiknya.
Pondok putri mempunyai lima kamar dimana setiap kamar dihuni minimal empat orang. Tahun ajaran sebelumnya, jumlah santriwati sebanyak sembilan belas orang. Dan sekarang tahun ajaran baru bertasmbah enam orang sehingga menjadi dua puluh lima santriwati. Berarti setiap kamar dihuni lima santri.
Setelah kamarnya menjadi bersih, ia melangkahkan kaki menuju tempat berwudlu. Karena sudah menjelang waktu shalat maghrib. Santri lama yang masih asyik duduk santai di depan teras, terheran melihatnya. Biasanya santri baru paling mulek kalau disuruh shalat berjamaah. Dengan alas an belum terlatih dari rumah. Tetapi ternyata santri baru yang satu ini berbeda dengan mereka.
Mawa berangkat ke masjid bersamaan dengan bergemanya seruan panggilan Allah. Langkahnya mantap dan wajahnya yang cerah menyimpan benih-benih ketakwaan terhadap sang pencipta Yang Maha Agung.
Tetapi dalam hatinya saat ini, muncul kata rindu tak terhingga pada keluarganya di rumah.
Bagian 5
TIMBULNYA MAHABBAH

Tiga hari setelah kedatangan santri baru, Ulfa yang baru saja lulus Aliyah, sowan kendalem hendak pulang boyong dari pondok.dua tahun lamanya ia mengabdikan diri ke ndalem membantu membersihkan rumah kyai. Setiap hari tugasnya manyapu lantai ndalem yang berukuran cukup luas itu dua kali dalam sehari. Pagi dan sore. Sore hari setelah menyapu, dia mengajk koperasi pondok milik ndalem.
"Mbak Ulfa, menurut pendapatmu siapa yang mampu menggantikan tugasmu membersihkan ndalem?"Tanya istri Gus Yusron.
"Menurut saya dan mbak binti, dek Zaenab santri baru ibu."ucapnya lemah lembut.
"Kalau dia tepat menurutmu, ibu nderek saja."
Beberapa hari kemudian, Mawa ditimbali oleh Ibu Nyai. Tentu saja ia merasa kaget, takut-takut kalau dirinya telah melakukan kesalahan.
"Nduk, beberapa hari yang lalu, mbak Ulfa sudah pulang boyong dari pondok sehingga tugas yang biasa dikerjakannya belum ada yang menggantikan. Bagaimana kalau kamu menggantikan tugas itu?" tutur Ibu Nyai lembut.
"Alhamdulillah saya selalu siap menerima tugas dari Ibu."
Mulai sekarang dan seterusnya Zaenab berkewajiban membersihkan ndalem.
Setelah ditimbali, sekarang juga Mawa menyapu lantai rumah.
Ketika sedang menyapu ruang tamu, ada kang santri yang datang hendak membenahi lampu. Mawa melangkah keluar.
"Mbak, nyapunya dilanjutkan saja. Saya hanya sebentar disini." Kata kang santri yang datang itu.
Mawa hanya mengangguk pelan. Dia melanjutkan pekerjaannya.
Pemuda itu naik di atas meja supaya tangannya bias meraih lampu. Tapi tiba-tiba saja meja yang dinaikinya roboh karena kaki meja ada yang patah.
Krak…..brak……..
"Aduh!"
"Astaghfirullahal'azim!" Ucap Mawa spontan. Ia menghampiri pemuda itu.
"Kang ada yang terluka?"
"Tidak ada mbak. Hanya keseleo saja. Nanti juga sembuh sendiri." Ucapnya sambil menahan sakit.
Mawa tidak bisa melakukan apa-apa. Ingin membantunya berdiri, tapi bukan muhrimnya. Apalagi di pondok ada larangan bahwa putra-putri tidak boleh berdekatan.
Dengan susah payah, barulah dia bisa berdiri.
"Astaghfirullahal'azim!" Ucap Mawa lagi.
"Ada apa mbak?"
"Ada darah di kakimu, kang!" kata Mawa sambil menunjuk luka itu.
"Ah…tidak apa-apa, hanya luka kecil."
"Tunggu sebentar kang"
Mawa mencari kotak obat. Tapi ia kesulitan mencarinya karena pertama kalinya dia masuk ndalem.
"Mencari apa mbak Mawa?" Tanya bu Nyai yang tiba-tiba datang.
"Mencari kotak obat Buk, untuk mengobati kang pondok."
"Kang pondok siapa?"
"Saya tidak tahu namanya. Tadi dia sedang memperbaiki lampu. Tiba-tiba saja meja yang dinaikinya roboh dan dia terjatuh"
"Ya Allah, terjatuh?" Ucap beliau terkejut.
Ibu Nyai mengambil obat sendiri, beliau menghampiri santrinya yang terluka. Zaenab mengikuti beliau dari belakang.
"Kang Habibi to! Mana yang sakit?" Tanya beliau.
"Hanya luka kecil saja bu, nanti saya obati sendiri saja di pondok" Jawabnya pelan.
"Ya sudah, lain kali hati-hati, ini obatnya" Beliau keluar dari ruangan itu.
Zaenab melanjutkan pekerjaannya.
"Mbak, syukron katsiron!" ucap Habibi berterimakasih.
"Apa kang?" Tanya Zaenab yang belum mengerti maksud dari kata-kata itu.
"Terima kasih banyak, mbak"
"Tidak usah berterimakasih, saya kan tidak melakukan suatu hal untuk menolongmu?"
"Meskipun tidak berbuat sesuatu, tadikan mbak jadi panic melihat luka saya. Berarti mbak ini hatinya mudah tergerak untuk menolong orang lain."
Kang Habibi meninggalkan ruang tamu.
Zaenab diam tak bergeming dari tempatnya. Hatinya terbawa hanyut oleh ucapan Habibi. Meskipun kata-katanya sederhana, tapi mampu memunculkan sensasi baru di dalam hati kecilnya. Karena cara penyampaian dan ekspresi Habibi begitu indah di pelupuk mata yang kemudian mengalir begitu memikat. Hingga turun ke hatinya.
Zaenab yang segera beristighfar ketika sadar dari lamunannya, memompakan kata-kata motivasi untuk dirinya, sembari berkata kepada dirinya sendiri.
"Zaenab, kamu tidak boleh menyimpan perasaan seperti ini. Belum waktunya untuk memikirkan masalah cinta. Yang terpenting, harus belajar sungguh-sungguh di pondok. Jangan sampai belajarmu jadi berantakan karena godaan cinta. Apalagi di saat usiamu masih terlalu muda." Tutur Zaenab menasehati dirinya sendiri.
Setelah merampungkan tugasnya. Zaenab dipanggil oleh bu Nyai. Dia disuruh untuk mengantarkanb makanan pada Habibi di koperasi pondok. Dalam hati sebenarnya dia gundah. Perasaan yang menggangunya semakin meluas ketika mendengar nama Habibi disebut. Setiap kali ia mencoba menghapus bayangannya, malah semakin menggunung rasa mahabbahnya pada Habibi.
"Ya Allah, Ya Rabb, anugerah apakah yang saat ini ku alami. Mengapa hamba terlalu gmpang untuk jatuh hati pada laki-laki yang belum aku kenal dengan jelas." Tuturnya dalam hati.
Jantungnya berdegup kencang tatkala melihat Habibi duduk santai di dalam took bersama dengan Rahman. Dia mengambil nafas dalam-dalam untuk mengenyahkan getaran hatinya.
Tiba di hadapan habibi, Zaenab semakin salah tingkah. Sampai-sampai dia lupa salam. Ia merasa malu karena diingatkan Habibi agar tidak lupa mengucapkan salam jika bertemu dengan sesame muslim.
"Kang Habibi ini ada makanan untukmu dan dari Ibu." Katanya tanpa melihat ke arah Habibi.
"Terima kasih mbak. Sudah mau nganterin." Balas Habibi ramah.
"Mbak namanya siapa, saya belum tahu." Tanya Habibi.
"Nama saya Zaenab al-Mawadah"
"Oh mbak Zaenab" Ungkapnya sambil mengangguk pelan.
Tiba-tiba Rahman menyela.
"Sebentar mbak Zaenab! Sepertinya saya pernah melihat mbak. Bukankah mbak yang waktu itu dibonceng temenmu di jalan raya. Baju saya jadi basah akibat temenmu yang kurang hati-hati."
"I….iya benar, teman saya merasa bersalah karena tidak mendapat maaf dari kang siapa?"
"Rahman."
"Iya Kang Rahman"
"Saya juga merasa berdosa karena tidak mau memaafkan. Sampaikan maafku pada temen mbak. Saya meminta maaf atas kekeliruan saya juga karena saya sempat su'uzon sama temen mbak. Jangan lupa, amanah ini mbak!"
"Iya, insya Allah" Jawabnya sambil mengangguk.
Zaenab segera berlalu dari koperasi tersebut. Langkahnya tampak terburu-buru dan tidak beraturan. Nafasnya mendesah panjang. Ada rasa kesal yang menghiasi batinnya. Kesal karena tetalh bertemu dengan Habibi. Semakin sering bertatap muka dengan tambatan hatinya, semakin sulit untuknya menghapus perasaan itu.
"Ya Rabb, sirnakanlah perasaan ini dari lubuk hatiku" Pintanya dalam hati.

BAB VI
TERTUTUP AWAN MENDUNG
Di belakang bangunan pesantren putri, terlihat hamparan tanaman padi yang mulai menguning. Barisan batang padi yang sejajar, rapid dan teratur, ibarat barisan shaf shalat jamah orang-orang muslim. Dan biji-biji padi tampak sarat, tapi belim siap untuk dipanen.
Tiupan angina pagi menyapa lembut, semilir meneduhkan kalbu. Menyongsong cerita alm yang sedang memujio keagungn sang Khaliq. Memuji dengan berjuta-juta ungkapan syukur atas anugerah yang tak terhitung banyaknya.
Baru seminggu berada di pesantren, Mawa ingin pulang untuk berkumpul dengan keluarganya. Ia ingin membuang rasa penat di dadanya. Sebongkah perasaan sedih, tak mau hilang dari hati kecilnya. Baginya, keluarga tercinta adalah tempat untuk bversandr atas cengkrama sembilu hati. Tetapi hanya kepada Allahlah kita menyerahkan diri sepenuhnya sebagai makhluk hina yng tak berdaya.
Di duduk seorang diri di bawah teduhnya pohon mangga yang berada di belakang pesantren putrid. Pandangan matanya menerawang jauh. Seolah mengintai menda kecil di kejauhan sana. Matanya tidak berkedip. Badannya pun juga tidak bergerak. Hanya nafasnya yang terlihat naik turun.
Sebenarnya ada sesuatu yang membuatnya tidak bersemangat. Sewaktu habis berjamaah subuh, ia menemukan almarinya dalam keadaan berantakan. Bajunya kacau di dalam almari. Tapi beruntung, uangnya masih aman di dalamnya.
Mawa penasaran. Siapakah gerangan yang tega berbuat demikian padanya. Factor apa yang mendorong untuk melakukan hal itu. Itulah yang mengganjal dalam pikirannya.
Juga, setelah merapikan bajunya. Ketika dia hendak menjemur pakaian. Ember yang berisi baju-baju yang hendak di jemur diangkatnya menuju tempat penjemuran, tapi tiba-tiba saja Laila menabraknya hingga ember yang digunakan untuk membawa baju jemuran itu pecah. Entah Laila sengaja atau tidak. Dzohirnya, Maw berfirasat kalau Laila memang sengaja menabraknya. Soalnya, Laila tidak measa bersalah sama sekali terhadapnya. Ia malah meninggalkan Mawa begitu saja. Apalagi raut mukanya tampak sinis.
Ia terbangun dari lamunannya ketika mendengar suara seseorang yang sedang latihan pidatodengan suara yang sangat lantang, bagaikan membelah bumi menjadi dua. Matanya mencri-cari arah datangnya sumber suara itu. Pandangannya berhenti tepat di sebuah gubug yang tidak jauh dari keberadaannya. Ia mengenali suara itu.
"Ternyata mbak Zaenab jago berdakwah ya. Sudah cerdas, cantik, tinggi lagi. Kurang apa coba."gumam Mawa dalam hati.
Tanpa sadar, ia kembali melamun. Namun lisannya mengeluarkan syair-syair lagu cinta milik Radja.
"Cinta adalah anugerah yang kuasa. Yang bila terasa betapa indahnya. Sung….."
Mawa berhenti menyanyi ketika mbak Binti sudah berada di sampingnya.
"Dek Mawa, lebih baik hafalan nadzoman Nahwu Jawan daripada menyanyi yang tak ada faedahnya.""
"Iya sih mbak! Tapi saat ini aku sedang sedih." Ungkapnya tak semangat.
"Memangnya kamu ada masalah apa?" Tanya Binti serius.
"Aku ingin boyong saja dari pondok. Di sini ada seseorang yang tidak suka padaku. Aku tidak tahu penyebab dia membenciku. Padahal sekalipun aku belum pernah berkomunikasi dengannya. Hanya bertegur sapa saja. Itu pun dia tidak pernah membalas sapaanku. Aku jadi bingung."
"Dek, jadilah orang yang punya komitmen. Pokoknya tujuan utamamu mondok adalah untuk menghilangkan kebodohan supaya menjadi orang yang mengerti, sehingga kalau kamu sudah benar-benar niat tholabul 'ilmi, kamu tidak akan mudah goyah hanya karena sedang ada konflik seperti yang sedang kamu rasakan saat ini. Jangan sampai hanya karena sesuatu yang kecil, kamu mengorbankan yang besar yaitu menuntut ilmu, apalagi ini ilmu agama." Jelas mbak Binti panjang lebar.
"Terimakasih atas nasehatmu mbak, aku kagum sama mbak karena pandai menasehati sesame teman. Juga tidak membeda-bedakan dalam berteman, sabar dan tegar hati. Tidak seperti aku, aku seperti seorang pengecut saja. Tidak berani menghadapi tantangan."
"Siapa yang mengatakan kalau kamu seorang pengecut. Bagiku kamu bukan seperti apa yang kamu katakana. Menurutku, kamu mempunyai kelebihan yang membuatku kagum. Tapi aku tidak akan mengatakan kelebihanmu itu, agar kamu tidak besar kepala."
"Jangan begitu mbak"
Suasana hening sejenak, hanya terdengar syiar-syiar agama yang keluar dari lisan seseorang yang berada di dalam gubug itu. Binti memperhatikan raut muka Mawa yang masih tertutup mendung.
"Dek ada apa lagi?"
"Sebenarnya ada hal lain yang juga membuatku seperti ini."
"Apa itu?"
"Aku merasa minder di kelas diniyyah. Diantara mereka, akulah yang paling bodoh. Apalagi kalau ngaji kitab, aku selalu ngantuk."
"Dek, kembali ke kalimat yang aku katakana tadi tadi, kamu mondok supaya menjadi orang yang mengerti kan? Untuk dapat mencapai hal tersebut kamu harus berdoa dan berikhtiar. Merasa minder, bodoh itu hal yang lumrah daripada merasa paling pinter. Kamu mondok baru kemarin sore, belum dapat apa-apa. Sudahlah pokoknya kamu harus semangat terus."
Binti mengajaknya beranjak dari tempat itu.
Diantara panasnya terik matahari, panggilan shalat telah dikumandangkan. Para santri putra maupun putrid bergegas memenuhi panggilan Allah untuk menunaikan ibadah shalat Dzuhur. Tidak ada satupun yang ketinggalan untuk shalat berjama'ah kecuali yang berhalangan. Karena peraturan pondok shalat berjama'ah dihukumi wajib, sehingga kalau ada yang shalat munfarid atau shalat sendirian, mendapat ta'ziran
Mawa menuju ke masjid sambil menyandang al-Qur'an di tangan kanannya. Sedang setelah dzuhur, seperti biasa, dia membaca al-Qur'an di masjid
Bagian 7
KALA HATI BERTABURAN BUNGA
Selesai shalat 'Isya', semua santri berbarengan menuju gedung diniyyah yang letaknya di samping pesantren putra. Bangunan itu cukup sederhana, tapi jasanya patut mendapatkan acungan dua jempol. Banyak alumni pondok yang telah berhasil dengan ilmu yang telah mereka raih. Banyak para alumni yang telah mendirikan pesantren sendiri. Mengembangkan pengetahuan yang telah di dapat dari pondok ini.
Malam ini, Mawa bersemangat untuk belajar di kelas diniyyah. Awan mendung telah sirna dari kalbunya. Dan kembali terang seterang sinar dewi malam yang sedang mengintip aktifitas manusia di muka bumi. Pikirannya kembali jernih. Senyum mengembang nampak di wajahnya. Perasaannya sudah menjadi tenang kembali.
Dia duduk di deretan bangku paling depan bersama Syifa yang juga santri baru.
Lonceng telah dipukul dua kali, pertanda semua santri melafalkan nadzoman yang telah diajarkan oleh ustadz masing-masing kelas.
Hari ini kelas satu membunyikan nadzoman Tanbihul Muta'allimin dengan serentak. Kitab Tanbihul Muta'allimin mengajarkan adab dan tata cara menuntut ilmu, seperti adab sebelum memasuki tempat mengaji yaitu berwudlu, mengenakan pakaian yang bersih dan harum juga bersiwakan. Karena dengan lahir yang bersih mendukung jiwa untuk bersih juga. Dengan demikian, Insya Allah ilmu yang disampaikan akan mudah masuk ke dalam otak, kuat ingatan dan mudah mengamalkan.
Kelas kembali tenang selesai para santri melafalkan nadzoman bersama. Terdengar langkah kaki menujun kelas mereka. Sudah dapat dipastikan bahwa yang adalah pak ustadz yang biasa dipanggil pak Muhsin.
Terdengar ucapan salam mengiringi langkah beliau memasuki ruangan kelas satu. Semua santri membalas salam beliau.
Sebelum pelajaran dimulai, pak Muhsin memberikan pemanasan. Pertanyaan-pertanyaan diberikan kepada beberapa santri. Mawa kebagian pertanyaan dari ustadz. Alhamdulillah dia bisa menjawab pertanyaan tersebut.
Beberapa menit telah berlalu. Saat pak ustadz sedang memberikan penjelasan, mendadak saat Mawa berhasrat untuk buang air kecil. Maklum saja, udara ma;lam lumayan dingin. Dia minta izin kepada pak ustadz.
Ia berjalan menuju kea rah utara. Lokasi kamar kecil berada di belakang kelas diniyah paling utara.
Kaki kiri melangkah, masuk pintu kamar kecil. Belum sampai buang air kecil, dia tak bergeming dari tempatnya tatkala mendengar percakapan seseorang.
"Kang Habibi! Malam ini kamu kelihatan bersemangat. Memangnya ada apa?"
"Hari ini, Zaenab kelihatan anggun. Aku jadi semakin saying kepada Zaenab. Sobat! Jangan bilang siapa-siapa ya!"
"Beres dech! Kang Rohman bukan orang munafik."
Percakapan singkat yang didengar oleh Mawa, mampu membuat hatinya meloncat-loncat kegirangan. Bunga-bunga cinta, serempak bermekaran harum di dalam hatinya.
Selepas buang air kecil,lisannya bertahmid. Dia berhenti di depan kamar kecil.
"Subhanallah! Ternyata kang Habibi merasakan pa yang aku rasakan. Biar aku simpan dalam hatiku akan prasaan ini sebagai ungkapan syukur atas anugerah cinta yang Engkau berikan padaku ya Allah. Kalau kang Habibi berjodoh denganku, dekatkanlah aku dan dia dengan caraMu. Sebaliknya, kalau tidak berjodoh, jauhkanlah aku dan dia dengan caraMu pula." Ucap Mawa dalam hati sanubari yang paling dalam.
"Astagfirullah hal'adzim. Ngomong apa hatiku"
Kemudian ia bergegas kembali ke dalam kelasnya.
Proses belajar mengji berjalan dengan lancer tanpa ada kendala sedikitpun tanpa ada kendala sedikitpun sampai jam belajar berakhir. Pak MUchsin mengakhirinya dengan bertahmid seraya mengucapkan salam.
Mawa, santri pertama yang keluar dari kelas setelah pak Muchsin. Entah kenapa hatinya tergerak untuk segera menuju asrama pondok.
Jalannya nampak terburu-buru. Sampai di depan teras, langkahnya kembali normal. Waktu membuka pintu, matanya terbelalak karena melihat seseorang sedang mengobrak-abrik bajunya hingga berserakan di lantai.
"Mbak lagi ngapain?"Tanya Mawa bersabar hati.
"Kamu? Nggak lihat aku lagi ngapain?"katanya ketus.
"Jadi selama ini, Mbak Laila yang suka merapihkan bajuku. Sebenarnya maksudmu apa? Apa aku punya kesalahan padamu. Kalau memang demikian aku minta maaf."
"Kamu tidak sadar telah membuatku kesal? Kamu kan yang mengadukan aku pada santi? Karena aku berpacaran dengan kang pondok. Sudah puas!"
"Oh……….ternyata penyebabnya cuma itu. Mbak! Apakah salah jika kamu mendapat takziran karena telah melakukan pelnggaran? Kalau memang tidak mau dihukum, ya jangan coba-coba untuk mlakukan penyimpangan. Lalu dimana letak kesalahgan saya?"tutur Mawa.
"Kamu memang bodoh. Masih pakai nanya lagi. Yang jelas aku gak suka kamu mengadukan apa yang aku lakukan"sentak Laila dengan nada meninggi.
Mawa mengelus dadanya, berusaha untuk tidak gegabah menanggapi amarah lawan bicaranya.
"Ya………saya akui, aku masih bodoh. Makanya saya menuntut ilmu disini, supaya bisa. Mbak, sebenarnya saya tidak mengadukan perbuatanmu pada mbak Santi. Waktu itu aku keceplosan saja. Nah…….sehingga perbuatan yang kamu sembunyikan, telah terungkap karena kata-kata yang tidak sengaja keluar begitu saja dari mulutku."
Laila semakin memberontak padanya. Tapi Mawa menghadapinya dengan kepala dingin. Hingga santri-santri yang lain mengetahui perkra itu. Santi, ketua pondok segera menangani hal itu. Mawa dan Laila disidang di kanto pengurus pesantren putri.
Finalnya, siapa yang salah, sudah barang tentu menanggung resikonya. Laila yang belum kelar takzirannya, malam ini mendapat hukumannya lagi.
Sementara Mawa berlega hati atas sditemukannya santri yang usil dan membuat ulah padanya.
Malam ini seakan malam milik Mawa sepenuhnya. Langit bertabur beribu bintangselalu mengingatkannya agar mensyukuri anugerah dari Sang Pencipta.
Bagian 8
SERIBU LARA

Mesin waktu terus berjalan tiada henti. Hari demi hari menuju minggu, minggu berganti bulan, dan bulan berganti dengan tahun. Tak terasa tiga tahun telah berlalu.
Banyak hal-hal yang telah berubah di pesantren. Dari santri yang tiga tahun lalu masih muda, sekarang tumbuh menjadi sosok santri yang telah dewasa. Sehingga sudah menjadi kewajibannya untuk menjadi teladan bagi adik-adik santri di bawah mereka.
Dan sekarang, Mawa telah lulus dari aliyah, meskipun dengan nilai yang tidak memuaskan. Ia tetap bersyukur atas keberhasilan yang telah dicapainya.
Ia sadar akan nilai kecil yang tertulis di ijazahnya. Selama sekolah di aliyah, prestasi belajarnya semakin menurun. Pelajaran yang disampaikan oleh guru, tidak semuanya terserap ke dalam otaknya. Penyebabnya, ketika proses belajar dia selalu ngantuk. Sampai-sampai oleh teman-temannya dijuluki raja tidur. Setiap hari dia berusaha untuk bersabar hati menghadapi ejekan-ejekan temannya. Dia menggap semua itu adalah cobaan jalan menuntut ilmu.
Sebenarnya Mawa sudah berusaha untuk mengusir rasa kantuknya. Namun tidak pernah bisa. Terlebih lagi saat ulangan, adalah momen yang sangat paling sulit untuk membuka mata.
"Subhanallah! Setan apa yang meracuni pelupuk mataku?"
Itulah kalimat yang paling sering diucapkannya jika tidak bisa mengusir rasa kantuknya.
Julukan raja tidur, tidak akan pernah terhapus dari sudut memorinya.
Mawa berniat ingin nyantri tiga tahun lagi. Ia igni mmperdalami kitab sambil memperdalami kitab sambil menghafal Al-Quran. Dan beruntung, keluarganya mendukung rencana baiknya itu.
Beralih ke Zainab Bintan Sholikhatin, teman satu kamar dengannya. Sekarang dia menjadi wanita yang dikenal oleh khalayak ramai karena mendapat juara satu lomba pidato tingkat provinsi di Jawa Timur beberapa bulan yang lalu. Namanya tidak asing lagi di telinga. Banyak acara pengajian yang mengundangnya agar menjadi mubalighoh. Sungguh menjadi kebanggan baginya menjadi daiyah yang bisa menyebarkan ajaran-ajaran islam lewat kata-kata yang terangkum dalam sebuah pidato.
Berbeda dengan nasib Laila.
Akibat pelanggaran yang telah dilakukannya berkali-kali, Laila dikeluarkan dari pondok Subulul Huda. Sebelumnya, Gus Yusron telah memberikan kesempatan sekali lagi agar mau memperbaiki dirinya. Tapi apa yng terjadi? Laila malah mengulangi kesalahannya lagi. Hingga akhirnya, pengasuh pondok mengeluarkannya dari pesantren.
Kuncup-kuncup bunga semakin hari semakin bermekaran indah, seindah sang surya di pagi hari. Seindah hati kala malam bertahajud. Melukis indah di tepian hati.
Mawa masih menyimpan perasaan itu sampai detik ini. Terlebih perasaan itu semakin beranak pinak karena keakrabannya dengan pemuda yang mengisi hatinya.
Tetapi di balik itu tak jarang dia menangis di keheningan malam sambil menengadahkan kedua tangannya ke atas saat ribuan mata terlelap dalam tidur. Ia menangis karena takut kalau cintanya pada makhluk melebihi cintanya kepada Ilahi Rabbi. Mawa beristighfar memohon ampunan atas segala dosa-dosanya.
Hari ahad, keluarga ndalem sedang menghadiri pengajian akbar di daerah ponorogo. Hanya gus Bayu putra terakhir dari gus Yusron yang tidak ikut pengajian. Sehingga Mawa diberi amanah agar mengasuh gus Bayu.
Saat sedang asyik mengajari gus Bayu membaca Iqra', ada tamu mengetuk pintu.
"Mbak, cepetan bukain pintu!" perintah gus Bayu dengan gayanya yang lucu.
"Iya gus!" jawab Mawa, seraya membukakan pintu untuk tamunya.
Ternyata yang datang orang tua santri. Mawa mempersilahkan duduk tamu tersebut. Dia masuk ke dapur untuk membuatkan minuman dan menghidangkannya.
"Mbak, apa gus Yusron dan bu Nyai ada?" Tanya tamu, seorang ibu.
"Beliau sekeluarga sedang menghadiri pengajian akbar di ponorogo. Kalau boleh saya tahu, ibu orang tua dari siapa?"
"Saya ibu dari Habibi dan ini adiknya.sudah lama Habibi tidak pulang ke rumah. Makanya ibu sudah kangen ingin memeluk anak ibu yang sekarang mesti sudah dewasa. Mbak ini siapa namanya?"
"Oh…saya Zaenab, bu!"
"Oalah, anak ini Zaenab yang sering diceritakan Habibi pada ibu, ternyata ini to?"
"Maksud ibu?"
"Habibi sering bercerita tentang Nak Zaenab pada ibu. Maklumlah, anak laki-laki yang dibicarakan pasti soal perempuan. Habibi benar, ternyata Nak Zaenab ini cantik, sopan, cerdas pinter berdakwah lagi, tentu orang tua Nak Zaenab bangga mempunyai putri seorang Nak Zaenab ini."
"Bu, saya tidak merasa bisa berdakwah."
"Tidak perlu merendah Nak Zaenab. Ibu dengar beberapa bulan yang lalu masuk televise dalam acara lomba pidato sepropinsi dan dapat juara satu kan? Tapi sayang ibu tidak melihat acara itu. Ibu tahu dari Habibi."
Zaenab kaget bukan kepalang, bagaikan disambar petir di siang bolong mendengar penuturan Ibu Habibi. Ternyata selama ini yang Habibi kagumi adalah Zaenab Bintan Sholihatin yang pinter pidato bukan Zaenab atau Mawa dirinya.
Sungguh tidak pernah terlintas dalam benaknya akan kekeliruan itu. Jadi selama tiga tahun lamanya ia menyukai seorang yang ia kira juga menyukainya juga. Hatinya benar-benar kecewa, sakit hati, pedih menyatu menggumpal di dalam hati.
"Nak Zaenab kenapa diam?"
"E..sebenarnya saya bukanlah Zaenab yang ibu maksud. Disini ada dua anak dengan nama Zaenab. Saya dan yang satunya sedang pulang kampung."
Zaenab sekuat tenaga menutupi perasaannya yang terluka. Ia berusaha menampakkan keramahan di hadapan Ibu Habibi.
"Bu, kalau begitu saya panggilkan Kang Habibi dulu."
Ibu Habibi mengangguk saja.
Mawa menghampiri Habibi yang sedang jaga koperasi pondok.
Entah kenapa tiba di depan Habibi, berjatuhan butiran-butiran air mata di kedua pipinya.
"Mbak Zaenab, kenapa menangis?"
"Ah…tidak, hanya kelilipan saja. Kang, ibumu ada di ndalem sekarang. Cepat sana temui ibumu!"
Mawa segera menghilang dari hadapan Habibi. Air matanya semakin deras mengalir membanjiri pipinya. Ia tak kuasa menahan beban dalam batinnya. Perih hatinya teringat cerita Ibu Habibi.
Dia masuk ke kamar gus Bayu. Ia berusaha tersenyum tatkala gus Bayu memperhatikannya.
"Mbak Mawa habis nangis ya? Sudah besar kok masih suka nangis. Apa nggak malu sama aku?"
"Mbak Mawa nggak nangis kok. Hanya kelilipan saja."
"Oh..kemasukan debu matanya, nggak boleh bohong lho! Kata abah, kalau bohong disebut orang bunatik!"
Mawa spontan tertawa.
"Mbak kenapa tertawa?"
"Gus, yang benar itu munafik."
"Oh iya aku lupa. Mbak aku masih kecil koq sudah pikun ya? Astagfirullah!"
"sudah..sudah gus, jangan membuatku tertawa terus."
Mawa sesaat bisa menghilangkan sakit hatinya bersama dengan putra Kyainya.
Mawa mengajak momongannya jalan-jalan di taman samping ndalem. Bunga-bunga yang beraneka ragam jenisnya, terlihat menari-nari menyapa kedatangannya. Rumput-rumput hias seakan tertawa riang membalas senyumnya yang mengembang. Tumbuhan-tumbuhan seolah menatap ke arahnya.
Gus Bayu mengajaknya duduk di kursi yang ada di sudut taman. Melihat belalang di atas rumput, Bayu menghampiri hewan kecil itu.sementara Mawa duduk termenung. Lagi-lagi bola matanya memerah. Ia teringat akan luka hatinya.
"Ya Rabb, kenapa hamba harus merasakan semua ini padahal hamba pertama kalinya merasakan perasaan itu. Mengapa anugerah yang Kau berikan padaku membuatku menderita."
Bayu menoleh ke arah Mawa.
"Mbak, ngajak ngomong aku ya?"
"Enggak Gus"
Bayu makin asyik bermain dengan belalang.
Mawa mengusap air matanya yang meleleh dengan jilbab yang dipakainya.
"Mbak! Sebenarnya ada apa denganmu?" Tanya Habibi yang tiba-tiba muncul dihadapannya.
Mawa buru-buru mengusap air matanya.
"Nggak ada apa-apa."
"Aku bukan anak kecil yang mudah kamu bohongi. Sebagai teman aku tidak tega melihatmu sedih. Kalau ada masalah ceritalah, siapa tahu aku bisa membantu memecahkan masalah itu."
"Sungguh aku tidak apa-apa. Lebih baik kamu temani ibumu"
Padahal dalam hati Mawa memendam rasa sakit yang sangat. Ia tidak ingin ada seorang pun yang tahu tangisan hatinya. Cukup Allah yang mengetahui segala rahasia hati hamba-Nya.
Dia berhenti menangis tatkala tidak sengaja matanya menatap jam tangan yang menunjukkan pukul 09.35 WIB.
"Gus, yuk kita shalat dluha di kamarku." Ajak Mawa seraya beranjak dari tempat duduknya.
"Aku nanti mau berdoa. Mbak kalau berdoa pasti dikabulkan Allah ya?"
"Pasti Gus. Hanya saja kadang doa kita tidak seketika dikabulkan. Bisa saja ditangguhkan."
"O…begitu!"
Mawa mensucikan diri dengan air wudlu. Perasaanya perlahan-lahan mulai tenang.
Kemudian ia mengangkat kedua tangan bertakbiratul ikram diiringi niat shalat dluha dalam hatinya. Dalam kekhusukannya, dilantunkannya ayat-ayat al-Qur'an dengan tanpa suara. Hanya terlihat gerak-gerik bibirnya yang penuh khidmat membaca doa-doa shalat.
Di dalam koperasi pondok, tempat Habibi duduk menghadap sebuah buku bacaan. Buku yang menjadi temannya dikala dia sendiri. Buku kecil tapi menyimpan segudang ilmu.
Dari arah barat ada seorang yang berlari menuju ke arahnya.
"Kang Habibi!" teriak orang itu.
Tiba dihadapan Habibi, orang itu mendengus panjang mengatur nafasnya yang tak beraturan.
"Ada apa kang?"
"Berita buruk…." Kata kang Rahman serius.
"Maksudmu apa kang Rahman?"
"Begini, sewaktu aku pulang ke rumah, aku melihat rombongan orang bermobil berkunjung ke rumah Zaenab."
"Terus..!"
"Terus kedatangan mereka tak lain adalah untuk melamar Zaenab. Dan gawatnya lagi, Zaenab dan keluarganya menerima lamaran itu."
Habibi diam sebentar.
"Kang Rahman, tak apalah, toh jodoh hanya Allah yang berhak menentukannya. Mungkin memang sudah takdir, aku dan dia tidak berjodoh. Tenang saja aku tidak akan sakit hati."
"Beneran kang Habib?"
"Iya, sebenarnya jauh hari setelah aku mendengar kabar kalau dia mendapat juara lomba pidato beberapa bulan yang lalu, aku agak ragu sama dia."
"Kenapa?"
"Entahlah, aku merasa tidak pantas saja. Dia orang sukses, sedangkan aku biasa saja kan?"
"Kamu jangan merendah gitu kang."
Habibi kembali terfokus pada buku yang dibacanya. Rahman sendiri duduk-duduk menemani Habibi.
"Kang Habib, aku heran sama kamu."
"Kenapa memangnya?"
"Kok kamu bisa tegar banget. Udah tahu wanita idamannya dilamar orang, bukannya sedih malah keasyikan baca buku."
"Jadi, kamu ingin melihatku menangis?"
"Bukannya begitu, umumnya kan sakit hati?"
"Kang, kalau sakit hati itu tentu ada walaupun tidak seberapa. Sebenarnya aku juga bingung sendiri dengan perasaanku."
"Maksudmu?"
"Aku bingung, sebenarnya aku itu suka atau sebatas kagum saja sama Zaenab, kalau suka aku tidak patah hati. Tapi aku juga merasa sayang dia."
"Kok bisa begitu?"
"Entahlah, Wallahu a'lam"
Hari semakin gelap.
Selepas shalat maghrib, Mawa ketiduran di kamar. Dari mukanya ia terlihat kelelahan. Tidak hanya lahirnya juga lelah batinnya.
Beberapa saat kemudian, ada seseorang menepuk tangannya.
"Mbak Mawa, bangun…bangun!"
Mawa membuka matanya pelan.
"Terima kasih mbak Binti, sudah membangunkan." Katanya seraya berdiri hendak berwudlu.
Jalannya sempoyongan karena rasa kantuk masih menghinggapinya.
Santri putri berderet antri untuk berwudlu di kamar mandi. Fasilitas kamar mandi memang masih minim. Tapi rencananya tahun depan kamar mandi santri putri akan ditambah ruangannya mengingat jumlah santri juga semakin bertambah tiap tahunnya.

Bagian 9
HABIBAH HIDUPKU
Di bawah terangnya lampu penerang kantor, beberapa ustadz dan pengurus sedang bermusyawarah membahas rencana ziarah ke walisanga. Mendengar rencana tersebut, para santri bersenana hati. Berapapun ongkos naik bus tidak jadi masalah bagi mereka. Asalkan sampai ketempat yang dimaksud.
Akhirnya berdasarkan kesepakatan bersama, seminggu lagi mereka akan ziarah ke walisanga. Mengunjungi makam para wali yang tersebar di Indonesia. Untuk mendoakan para pejuang dan pembela agama Islam di nusantara.
Seminggu kemudian, rencana itu benar-benar di laksanakan. Pagi setelah subuh, semua santri berkumpul di depan masjid menunggu kedatangan bus sewaan. Alhamdulillah baru menanti beberapa menit busnya telah datang. Semua santri menempatkan dirinya masing-masing sesuai dengan tempat yang sudah diatur oleh pengurus yang menanganinya.
Mawa duduk di kursi yang paling belakang di dekat jendela.
Setelah semuanya menempatkan diri, semua santri dan pengasuhnya berdoa bersama-sama memohon kepada yang kuasa agar diberikan keselamatan sampai tempat tujuan. Di sepanjang perjalanan ia memperhatikan pemandangan alam yang begitu indah memikat hati. Pemandangan sejuk yang mampu menyejukkan hati dan pikiran untuk sejenak. Sebagai obat hati yang tertusuk duri-duri tajam.
Tiba-tiba saja dia teringat akan sakit hatinya. Ingin rasanya dia menangis lagi sepuas-puasnya. Karena dengan menangis, beban di hatinya sedikit berkurang.
"Ya Allah. Ampunilah dosa-dosaku. Karena selama ini aku sering melupakanMu. Hingga akhirnya aku terjatuh sendiri."
Pandangannya menghadap ke jendela. Ia tak ingin ada orang yang melihatnya menangis. Berkali-kali diusapnya air mata yang tak henti-hentinya mengalir. Sambil lisannya berdzikir menyebut asma Allah.
Binti yang duduk dengannnya mempeerhatikan tingkahnya yang pendiam akhir-akhir ini.
"Dek lihatlah aku!"perintah binti.
"Untuk apa mbak?"Mawa bertanya tanpa menatap Binti sedikitpun.
"Kalu punya masalah jangan di pendam sendiri. Bagusnya kamu curhat sama orang yang menurutmu bisa dipercaya. insyaAllah dengan kamu menceritakan keluhkesahmu pada orang lain, beban hatimu akan berkurang. Cobalah apa yang aku katakana."
Pada hari kedua setelah mengunjungi makam Sunan Kudus, rombongan keluarga pondok pesantren menuju makam Sunan Ampel. Hari kedua adalah hari yang berkesan dalam kehidupan Zaenab Al-Mawaddah. Karena luka hatinya telah terobati.
Waktu itu, semua santri berdoa di makam Sunan Ampel. Kebetulan ia kedatangan tamu tak diundang yang datang setiap bulan. Sehingga ia menunggu di bus. Ketika sedang menghayati buku bacaan, ada seseorang yang masuk dengan menggendong Bayu.
"Gus, lihat mbak Zaenab rajin baca buku ya."
"Iya itu bagus. Daripada bobok di dalam bus kayak kang Habibi."
"Mbak lagi sakit ya? Kok tidak ikut tahlilan di makam?"
"Saya tidak pantas kesana. Lagi tanggal merah. Kang Habibi sendiri sedang ngapain di sini?"
"Ini gus kecil minta naik bus."
Mawa kembali membaca buku. Habibi kelihatan seperti orang bingung.
"Mbak! Aku boleh ngomong sesuatu?"
"Ngomong aja kang!"
"Sebenarnya…."
"Sebenarnya apa?"
Habibi tampak ragu untuk mengatakan sesuatu kepada Mawa. Lama sekali ia berdiri di depan Mawa. Membuat Mawa jadi canggung.
"Kang ada apa?"
Habibi senyum-senyum penuh arti.
"Kang tidak enak sama santri lain."
"Kalau begitu aku beri tahu nanti saja ya."pemuda itu berlalu meninggalkan dirinya.
"Ya Rabb! Kenapa Habibi sama sekali tidak memahami isi hati."ucapnya dalam hati.
Pemuda itu mengajak gus kecilnya menuju makam Sunan Ampel. Gus Yusron sedang khusyuk-khusyuknya mendoakan ahli kubur yang diamini santri-santrinya.
Bayu merengek tidak mau ke makam. Ditariknya tangan kanan Habibi dan diajaknya menuju ke tempat parkir bus.
"Ada apa lagi gus?"
"Aku ingin naik bus saja."
"Nah…di dalam bus ada mbak zaenab. Lebih baik gus Bayu ikut mbak Zaenab saja ya?"
"Ah…tidak mau. Aku ingin ikut kang Habibi saja."
"Kalau ikut sama saya, di luar saja. Soalnya di dalam bus ada santri putri. Kalau abah tahu, nanti dikira saya dan mbak Zaenab berpacaran."
"Biar saja, yang penting Allah tahu kalau Kang Habibi tidak pacaran dengan mbak pondok. Ayo cepat!"
Bayu semakin erat menarik tangan Habibi. Mau tidak mau ia menuruti keinginan gusnya.
Tiba di dalam bus, dengan lincahnya gus kecil naik ke dalam bus. Sementara dari luar pintu bus, Habibi mengintip bidadarinya yang masih asyik membaca buku. Dengan perasaan tak menentu dia memasuki bus tersebut.
"Mbak Zaenab! Apakah seorang laki-laki boleh menyukai lawan jenisnya dalam suatu pesantren?"
Kenapa tidak. Perasaan suka itu datangnya dari Allah. Tapi kita juga lihat situasinya Kang. Dalam agama Islam yang namanya pacaran tidak diperbolehkan bukan? Kita boleh saja menyukai orang. Tapi tidak boleh berpacaran. Memangnya ada apa Kang?"
"Sebenarnya aku sendiri yang mengalami hal itu. Perasaan itu muncul entah kapan mulainya. Yang jelas aku kagum akan akhlaknya yang terpuji, sopan dan juga perhatian. Pernah dia begitu panik melihatku terjatuh dari meja sewaktu aku memperbaiki lampu."
Habibi menatap wajah bidadarinya lekat-lekat. Kemudian lisannya ber-istighfar tatkala sadar kekhilafannya memandang wanita yang bukan muhrimnya.
"Kang, maksudmu aku?" Tanya Mawa dengan nada tidak percaya.
"Iya, aku akan menemanimu tiga tahun lagi. Apakah engkau mau menjadi habibahku? Yang akan siap hidup denganku kala suka maupun duka?"
Zaenab al-Mawadah tertunduk malu. Dalam hati kecilnya ia ingin berteriak untuk mengatakan "iya" pada Habibi.
Gus Bayu asyik bermain robot-robotan. Sementara Habibi dan Mawa diam tak menentu.
"Apakah kamu mau menjadi Habibahku?" Tanya Habibi sekali lagi.
Tiba-tiba Zaenab mengangguk pelan. Habibi seakan masih belum percaya akan jawaban Zaenab. Ia mengulangi pertanyaannya sekali lagi dan Mawa mengangguk lebih mantap lagi.
Tak tergambarkan kebahagiaan di dalam dada mereka. Terlebih Zaenab, ia bersyukur dengan sepenuh hati akan anugerah terindah dari Sang Khaliq.
Akhirul kalam, Habibi menanti calon bidadarinya tiga tahun lamanya. Laki-laki itu semakin mantap dengan pilihan hatinya.

MAKNA SEBUAH MAHABBAH

MAKNA SEBUAH MAHABBAH
Oleh Dwi Rahmawati
MAN Kembangsawit, Kebonsari, Madiun, Jawa Timur.

Di sudut ruangan kamar yang tidak terlalu lebar, sesosok gadis nan elok sedang khusyuk berjihad kepada Tuhannya, sementara yang lain terlelap pulas dalam balutan dinginnya malam. Seolah tak didera rasa kantuk gadis itu tetap bergumam dengan tangan menengadah di depan dada. Suaranya nan lembut memecah kesunyian. Bulir-bulir air mata meleleh berjatuhan di kedua bola matanya.

Itulah kebiasaan fitri, seorang santriwati Pondok Pesantren ar-Rahman hingga tiba waktu shubuh, tiada henti dalam beribadah kepada Allah.
Sayup-sayup suara adzan memecah keheningan. Fitri terhenyak dari kekhusyukannya. Dengan lembut ia membangunkan teman satu kamarnya, Ika, Aisyah, Arid dan Latif. Sedangkan Fatimah tetap ia biarkan terlelap dalam tidur karena sedang berhalangan. Selanjutnya ia beranjak ke Masjid.
Usai shalat shubuh Fitri serta santri yang lain tidak diperkenankan untuk kembali ke kamar masing-masing dan mengikuti pengajian kitab Bulughul Maram yang berisi tentang berbagai hadis yang menjadi dasar-dasar hukum dalam Islam.
Pengajian telah usai. Fitri dan Ari kembali ke kamar beriringan.
”Fitri al-yaum, yaumul jumáh, madza turiidiin?” tanya Ari.
”Lianna al-yaum yaumul úthlah, uriid an adzhab ila al-Maktabah.” jawab Fitri.
”Kaif law nadzhab ila as-suq?”
”li ayyi syayín?”
”Uriid an asytari al-Jilbab”
“Insya Allah”
“Jazakallah ya fitri”
“áfwan”
Mereka berbincang dengan bahasa Arab karena hari jumát merupakan hari wajib berbahasa Arab di lingkungan pondok.
Setelah mendapat izin dari pengasuh, mereka keluar dari pondok dan menuju pasar gede yang ada di pusat kota. Sehingga mereka harus naik angkodes hingga ke halte bus kemudian naik bus hingga turun di pasar gede.
Hari jumat adalah hari yang sangat sibuk sehingga hampir setiap bus yang lewat telah penuh sesak oleh penumpang.
“Dari tadi kita tunggu kok ga ada satu bus pun yang berhenti sih.” keluh Ari kepada Fitri yang tengah menyenandungkan kalam ilahi.
“Ijlis ya Ari, sebentar lagi juga datang.” jawab Fitri menghibur sahabatnya itu dan kemudian meneruskan kembali menyenandungkan kalam ilahi. Yang tertulis di mushaf kecilnya.
Tak lama kemudian bus yang ditunggu datang. Mereka naik dengan sangat santai karena kebetulan hanya mereka berdua yang menunggu di halte tersebut. Namun setelah masuk ke dalam bus, betapa terkejutnya mereka karena semua kursi telah penuh, kecuali sebuah bangku deret yang berada di urutan ke dua dari depan.
Namun mereka ragu karena salah satu bangku telah diisi oleh seorang pemuda yang sedang asyik membaca buku di tangannya. Fitri enggan untuk duduk dengan laki-laki yang bukan mahramnya dan memilih untuk berdiri.
Namun Ari tiba-tiba menarik tangannya sehingga fitri terjatuh terduduk di samping pemuda tadi. Bahkan hampir ambruk ke pangkuan pemuda itu.
Dengan sangat malu ia kemudian berdiri dan meminta maaf kepada pemuda tadi. Kemudian bergegas meninggalkan pemuda itu. Tak lama kemudian bus berhenti tepat di depan pasar gede.
Sejak turun dari bus tak henti-hentinya Ari mengomentari pemuda yang baru saja ditemuinya tadi hingga Fitri bosan untuk mendengarnya. Setelah lama berbelanja mereka singgah di warung tegal sederhana di dalam pasar. Fitri bermaksud membaca al-Qurán sambil menanti pesanan. Namun alangkah terkejutnya Fitri karena al-Qurán yang dibawanya tidak ada.
Ia mencari di dalam setiap sudut tasnya, namun tetap saja tidak ia temukan.
”Fitri, ada apa?”tanya Ari.
”Al-Quránku, al-Qur’anku tidak ada, bagaimana ini Ri?” jawab Fitri sambil terus mencari.
”Bukankah tadi ada di sakumu?”
“Iya...tapi sekarang tidak ada, bagaiman Ri?”
”Eh...jangan-jangan...”
”Jangan-jangan, apa Ri?”
” Jangan-jangan terjatuh di bus tadi saat kamu hampir menubruk pemuda tadi..”
”Oh iya, apa mungkin ya? Ri, itu mushaf pemberian orang tuaku!” kata Fitri dengan air mata yang mulai menetes.
”Fitri, maaf ya? Tapi aku yakin nanti pasti ketemu.”
”Pemuda tadi nampaknya orang yang berpendidikan, jadi pasti dikembalikan, tapi ada biodatanya kan?” Tanya Ari dengan suara yang datar.
”Ada tapi hanya nama, itupun tak lengkap hanya nama panggilan saja.” jawabnya dengan nada menyesal.
”Fitri sudahlah pasti kelak akan ketemu, sekarang kamu makan mie-nya dulu, nanti keburu dingin.” ucapnya mencoba menenangkan Fitri. Dengan malas Fitri mulai memegang alat makannya.

-----

Sementara itu, pemuda yang ditubruk Fitri tadi masih asyik dengan bukunya, baru setelah bus berhenti di depan bangunan besar bertuliskan Pondok Pesantri al-Mubarok ia menutup bukunya dan bersiap untuk turun. Tanpa sengaja ia melihat sebuah mushaf kecil di sampingnya, kemudian ia mengambilnya dan membukanya. Saat itu ia menemukan sebuah nama, yaitu Fitri. Ia langsung teringat gadis yang hampir menubruknya di bus.
Bayangan wajah manis nan anggun dengan kepribadian yang sangat menjaga nilai-nilai agama begitu lekat di hatinya, seakan tidak mau pergi.
”Mungkinkah ini cinta?” Bisik lirih batin pemuda itu.
”Astaghfirullahaládzim” ucap pemuda itu berulang-ulang kali agar ia kembali sadar dan segera memasukkan mushaf tersebut ke dalam sakunya. Pemuda itu turun dari bus, masuk ke dalam pintu gerbang dan terus berjalan hingga tak terlihat.

-------

Fitri dan Ari sudah kembali ke pondok sebelum adzan jumat berkumandang, namun wajah Fitri tetap murung dan gelisah. Hal ini membuat seisi kamar menjadi bingung. Fatimah yang merupakan teman dekat Fitri mendekat dan bertanya.
”Ya ukhti, madza hasola lak?”
”La ba’sa mbak Fitri”
”Quly ya Fitri, madza hasola lak?” Ulang Fatimah.
“Mbak, faqoda minni al-Mushaf al-Qurán” Jelas Fitri dengan air mata mulai berderai.
“Mushaf al-Quran?” Tanya Fatimah dengan heran.
“Iya tapi tapi mushaf itu pemberian orang tuaku”
”Bersabarlah, tenangkan dirimu, sekarang beristirahatlah”
”Baiklah mbak, terimakasih.”
”Afwan”
Fitri beristirahat, namun dalam relung hatinya terdalam ia masih memikirkan mushaf kecilnya.

-----

Setiba di pondoknya penemu al-Qurán fitri yang ternyata bernama Rifa’i segera masuk ke kamar dan duduk melamun.
”Fa’i, sore-sore gini kok ngelamun sih? Hati-hati lho ntar kerasukan!” celetuk Bowo yang segera membuyarkan lamunan Rifa’i.
“Oh kamu to bowo, aku ga melamun kok, cuma sedang berpikir bagaimana aku bisa menghafal nadzam alfiyah sebanyak ini?” jawabnya sambil menunjukkan dua lembar nadzam alfiyah kepada bowo.
“Kok sampai dua lembar? Memangnya kamu kemana saja?”
“Kemarin aku pulang dua minggu penuh, baru tadi sebelum adzan jumat aku datang.” Terangnya.
“Oh begitu, nah kamu dah sowan belum?” tanya bowo lagi.
“Astaghfirullah, terimakasih bowo, aku belum sowan, aku sowan dulu ya.”Jawab Rifa’i sambil berlari meninggalkan Bowo.

Usai sowan Rifa’i kembali ke kamar. Ia mengambil mushaf yang baru ia temukan tadi. Ia teringat pada gadis berjilbab itu.
”Pasti dia mencari mushaf ini.” Gumamnya.
Perlahan ia membuka dan membacanya. Ia berjanji akan memelihara dan merawat mushaf itu sampai ia berhasil menemukan pemiliknya dan mengembalikannya.
”Mas, al-Qur’annya baru?” tanya Ardo, teman satu kamarnya.
’’Bukan, ini bukan al-Qur’an milikku, Qur’an ini aku temukan di dalam bus." Jawab Rifa’i.
’’Lalu itu milik siapa?” tanyanya lagi.
“Kalau disini ada nama Fitri, mungkin ini milik gadis yang bernama Fitri, mungkin ini milik gadis yang bernama Fitri.”
“Oh begitu.” Gumamnya.
“Hati-hati lho mas, jangan-jangan nanti mas jatuh cinta sama pemilik al-Qur’an itu”
“Hus...kamu bicara apa Do, kok ngomong ngelantur gitu?” jawabnya sambil meletakkan mushaf itu di meja.
“Eh hari ini diniyah masuk tidak, aku sudah kangen nih sama kitab kuning.”
“Waduh mas, kayaknya rasa kangen mas harus ditunda dulu deh, soalnya hari ini diniyah libur.”
“Oh begitu, ya sudah aku mau ke masjid dulu, melihat pengumuman.” Kata Rifa’i seraya bangkit dan mulai berjalan.

Jauh dalam angan Rifa’i masih terbayang gadis berjilbab yang ia temui tadi. Namun ia berusaha keras untuk menghilangkan bayangan itu. Rifa’i melihat papan pengumunan, ia sangat terkejut karena namanya Ahmad Rifa’i Bahrul Ulum tertera dalam pengumuman yaitu sebagai wakil pondok untukmengikuti lomba tafsir hadis tingkat ula yang akan dilaksanakan di SMA 3 Kediri.
Dalam hati Rifa’i kini bercampur dua rasa, rasa senang karena terpilih, juga cemas kalau-kalau dia tidak mampu mengemban amanat dan tanggung jawab itu. Namun Rifa’i segera meyakinkan dirinya agar siap untuk mengikuti lomba tersebut. Karena ia tidak mau mengecewakan ustadz-ustadznya yang telah memilihnya diantara tiga ratus lima belas santri yang lain.
Rifa’i melanjutkan membaca ketentuan lomba. Pandangannya tertuju pada tanggal perlombaan.
“Astagfirullah, kurang satu bulan lagi?” ujarnya dengan nada kaget.
Ia meninggalkan papan pengumuman dan menuju kamar untuk mempelajari tafsir hadis. Hingga ia tertidur pulas.


Dalam tidur ia bermimpi bertemu Fitri. Fitri duduk mengenakan mukena, dihadapannya tampak kitab al-Qur’an yang kini dibawa Rifa’i, kitab itu terbuka dan suara fitri samar-samar terdengar lembut. Makin lama ia semakin mendekat dan suaranya makin jelas terdengar. Alunan ayat-ayat Al-Quran semakin merdu dengan nada qiro’ah. Rifai semakin mendekati Fitri, tiba-tiba Fitri berhenti mengalunkan ayat-ayat Al-Quran dan melihat ke arah Rifai, senyum mengembang di bibir Fitri sedangkan Rifai masih saja mengagumi wajah Fitri nan ayu itu. Kemudian ia terbangun dari mimpi indahnya itu.

”Astaghfirullaha’adzim”ia bangun namun bayangan senyum Fitri masih membekas di pelupuk matanya. Ia tak membiarkan syetan terus menggelutinya. Ia bangkit menuju tempat wudlu kemudian sholat di masjid. Selesai sholat ia berdoa agar ia tidak terus terbayang oleh bayangan Fitri. Namun ia memohon agar dipertemukan dengan Fitri untuk mengembalikan Al-Quran miliknya. Usai berdoa ia menghadap kitab tafsirnya hingga waktu subuh tiba.

Sholat shubuh telah usai. Rifa’i dan santri yang lain menuju ke serambi untuk mengaji Kitab Tafsir Jalalain yang dipimpin langsung oleh pengasuh pondok pesantren yaitu KH. Ahmad Syamsuri Mubakir, yang masih mempunyai garis keturunan dengan ayah Rifa’i, KH. Sulaiman Bahrul Ulum Mubakkir yang merupakan pengasuh pondok pesantren ar-Rahmah tempat Fitri bermukim untuk menuntut ilmu saat ini.

-------

Sementara itu, keesokan harinya di Pesantren Fitri, suasana sangat ramai, dengan cerah pagi yang indah. Tapi tidak bagi Fitri, ia masih teringat mushafnya.
”Fitri, sudah, jangan terlalu difikirkan, sekarang kita harus berangkat, nanti telat.” Ajak Ika.
”Fitri, maaf, ini semua salahku yang kemarin mengajakmu dan telah menarik tanganmu saat di bus.” tukas Ari.
”Ari, sudahlah, lupakan saja, aku tidak menyalahkan kamu kok.”
”Sungguh?”
Fitri tersenyum sambil menganggukkan kepala sebagai tanda kesungguhannya.
Ari mulai tenang karena Fitri sudah mulai bisa tersenyum kembali.

-----

Tiba di kelas para siswi sangat riuh karena pada jam pertama adalah ustadz Helmi yang terkenal sangat tegas, sedang mereka belum mengerjakan tugas yang diberikan pada hari kamis kemarin.
Bel masukpun berbunyi, para siswa masih sangat riuh karena tugas mereka belum selesai.
Tiba-tiba “brak....brak....” Terdengar suara pintu digedor oleh guru piket.
“Kenapa tidak segera berdoá!” Bentak guru piket.
Semua siswa terdiam dan mulai berdoa dengan dipimpin oleh Rizki, ketua kelas. Selesai berdoa, guru piket kembali bertanya ”Siapa ustadz yang mengajar pada jam ini?”
”ustadz Helmi” mereka menjawab dengan serempak.
”Oh kebetulan ustadz Helmi berhalangan, pergi ke Malang, jadi kalian silahkan belajar sendiri ya?” terang guru piket.
”Hore.....!” Seru anak-anak. Sebuah kebiasaan yang lazim ditemukan ketika seorang guru yang tidak begitu berkenan di hati anak-anak tidak masuk mengajar.
Melihat keadaan tersebut pak guru piket dengan rasa prihatin, bertanya kepada anak-anak.
”Tujuan kalian ke pondok ini untuk apa?” Tanya pak guru piket.
”Mencari ilmu pak!” jawab anak-anak.
”Nah, harusnya kalian merasa rugi, karena kesempatan kalian untuk mendapatkan ilmu berkurang. Ingatlah jerih payah orang tua ataupun siapa saja yang telah membiayai kalian. Mereka membanting tulang, sampai-sampai tidur tidak nyenyak, eh...kalian disini malah senang ketika tidak dapat pelajaran.” pak guru piket menjelaskan panjang lebar.
”Ya pak!” Jawab anak-anak serempak.
Di satu sisi bangku, Fitri tersentuh dengan nasehat pak guru. Ia teringat kepada orang tuanya dan mushaf pemberian mereka. Tak terasa setitik kristal cair meleleh dari sudut matanya.
”Jadi gunakan waktu sekarang untuk belajar sendiri, jangan keluar dari kelas. Gunakan waktu sebaik-baiknya!” lanjut pak guru.
”Ya, pak..!” Jawab anak-anak kompak.
Pak guru tersebut segera pergi meninggalkan kelas itu.

-----

Waktu terus berjalan, bel berbunyi delapan kali, menandakan bahwa waktu pulang telah tiba. Siswi-siswi mulai berkemas, merapikan perlengkapan belajar mereka. Setelah berdoa mereka segera bergegas pulang ke rumah masing-masing dan sebagian ke pondok pesantren bagi yang mondok.
Setiba di kamar Fitri duduk termenung. Fatimah langsung menghampirinya.
“Ukhti, apa kamu ingin mencari mushafmu?”
“Iya mbak, tapi kapan? Sedang aku sudah izin dua kali dalam satu bulan ini.”
”Tenang saja, nanti biar mbak yang izin ke pengurus, kita cari hari jumat saja.”
”Iya mbak, terimakasih.”

-----

Hari jumat yang ditunggu-tunggu Fitri tiba, pagi-pagi sekali Fatimah dan Fitri sudah keluar dari pondok, mereka menunggu bus yang kemarin di tumpangi Fitri. Lama mereka menunggu, akhirnya bus kemarin datang. Dengan cekatan mereka naik dan langsung bertanya kepada kernet bus.
Namun kecewa segera mendera Fitri karena ternyata kernet bus tersebut tidak tahu menahu tentang mushaf tersebut.
”Fitri, kamu ga apa-apakan, coba kamu ingat dimana saja kamu singgah, mungkin terjatuh di tempat lain.” Kata Fatimah.
”Tidak mbak, aku yakin terjatuh di bus ini” Jawabnya.
”Oh iya, kemarin Ari bilang kamu hampir menabrak seorang pemuda?”
”Benar mbak, apa mungkin dibawa pemuda itu ya? Sebentar mbak saya tanya ke Kernet.”
”Maaf pak, kalau pemuda yang kemarin jumat duduk di situ, turun dimana ya?” tanyanya sambil menunjuk bangku nomor dua dari depan.
”Waduh mana saya ingat?”
Mendung kembali menggelayuti hati Fitri. Harapan dia pupus sudah.
Sedang bus terus berjalan, Fitri terduduk lemas di samping Fatimah.

Ketika kernet berteriak menyebut Pondok Pesantren al-Mubarok, kondektur yang sejak tadi memperhatikan tingkah kedua putri berjilbab terhenyak dan segera berjalan tergesa ke arah dua anak itu.
“Mbak, maaf kalau tidak salah, saya teringat ada seorang anak dengan ciri-ciri seperti yang kamu maksud turun di Pondok al-Mubarok itu.”
Fitri yang semula lemas, seperti mendapatkan tenaganya kembali. Segera ia bangun, berterimakasih dan minta turun di lokasi itu.
Fitri dan Fatimah turun, mereka memperhatikan keadaan sekeliling pesantren itu. Setelah hafal mereka segera mencari bus kembali ke pondok. Terbersit secercah asa di relung hatinya. Ia berniat mencari pemuda itu di lain waktu.


Dua bulan berjalan, mereka terus mencari pemuda yang dimaksud. Tapi rupanya usaha mereka belum mendapatkan hasil.
Waktu berjalan bulan ketiga pun memasuki kehidupan Fitri dari sejak ia kehilangan mushaf itu.
Tiba waktu ketika sekolah mengumumkan adanya perlombaan antar sekolah yang meliputi lomba cerdas cermat, lomba pidato dan mengarang empat bahasa yaitu bahasa Arab, bahasa Inggris, bahasa Indonesia dan bahasa Jawa, parade puisi, qiroah, MTQ, Theater dan lomba membaca kitab kuning.
Fitri terpilih mewakili sekolah dalam lomba MTQ, sedangkan Ari mewakili lomba pidato bahasa Arab. Lomba akan dilaksanakan di SMA III Kediri bulan depan.
Fitri disibukkan dengan berbagai latihan dan persiapan perlombaan, begitu pula dengan Ari dengan persiapan lomba pidatonya. Kesibukan ini membuat Fitri terlupakan sementara dengan mushafnya yang hilang.

------

Tidak terasa satu bulan telah berlalu dan esok lomba akan benar-benar dihadapi. Rifa’i telah siap berkat bantuan ustadz-ustadznya yang selalu memberikan dukungan dengan berbagai pelatihan dan test yang dilimpahkan kepada Rifa’i. Hal ini juga tidak lepas dari bantuan rekan satu pondoknya, terutama rekan-rekan satu kamarnya yaitu Bowo, Ardo, Adi, syaiful, Arif, Ahmad dan teman setianya Anwar yang selalu membantu dan menyokongnya dari belakang hingga ia tetap selalu bersemangat untuk mengikuti perlombaan.
Begitu juga dengan Fitri, suaranya semakin meningkat indah dan merdu. Setelah ia melakukan proses Ghurah ditambah lagi setiap pagi ia selalu berlatih untuk menyenandungkan ayat-ayat al-Qur’an dengan sebaik mungkin, seindah mungkin dan juga semerdu mungkin.
Berbagai upaya telah juga telah ia lakukan dari meminum madu setiap pagi dan malam menjelang tidur agar suaranya tetap lantang dan prima.


Pagi ini gedung sekolah SMA 3 Kediri begitu ramai, penuh sesak oleh peserta lomba yang hampir keseluruhan adalah siswa tingkat menengah atas termasuk Fitri. Ia begitu anggun dan cantik dengan balutan busana muslimah berwarna krem dengan jilbab yang tergelar hingga dadanya.
Aripun tak kalah cantik, ia mengenakan busana hijau dengan jilbab pendek mengikat leher namun tetap tidak menampakkan lekuk tubuhnya karena ia memakai jas sehingga tampak lebih berwibawa.
”Fit, dimana ruang lomba kamu?” tanya Ari.
“”di Ruang 3 lantai 2, kalau tidak salah.” jawab fitri.
”Fit kamu kok ga seru gitu sih?” gerutu Ari.
”Iya-iya, masa gitu aja marah nanti kalau ga juara gimana?” ledek Fitri.
Ari tetap melipat wajahnya, seakan tak mendengar apa yang dikatakan Fitri kepadanya.
Tiba-tiba Ari berteriak.
”Fit...Fitri, lihat itu pemuda yang kemarin di bus.” Ia berteriak sambil menunjuk seorang pemuda yang tengah berjalan di gedung seberang.
”Siapa Ri? Di bus yang mana?” Jawab Fitri santai.
“Itu yang dulu hampir kamu tabrak.”
”Oh pemuda itu, mana Ri? Dimana?”
”Itu...” jawabnya sambil menunjuk seorang pemuda gagah yang berjalan dengan penuh wibawa lalu masuk ke dalam sebuah ruangan.
Pemuda itu tak lain adalah Rifa’i, yang juga mengikuti lomba pada event tersebut. Ia tampk gagah dengan baju koko merah yang ia kenakan.
Rifa’i masuk ke dalam ruang panitia, karena ia belum mendaftarkan diri.
”Maaf, saya ingin mendaftarkan diri untuk perlombaan tafsir hadis.” sapanya kepada panitia.
Setelah ia mengurus semua persyaratan, ia diberi kartu peserta dengan nomor urut 18 sedang lombanya berada di ruang 4 lantai 2.
”Mas Anwar, aku naik dulu ya? Mau cari ruang, nanti kita ketemu di sana saja.” kata Rifai menunjuk ke kantin.
”Baiklah, aku juga mau ke ruang lomba, sampai jumpa nanti, semoga sukses.” balas Anwar.
”sama-sama.” balas Rifai.
Kemudian mereka berejabatan tangan dan mulai berjalan ke tujuan masing-masing.”

Tampaknya doa Rifai benar-benar dikabulkan Allah. Takdir Allah akan mempertemukan mereka hari ini.
Rifai naik ke tangga menuju lantai 2, sedangkan Fitri sudah berada di lantai 2. ia tampak sendiri karena Ari sudah berada di ruang lombanya, yaitu lantai bawah.
Rifai sudah berada tepat di lantai 2. ia merasakan ada yang aneh. Ia begitu tegang dan hatinya berdebar-debar.
”Rif, aku merasa aneh disini.” Kata Rifai kepada Arif, rekan yang baru dikenalnya.
”Aneh...” Tanyanya menyelidik.
”Oh mungkin karena anginnya lebih besar daripada di bawah tadi.”
”Tidak, aku merasa tegang dan grogi.”
”Belum masuk ke ruang lomba kok sudah grogi? Jangan lupa banyak-banyak membaca sholawat agar tenang dan tidak grogi.” ujar Arif mencoba menenangkan Rifai.
”Terimakasih Rif.” balas Rifai dengan senyum yang mengembang di bibirnya sehingga tampak lebih manis.
Rifai terus menenangkan hatinya dan mengatur detak jantungnya yang berdebar-debar semakin kencang dan tidak beraturan.
Ia terus berjalan melewati beberapa ruang lomba. Ruang lomba tafsir hadis memang berada di ujung. Ia terus berjalan. Tiba-tiba ia merasa ada yang memanggilnya di sebelah ruangan, ia menoleh.
”Ada apa Fai?” tanya Arif.
“Tidak ada apa-apa, tapi aku merasa ada yang memanggilku dari ruang ini.” Jawabnya sambil menyapu seisi ruangan itu.
Tiba-tiba matanya tertuju pada seorang gadis berbaju krem yang duduk dengan beberapa temannya. Rifai terus mengamati gadis itu.
“Sepertinya aku pernah melihatnya.” Gumamnya dalam hati.
Gadis berbaju krem itu tidak merasa kalau ia sedang diperhatikan. Ia terus asyik mengobrol dengan teman-temannya.
Rifai terus mengamatinya, ia berusaha untuk mengingat-ingatnya.
”Siapa dia?” Pertanyaan ini terus muncul dalam hatinya.
’’faiq ,ada yang memanggil atau tidak? Tanya arif dengan nada datar,namun teryata mampu membuat rifai kaget.
’’tidak, tidak ada, mungkin hanya perasaanku saja.’’ Jawabnya dengan kata yang terbata.
Mereka berdua melanjutkan langkah mereka. Saat Rifai mulai berjalan ia masih menatap gadis berbaju krem itu. Gadis itupun juga menatapnya saat Rifai mulai mengalihkan pandangan.
”Fitri, kamu lihat apa?” tanya seorang temannya. Fitri tak menjawab, ia menoleh dan tersenyum pada temannya itu.
Fitri tidak sadar kalau ternyata dia memperhatikan Rifai cukup lama sehingga temannya merasa aneh karena fitri tak pernah seperti itu.

------

Lomba telah di mulai semua peserta masuk ke ruang masing-masing.
Peserta lomba tafsir paling sedikit jumlahnya diantara lomba yang lain, sehingga tak heran jika lomba ini paling cepat selesai dibanding yang lainnya. Seusai lomba tafsir, para peserta meninggalkan ruangan, setelah dewan juri keluar, tinggal beberapa peserta saja yang tersisa di dalam ruangan itu. Rifai tampak diantaranya.
Mereka asyik memusyawarahkan soal-soal yang mereka dapatkan tadi. Sesaat mereka terdiam, sayup terdengar alunan Ayat-ayat suci al-Qur’an dikumandangkan dengan amat merdunya, menyentuh hati nurani terdalam. Rifai mempertajam pendengarannya seakan suara ini pernah ia dengar.
Seketika itu ia pamit kepada peserta-peserta lain dan mulai bangkit untuk keluar. Ia mencari sumber suara. Ternyata suara itu berasal dari ruang disampingnya, yaitu ruang lomba MTQ. Rifai mengamati peserta yang sedang melantunkan ayat-ayat al-Qur’an itu. Ia berusaha untuk mengingatnya namun tidak jua kunjung ada bayangan. Hingga peserta itu selesai giliran, Rifai belum mampu membuka ingatannya.
Ketika peserta itu membalikkan badan. Ia sempat beradu pandang dengan Rifai. Saat itu Rifai ingat bahwa peserta itu adalah gadis yanf pernah muncul dalam mimpinya. Ya...gadis yang senyumnya masih membekas dalam ruang hampa hatinya.

-----

Lomba MTQ telah usai, Fitri keluar bersama beberapa peserta lain. Namun kemudian mereka berpisah. Rifai ingin sekali menyapanya. Akan tetapi ia tidak tahu harus berkata apa. Tiba-tiba seorang gadis berjas menghampiri Fitri.
“Fitri, bagaimana dengan perlombaanmu?”
Rifai yang mendengar nama itu segera tersadar dari kebuntuan ingatannya. Ia teringat pada nama yang tercantum pada mushaf yang ditemukannya di bus beberapa bulan yang lalu.
Ia berfikir sejenak dan kemudian mempercepat langkah untuk menyusul Fitri. Ternyata Fitri telah menghilang di lautan manusia yang berada di ruang itu.
Rifai pasrah. Ia berjalan menuju kantin di tempat dimana ia dan Anwar sepakat untuk bertemu.
Saat berjalan menuju kantin ia melihat Fitri duduk di bawah pohon. Ia tampak menunggu seseorang.
”Assalamu’alaikum!” Sapa Rifai.
Merasa di sapa Fitri menjawab ”Wa’alaikum salam.”
Fitri memandang orang yang menyapanya. Sekilas ia kagum kepada pemuda itu. Namun ia segera beristighfar dan menjaga pandangannya.
”Maaf apakah saudari yang bernama Fitri?” Rifai memulai dialog.
”Benar.” jawab Fitri singkat.
”Kalau begitu apakah ini milikmu...?”Rifaí megeluarkan sesuatu dari sakunya
Fitri menatap benda kecil yang tak lain adalah Al-Quran. Kemuadian ia raih Al-Quran itu da dibukanya.
“Alhamdulillah...”itulah kata pertama yang diucapkannya.
“Benar ini milik saya, terima kasih. Tapi bagaimana bisa Al-Quran ini ada di tangan anda.”lanjutnya.
“Kemarin waktu saya turun dari bus, tidak sengaja saya melihatnya tergeletak di sebelahku lalu saya ambil. Tapi maaf saya baru sempat mengembalikannya. Karena dalam Al-Quran tidak tercantum identitas pemilik buku.”lanjut Rifai.
“Memang selama ini saya....”tiba-tiba Ari datang dan memotong pembicaraan mereka.
“Fitri, madza hashol laki?”tanya Ari dengan bahasa Arab, agar Rifai tidak mengerti isi pembicaraan mereka.
“La baksa, min aina?”balas Fitri.
”Minal hammam, Fitri man huwa? A huwa habibuki”tanya Ari.
Mendengar ia ditanyakan, lalu Rifai memperkenalkan dirinya.
“Ana Rifai, minal ma’had al-Mubarrok.”
Ari tampak sangat malu, wajahnya memerah pucat pasi.
”Salam kenal” balas Ari.
Kemudian Ari berbisik kepada Fitri.
”Fit, kok nggak bilang-bilang kalau ia bisa bahasa Arab? Aku kan malu Fit.”
”Maaf aku gak tau, aku aja baru kenal.”jawab fitri
”Oh, maaf ini teman saya Ari. Kami satu pondok.”Ari tersenyum kepada Rifai dengan wajah yang masih merah.
”Satu pondok?”balas Rifai yang masih heran.
”Iya, kami sekarang bermukm di pondok Ar-Rohmah.”
Rifai terdiam dan teringat pada suasana rumahnya yang juga mepunyai pondok pesantren yang juga bernama Ar-Rohmah.
”Ar-Rohmah, apakah pondok itu diasuh oleh Bpk. Sulaiman Bahrul Ulum Mubakkir?”tanya Rifai penasaran.
Ari dan Fitri saling berpandangan.
”Bagaimana anda bisa tahu tentang pondok kami?”tanya Fitri keheranan.
“Apakah kakak pernah ke sana atau punya famili yang kebetulan mondok di sana juga?”sambung Ari.
“Saya memang penah ke sana, bahkan sering kesana, saya ini adalah....”
Belum selesai bicara, ia mendengar ada seseorang yang memanggilnya dari arah belakang. Kemudian Rifai menoleh dan menghampirinya. Entah apa yang mereka bicarakan. Selang beberapa waktu, Rifai kembali menghampiri Ari dan Fitri dengan mengajak rekannya yang memanggilnya tadi.
“Fitri, Ari, perkenalkan ini rekanku. Mas Anwar namanya.” Mas Anwar tersenyum ramah kepada mereka berdua, merekapun membalasnya.
”Maaf ya, kami masih ada urusan. Kami pamit dulu.” tambah Rifai.
”Terima kasih kak, semoga kita masih bisa bertemu lagi.”jawab Fitri.
”Insya Allah..., Assalamu’alaikum...”
”Wa’alaikumsalam...”jawab Ari dan Fitri kompak.

Kemudian mereka berbalik arah dan mulai berjalan menjauh menuju gerbang.
Fitri masih memandang kosong ke arah mereka, tidak sadar bahwa ternyata dia diperhatikan Ari.
”Fitri!!!” teriaknya di dekat telinga Fitri yang sejak tadi tampak melamun.
”Ästaghfirullahal’adzim.”Fitri tampak kaget dan bingung, apa yang harus ia lakukan. Ditambah dengan pipinya yang memerah, menampakkan rasa malunya. Ari melihat Fitri seperti itu tak tahan ingin tertawa, tapi ia berusaha menahannya.
”Sepertinya baru kali ini deh aku melihat kamu memperhatikan seseorang sampai segitunya.”ledek Ari.
”Ah....tidak, aku kan cuma memperhatikan orang yang telah mengembalikan Al-Quranku. Baik ya orangnya.”kata Fitri mencoba untuk menutupi.
”Baik... baik orangnya apa orangnya?”ledek Ari lagi.
”Apaan sih, eh...kita pulang yuk! Nanti kemaleman.”ajak Fitri saat jam tangannya tepat menunjukkan pukul 17.00.
”Iya, tapi kita lihatpengumumannya dulu ya.”

Setelah melihat pengumuman di papan pengumuman, mereka bergegas pulang ke pondok. Di dalam bus Ari tampak pulas dalam tidurnya. Ia tampak lelah. Sedangkan Fitri tidak mampu untuk memejamkan matanya. Ia tetap terjaga dengan bayangan Rifai yang masih terlintas jelas dalam benaknya. Ia memandang lekat dalam mushafnya yang telah kembali. Ia peluk mushaf itu kemudian tersenyum-senyum sendir.

Hari-hari telah berjalan normal kembali, begitu juga dengan Fitri. Ia belajar keras, berusaha mengejar ketertinggalannya. Satu motto yang ia pegang teguh hingga saat ini,”Aku adalah anak pondok pesantren. Aku harus bisa jadi panutan dalam setiap langkahku, baik masalah agama maupun dunia.” Sehingga ia tidak ingin prestasinya turun hanya karena lomba, apalagi sebentar lagi sekolah akan mengadakan ujian semester. Ia juga tidak lupa kepada Allah, agar ia slalu diberi kemudahan dalam menuntut ilmu. Tak lupa ia berdoa agar mendapatkan juara dalam lomba yang baru ia jalani.

Begitu pula denga Rifai. Ia kembali sibuk dengan skripsinya untuk memperoleh gelar S-1 sastra Arab. Rencananya ia akan mengajukan sekripsinya tiga bulan lagi, tepatnya bulan Agustus. Meski demikian Rifai tidak pernah mengesampingkan pendidikan pondok. Ia seorang pemuda yang pandai dalam membagi waktu, sehingga baik di pondok maupun di universitas ia patut dibanggakan. Meski demikian ia tidak pernah sombong. Thawadu’ dan rendah hati selalu menyertai langkahnya.

PENGUMUMAN LOMBA
Langit masih bertabur bintang ketika Fitri terjaga dari lelapnya. Kokok ayam yang terakhir masih terdengar sayup-sayup saat adzan subuh berkumandang beberapa saat yang lalu. Ia bangkit keluar dari kamarnya dan menghirup udara padi nan beku sampai masuk ke tulang sum-sumnya. Sudah lama ia tak merasakan dindin segar udara padi di kompleks pondok. Karena memang ia hanya melakukan hal itu setiap berhalangan
Dalam hati ia tafakkur kepada Allah, memuji-Nya atas semua keindahan ciptaan-Nya. Utamanya atas segala nikmat yang telah dilimpahkan kepadanya.
Fitri menyusri jalan yang dihiasi oleh bunga-bunga kertas di setiap tepinya, dinaungi pohon flamboyan yang berbunga meriah. Menggambarkan kegembiraan yang menggebu.
Hari ini merupakan hari yang berharga untuk Fitri. Ia akan menerima piala keberhasilannya di lomba kiro’ah kemarin. Ia susuri jalan lenggang itu dengan syukur yang selalu ia lantunkan dalam kalbu. Hadir kembali putaran perjuangannya yang disambut senyum di bibirnya, namun tersirat penyesalan dalam wajahnya.
”Oh ibu, maafkan aku tidak meminta restumu. Kata-kata ini selalu terucap dalam batin Fitri.”
”Andai sebelumnya aku mohon restumu, mungkin aku akan mendapatkan yang lebih baik lagi.”tuturnya dalam batin.
”Ëhm...”desahnya kemudian.
Ia terus berjalan menikmati indahnya pagi. Tiba-tiba sebuah motor honda biru tua berhenti di dekatnya.
”Fitri, barengan yuk....”kata seorang pria yang wajahnya masih tertutup helm itu.
Fitri terdiam.
”Fitri ini aku.”katanya lagi seraya membuka helm.
”Oh...Ari, kau mengagetkanku.”ia bernafas lega kemudian menaiki motor itu.
Mereka memang berangkat bersama dari pondok, tapi di tengah jalan Ari di besuk oleh kedua orang tuanya. Setelah bersalaman Fitri berangkat dahulu.
“Ini motor siapa Ri...?”
“Milik papa.”
“Lalu mereka dimana?”
“Mereka nunggu di pondok, kita gak lama pergi.”
Motor biru tua itu meluncur manis membelah keramaian jalan raya saat itu.
Dengan gesit ia memarkir motornya di bawah flamboyan yang rindang, kemudian masuk ke dalam gedung.
”Duh fit aku nerveus nih...”
”Tenang saja, sebentar lagi kita akan pulang.”
Semua piala dan hadiah telah diserahkan kepada para pemenang. Mereka pulang saat itu juga. Kegembiraan terlihat dari wajah mereka yang bersiap naik motornya. Fitri memejamkan matanya, terbayang wajah ibunya nan jauh di sana. Ia membuka matanya dan saat itu juga ia berniat untuk mengujungi ibunya.
”Assalamualaikum”seorang pemuda menyapanya, mereka berbalik.
”Wa’alaikumsalam”jawab mereka serempak.
”Oh...kak Rifai”
”Selamat ya!”ucap Rifai.
”Sama-sama kak, kakak malah dapat juara 1.”Ari menjawab.
”Ah...biasa saja, kalian mau kemana?”
”Kami mau pulang kak, kakak sendiri?”
”Saya juga langsung pulang, masih banyak tugas. Mari, saya pulang dulu. Assalamualaikum!”
”Mari..., waalaikumsalam!”
Fitri masih saja diam seribu bahasa. Mulutnya terkunci rapat, hingga ketika Ari menghidupkan motornya Fitri sampek kaget. Mereka melaju kembali, membelah keramaian yang sesak.
-----

Malam itu bulan tersenyum manis, ditemani sang bintang. Fitri, Ari dan penghuni kamar 3 Ar-Rahmah mengadakan syukuran. Bale-bale tanggun berbentuk persegi diletakkan di tengah ruangan. Setelah berdoa dan memanjatkan puji syukur kepada Ilahi. Ari dan Fitri bergantian mengutarakan hajatnya, kemudian makan bersama.
”Mbak Fitri besuk jadi pulang?”tanya Latif
”InsyaAllah dik, aku sudah kangen banget pada ibuku.”jawab Fitri.
”Kenapa dik? Kamu ingin ikut?”Ari ikut bicara.
”Ah, enggak mbak, lha wong rumahnya naik gunung turun gunung menyeberang samudera gitu.!”
”Memangnya sejauh itu mbak?”celetus Ika.
”Ya enggak, itu kan Cuma ungkapan. Berapa sih nilai bahasamu?”
”Eh...eh...kita syukuran buat mempererat silaturahmi, kok malah perang.”Fitri melerai.
”Enggak...enggak mbak, kan Cuma bercanda.”lanjut Latif disambut dengan gelegar tawa yang memenuhi ruangan.

-----

Fajar menyingsing dengan semburat sinar merah tampak remang-ramang di ufuk timur. Fitri membuka mata, mengusir mimpi-mimpinya menghadapi dunia nyata.
Sesusah berucap syukur Fitri bersiap untuk pulang. Dengan penuh hormat dan tadzim ia sowan kepada ibu nyai. Seperempat jam sudah ia di dalam kamar bersama ibu nyai. Sesaat kemudian ia keluar dengan pipi yang basah. Ia menangis karena nasehat-nasehat yang diberikan untuknya.
Akhirnya Fitri pulang ke desa tanah kelahirannya Setelah berpamitan dengan teman satu kamarnya.

-------

Semburat sinar senja tampak indah dan menakjubkan. Fitri melangkah pasti di jalan pedesaan nan asri. Rasa lelah telah terhapus berganti dengan kegembiraan yang mendalam.
Sebuah rumah sederhana namun anggun nampak di hadapannya, senyumpun mengembang. Ia putar pandangannya dan semua yang tampak sangat jauh berbeda ketika ia meninggalkannya tiga tahun lalu. Halaman berpasir yang dulu sering ia gunakan bermain, rumah merpati dan pohon cempaka putih kini berganti dengan sebuah taman indah dengan bunga yang beraneka ragam.
"Assalamu'alaikum." Hatinya bergetar ketika ia mengucapkan salam sembari mengetukkan jari tangannya di sebuah pintu kayu dengan warna yang masih dipertahankan.
"Assalamu'alaikum." Ia ulangi salamnya dengan hati harap-harap cemas.
Hingga akhirnya sebuah suara menyahut dari dalam.
"Wa'alaikum salam…"
Seorang perempuan paruh baya membukakan pintu.
"Cari siapa dik?"
Saat pertanyaan itu dilontarkan untuknya, ia meraih tangan perempuan itu menciumnya dan tanpa terasa pipinya telah basah oleh air mata.
"Fitri….? Apa benar kamu Fitri nak…?"
Ia raih remaja dihadapannya dan ia dekapkan di dadanya.
"Ayo nduk, masuk! Ibu rindu sekali padamu."
"Ibu, maafkan Fitri." Fitri tidak berani menatap mata ibunya.
"Nak, kenapa setelah tiga tahun kamu baru menempatkan diri menjenguk ibu?"
"Maaf bu, Fitri terlalu sibuk. Setiap liburan Fitri harus selalu menahan rindu pada ibu karena tugas yang belum selesai. Maafkan Fitri ya Buk?"
"Ndak apa-apa, toh sekarang ibu senang karena kamu sudah pulang. Sekarang kamu mandi, nanti kita makan bersama bapak dan adikmu."
"Buk…, bapak dan adik kemana?"
"Bapak ke rumah pak Wiryo dan adikmu masih TPQ, sudah sana mandi."
Suasana makan menjadi sangat menyenangkan. Perasaan antara satu dengan yang lain telah menjadi satu ikatan yang kokoh. Setelah makan mereka melaksanakan shalat Maghrib berjama'ah.

Malam semakin larut. Suara binatang malam membuat suasana malam semakin syahdu. Sebetulnya rasa kantuk telah menerang Fitri. Tetapi ia tak mau memejamkan matanya. Ia tahu ibunya masih sibuk mempersiapkan dagangannya untuk besok.
Fitri bangkit keluar kamar dan menghampiri ibunya.
"Nduk, belum tidur?" Tanya ibunya.
"Belum, bu. Belum bisa tidur. Fitri ingin Bantu ibu, boleh kan?"
"Nanti capek?"
"Tidak..tidak bu, Fitri sudah terbiasa tidur malam. Kalau hanya sekedar membantu seperti ini saja tidak akan capek." Jelas fitri sambil mengmbil posisi duduk disamping ibunya.
"Nduk, gimana dengan pelajaran sekolahmu?"
"Semuanya baik bu…" suasana hening sejenak.
"Bu…" terdengar suara Fitri. "Maafkan Fitri ya Bu?"
"Kenapa? Ada apa?"
"Kemarin Fitri ikut lomba MTQ dan Fitri dapat juara ke dua."
"Itu kan bagus, selamat ya!"
"Tidak bu, Fitri tidak minta restu ibu, Fitri menyesal bu, maafkan Fitri ya bu?" rengek fitri. Tak terasa air mata Fitri mengucur deras.
"Iya, iya nduk, sudah kamu nggak usah nangis, ibu senang kamu punya fikiran seperti itu, semoga kamu jadi anak yang sholihah ya nduk."
Kebesaran hati ibu Fitri tidak malah membuat berhenti derai air mata Fitri, tapi justru membanjir. Tapi segera ia bisa menguasai dirinya dan mencoba menguasai diri.
"Amin…" jawab Fitri.
Malam semakin merangkak naik. Rasa kantuk telah hinggap di mata fitri. Namun tak tega ia meninggalkan Sang Ibu. Ia tetap menemani sang Ibu hingga pekerjaannya usai.


Kokok ayam terdengar bersahutan, pertanda pagi telah tiba, burung masih bernyanyi dengan ditemani senyum mentari.
""Pak, Bu, Ema berangkat dulu, Assalamu'alaikum!" Gadis belia yang masih duduk di bangku MI itu berangkat ke sekolah setelah mencium tangan ayah ibunya.
"Kak, adik berangkat dulu ya?" ia pamit pada kakaknya yang duduk di dipan di depan rumahnya.
"Iya dik, jajannya dikurangikan dah sarapan? semangat ya!"
"Yap..Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikum salam."
Fitri tertegun melihat keceriaan gadis belia itu.
"Tri, ikut ke pasar ga?" Tanya ibunya.
"Tidak bu, biar Fitri jaga rumah saja."
"Ya sudah, kamu nggak pengen jalan-jalan?"
"Tidak, lha bapak mana bu?"
"Bapakmu sudah berangkat ke sawah lewat belakang."
"Hati-hati di rumah ya nduk, nanti kalau sudah siang dan ibu belum pulang, kamu masakkan sayur buat adikmu ya? Ibu berangkat dulu, Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam."
Fitri terus memandang perempuan paruh baya yang terus melangkah dengan pasti. Tiba-tiba muncul rasa iba dalam benaknya. Ibu yang seharusnya menikmati masa tuanya harus bekerja keras untuk membiayainya dan adiknya.
"Aku harus segera lulus dan melanjutkan pendidikan dengan beasiswa." Kata ini kini berulangkali terucap dalam benaknya.
Tak terasa lima hari sudah ia tinggal di rumah dan esok Fitri harus segera kembali ke pondok.
Hari ini pagi secerah biasanya. Burung berkicau pula. Namun hati Fitri berawan seolah tak terkecoh oleh tajamnya sang surya.
Fitri, ibu dan Ema sholat shubuh berjama'ah. Usai shalat Fitri tak beranjak dari sajadahnya. Ia menanti ibunya selesai bermunajat kepada Sang Khalik.
"Bu…" Halus dan perlahania mendekati ibunya yang sedang melipat mukena.
"Ya, nduk ada apa?" Sang ibu tanggap kemudian membiarkan Fitri menyandarkan kepalanya di pangkuannya.
"Kenapa?"
"Bu…Fitri tidak ingin berpisah dengan ibu tapi hari ini genap sudah satu minggu Fitri di rumah. Sekarang Fitri harus kembali…"
"Nduk memang sekarang tugasmu adalah belajar dan tempat untukmu belajar adalah pondok, jadi tidak perlu kamu sedih atau mengkhawatirkan bapak, ibu ataupun adikmu. Kamu harus sungguh-sungguh jangan seperti ibu dan bapakmu yang tidak sempat mengenyam bangku pendidikan. Kamu harus jadi orang yang pinter dan bener…!"
Nasehat itu benar-benar masuk dan terhujam ke dalam hatinya. Tak sadar air matanya membasahi pipi dan pangkuan ibunya.
"Nduk, kenapa? Kamu tidak boleh nangis. Kamu harus jadi orang yang kuat." Tak setetespun air mata meleleh dari mata ibunya.
Hal ini membuat Fitri tergugah dan kembali muncul semangatnya.
"Bu…" Fitri menegakkan duduknya. Ia tersenyum dan mengusap pipinya yang basah.
"Ibu benar, Fitri harus kembali ke pondok dan kembali menuntut ilmu dan mewujudkn cita-cita ibu. Fitri janji. Fitri akan selalu mengingat pesan ibu."
Ibunya membalas dengan senyuman yang menentramkan jiwa.
"Bu, nanti masak apa?"
"Lha kamu pengen makan apa? mumpung masih di rumah."
"Kalau Fitri ingin makan sambal goring hati buatan ibu…" Jawab Fitri manja.
Mereka terus ngobrol sampai di depan pintu dapur dan memulai aktifitas memasak.
Usai sarapan Fitri, Ema dan Ibunya duduk di teras rumah.
"Nduk, kapan kamu ujian?" Tanya sang ibu.
"Kira-kira satu bulan lagi."
"jangan lupa belajar ya?"
"Insya Allah, doakan Fitri ya Bu?"
"Terus nanti mau kuliah dimana?"
"Pengennya sih di STAIN atau IAIN, disana Fitri bisa mengajukan beasiswa."
"Tri, apa kamu ga pengen nikah dulu?"
Fitri terhenyak kaget, ia arahkan pandangannya ke Ibunya. Seolah bertanya.
"Maksud ibu, kamu nikah sambil kuliah atau kamu ingin selesaikan kuliahmu?" Terang ibu.
Fitri paham dan percaya bahwa ibunya tetap akan mendukung setiap langkahnya. Ia tersenyum dan menjawab dengan santun.
"Bu, bukannya Fitri tidak mau menikah, kelak Fitri pasti akan menikah, tapi bukan dalam waktu dekat ini. Fitri masih terlalu muda untuk menikah. Fitri belum tamat aliyah, Bu." Fitri menatap ibunya lekat, ia tahu ibunya ingin fitri selalu ada disampingnya.
"Bu, bukankah dalam pernikahan dibutuhkan cinta? sedang Fitri masih belia, belum pantas untuk bercinta. Sampai saat ini Fitri belum temukan cinta."
Dalam benak Fitri teringat kata-kata Jalaluddin Rumi dalam Karyanya Diwan Shamsi abriz:
Sekalipun cinta telah kuuraikan dank u jelaskan panjang lebar
Namun jika cinta ku datangi aku jadi malu pada keternganku sendiri
Meskipun lidahku telah mampu menguraikan dengan terang.
Namun tanpa lidah
Cinta ternyata lebih terang
Sementara pena bagiku tergesa-gesa menuliskannya
Kata-kata pecah berkeping-keping begitu sampai kepada cinta
Dalam menguraikan cinta akal terbaing tak berdaya
Bagaikan keledai terbaring dalam Lumpur
Cinta sendirilah yang menerangkan cinta
Dalam percintaan.
Fitri membalikkan pandangannya tampak olehnya pipi ibunya yang basah. Ia hapus air mata itu. Ada rasa haru yang sangat bergejolak di batinnya.
"Maafkan Fitri Bu.., Fitri tidak bermaksud membuat ibu sedih. Fitri hanya…"
Belum sempat ia lanjutkan perkataannya. Sang ayah yang ternyata berada di samping pintu angkat bicara.
"Nduk, bapak bangga padamu meskipun usiamu masih muda kamu bisa berpikir dewasa. Bapak bangga pada kegigihanmu untuk tetap menuntut ilmu. Bapak bangga pada keistiqomahanmu putriku."
Ia menghampiri puterinya. Ia usap kepalanya dengan mata berkaca-kaca.
"Ibu juga bangga padamu, nduk."
Mereka bertiga saling berpeluk erat diiringi isak tangis haru.
Matahari mulai naik ke kepala. Semakin memperlihatkan kegagahan sinarnya. Fitri yang tengah mengemasi barang-barangnya di dalam kamar dihampiri ayahnya.
"Nduk, nanti kamu pulang jam berapa?"
"Tidak tahu pak, mungkin lepas dzuhur."
"Apa tidak kesorean? Kalau bapak antar sekarang bagaimana?"
Fitri diam sejenak, ia merasa iba kalau ayahnya kepanasan di jalan raya.
"Nduk, bapak tidak apa-apa, yang penting nanti kamu bisa selamat sampai pondok." Bapak Fitri mencoba meyakinkan Fitri dan mengusir kegundahan di hatinya.
Fitri tetap dalam diamnya. Ia mengangguk pelan pertanda setuju. Maka saat itu pula Fitri bersiap-siap setelah berpamitan dengan adik dan ibunya. Ia keluar namun tetap diiringi ibunya disampingnya.
"Tri, nanti kalau kamu mau ujian jangan lupa beritahu ibu ya? Ini nomor telepon pak lekmu." Ucap sang ibu sambil menyerahkan sepucuk kertas kecil. Fitri menyambut hangat kertas kecil itu dan segera memasukkan ke dalam tasnya.
Setelah meminta restu dan doa Sang ibu serta mencium tangannya. Ia langkahkan kakinya ke arah ayahnya.

Matahari hampir tak tampak ketika Fitri dan ayahnya tiba di pesantren ar-Rahmah. Usai shalat Maghrib ayahnya langsung meluncur pulang setelah dirasa cukup segala urusan dengan Fitri.
Fitri melangkah pasti memasuki halaman komplek pesantren. Masih terngiang di telinganya nasehat-nasehat ibunya sebelum berangkat. Kini semangat baru memenuhi hatinya, rasa ingin membahagiakan dan menunaikan amanah ibunya.
"Assalamu'alaikum." Ia mengucap salam ketika sampai di depan kamarnya. Namun tidak ada seorangpun yang menjawab.
"Ari…Ika…Mbak Fatimah…!"
Sekali lagi tak seorangpun menyahut. Akhirnya ia masuk, meletakkan tas di samping almari mungilnya. Tampak semburat rasa heran dan kecewa di wajahnya.
"Astaghfirullahal'adzim, mereka kan masih ngaji khulasoh, kok aku bisa lupa ya?"
Ia sibuk menata bawaannya dari rumah, tiba-tiba terdengar langkah kaki disertai sendau gurau dari luar, ia bersembunyi di balik pintu. Smpai di depan pintupun mereka masih asyik bersenda gurau.
"Kak Ari, tahu ga burung apa yang paling kaya?" Ujar latif.
"mmmmm…apa ya?"
"Assalamu'alaikum" Fitri tiba-tiba menampakkan dirinya di hadapan sahabat-sahabatnya.
"Wa'alaikum salam…eh mbak Fitri…" teriak mereka bersamaan. Mereka berpelukan satu persatu baru kemudian duduk dan saling tukar pengalaman.

Malam makin larut. Bintang-bintang tampak mengintip dari balik jendela seolah memperhatikan Arid an Fitri yang masih asyik memperhatikan Arid an Fitri yang masih asyik bercerita.
"Fit, ketika kamu pulang, kak Rifa'I ke sini lho..!" Ucap Ari perlahan agar yang lain tidak mendengar.
"Ah…masa?" Jawab Fitri tak percaya.
"Apa dia mencariku?" lanjutnya.
"Yee…GR banget sih" Celetusk Ari.
"Ssst….jangan keras-keras nanti ketahuan pengawas" ia mengingatkan temannya yang baru saja beruara lantang.
"Iya..iya… kemarin kak Rifai menginap di ndalem bersama dua orng rekannya, kelihatannya ia akrab banget dengan abah dan ummi."
"Yang benar kamu Ri?"
"Iya, baru kemarin sore mereka pergi. Mungkin dua hari mereka menginap disini."
"Astaghfirullah, mengapa setiap mendengar namanya hati ini tak berhenti berdebar." Desahnya dalam hati, namun segera ia tepis perasaan itu.
"Sudahlah Ar, untuk apa kita membicarakan orang. Lebih baik kita tidur agar besok kita tidak tertinggal jama'ah shubuh."
Perlahan ia pejamkan matanya dengan bibir yang masih berzikir memuji sang Kholik.
Langit dinihari selalu memikatnya. Bintang yang berkilauan di matanya tampak bak mata ribuan malaikat yang mengintip penduduk bumi. Bulan terasa begitu anggun menciptakan kedamaian di dalam hati. Ia lalui waktu malam ini seperti biasa. Ia ber-taqarrub, beribadah dan berzikir kepada Sang Khalik hingga fajar menjelang.

-----

Matahari menuju tengah petala ketika ia pulang. Wajahnya pucat pasi langkahnya gontai. Disampingnya ada Fatimah yang menyokong setiap langkahnya. Menasehati dan mengingatkan bahwa ujian sudah dekat.
"Dik, sebentar lagi kan kamu uian kelulusan, kamu malah sakit. Jangan terlalu dipaksakan dik. Satu minggu ini bukan waktu yang lama. Biar nanti aku antar ke dokter ya?!"
Kata-katanya bagai setetes embun yang mampu menentramkam jiwa Fitri. Senyumnya mengembang meski bibirnya pucat. Dengan suara yang serak-serak basah ia menjawabnya.
"Tidak usah mbak, nanti juga sembuh sendiri. Mungkin karena aku tidak sarapan tadi pagi, jadi ya lemas seperti ini."
"Benar dik?" Tanya Fatimah meyakinkan.
"benar mbak, Buat apa Fitri bohong pada mbak."
Sesampai di kamar Fitri lebih memilih rebahan dan mencoba untuk tidur. Namun rasa pening dan panas di tubuhnya membuatnya tak mampu memejamkan mata batinnya meski kedua indera penglihatannya tampak terpejam.
Fatimah datang dengan membawa sebuah nampan berisi jajanan gorengan. Sepiring nasi lengkap dengan sayuran lengkap dengan teh manis hangat. Tak lupa ia siapkan obat sakit kepala dan segelas air putih.
Perlahan dia mendekati Fitri yang kian lelap. Ia mengukur panasnya dengan meletakkan punggung tangannya ke kening Fitri.
"Masya Allah, badannya panas sekali." Ia langsung beranjak mengambil kompres an meletakkannya di kening Fitri.
Akhirnya fitri benar-benar terlelap dalam tidur. Fitri bermimpi bertemu ayahnya. Ayahnya memakai sarung putih dan baju serta peci putih.
"Bapak…!" ia berteriak memanggil ayahnya dan menghamburkan diri dalam pelukan ayahnya.
"Nduk, seminggu lagi kamu ujian, jaga kesehatanmu dan belajar yang rajin. Bapak akan selalu berdoa untuk keberhasilanmu."
Entah kenapa ucapan ayahnya itu begitu dalam dirasa olehnya.
"Nduk, sudahkah kamu penuhi amanat ibumu?"
Fitri mengangkat wajahnya dan menggeleng.
"Cepatlah kau hubungi, ibumu sangat mengharapkanmu. Jaga ibu dan adikmu karena kaulah anak pertama dan bersabarlah dalam menghadapi masalah. Yakinlah apapun masalah itu dan seberat apapun itu adalah ujian dan cobaan dari Allah. Mengerti Nduk."
Fitri menganggukkan kepalanya sebagai tanda kepahamannya.
Dua orang yang berpakaian serupa menghampiri ayah Fitri. Setelah mengucapkan salam salah seorang dari mereka berucap dengan tutur kata yang halus.
"Maaf pak, mari sudah waktunya."
Fitri tak mengerti maksud ucapan orang itu.
"Baiklah." Ayah Fitri menjawab ajakannya.
"Nduk, ingat pesan bapak. Jaga adik dan ibumu dalam menghadapi apapun bentuk ujian dan cobaan." Fitri menganggukkan kepala. Sang ayah mencium kening fitri. Fitri pun mencium tangan ayahnya dengan mata berlinang air mata.
"Bapak pergi dulu nduk. Sampaikan salamku pada ibumu. Assalamu'alaikum!"
"Wa'alaikum salam..!"
Ayahnya berbalik, berjalan diapit oleh dua orang laki-laki tadi. Mereka berjalan jauh-jauh semakin jauh..hingga tak terlihat lagi. Fitri diam tetap berdiri kokoh dengan mata jauh menerawang.
"Fitri...Fitri..." tiba-tiba banyak suara memanggilnya. Perlahan ia buka matanya.
"mbak Fatim, Ari..."
"Kamu mengigau?" tanya mereka.
Fitri tak menjawab. Dalam angannya masih terngiang nasehat dan pesan ayahnya. Timbul kecemasan dalam hatinya.
"Ayo fit minum teh hangatnya, agar kamu segar."

Senja berganti malam. Semburat mega merah memudar dan bulan tampak murung bersembunyi di balik awan seolah menggambarkan perasaannya yang kian gundah.
Setelah shalat maghrib ia berzikir dan berdoa. Dalam doanya sayup-sayup terdengar suara lembutnya.
"Ya Rabb, Engkau mengetahui apa yang terhijab dan tersibak. Ya Allah Engkau Maha Mengetahui, Engkau sebaik-baik pemberi fatwa dan Engkau sebaik-baik penafsir mimpi. Engakulah sebaik-baik Dzat. Ya Allah hamba memohon petunjuk-Mu Wahai Dzat yang Memberi petunjuk dan Fatwa. Ya Allah hamba mohon sibaklah arti mimpi hamba. Ya Allah jagalah keluarga hamba dari...."
Suaranya tak jelas lagi terdengar. Isak tangis terdengar darinya diiringi dengan kedua tangannya. Ia usapkan ke wajahnya yang masih pucat pasi. Sujud syukur ia lakukan usai berdoa dilanjut dengan shalat ba'diyah maghrib.
Hari ini ia tidak ikut berjama'ah dan mengaji khulasoh karena masih pusing dan lemah.
Usai shalat ia memilih untuk membaringkan badannya di atas sajadahnya dengan bibir yang terus melantunkan ayat-ayat suci yang ia hafal.
Fajar telah terbit ketika ia membuka matanya. Remang-remang cahaya redup rembulan menyinari jendela kamarnya. Suara adzan telah banyak dikumandangkan. Ia bangun dan beristighfar.
Sesal masuk ke relung kalbunya.
"Kenapa aku baru terjaga?" pertanyaan itu terus berulangkali dipertanyakan dihatinya.
Dengan kepala yang masih pening ia bangkit menerobos angin pagi yang kurang bersahabat. Ia menuju ke kamar mandi untuk mengambil air wudlu.
Saat mentari benar-benar menampakkan sinarnya ia sudah siap untuk kembali ke sekolah bersama teman-temannya.
"Fit, kamu yakin mau masuk sekolah." Tanya Ari.
"Iya, Ri, aku sudah sehat kok."
”Ya sudah kita berangkat sekarang.”
Fitri hanya tersenyum kemudian melangkah mengikuti langkah Ari. Ia teringat pesan ayahnya dalam mimpinya kemarin.
”Fit, kamu jaga baik-baik kesehatanmu, sebentar lagi kita ujian, kamu mau lulus kan?”
”Insya Allah Ri, Doakan ya! Siapa sih yang mau sakit, tapi siapa juga yang bisa nolak kalau dikasih sakit. Semoga aku bisa sembuh sebelum ujian nanti.”
Ari hanya terdiam. Ia tahu Fitri hanya berusaha menghibur dirinya sendiri.
”Ri, nanti kamu bersedia aku ajak ke wartel?” lanjut Fitri.
”Untuk apa?”
”Ujian kurang lima hari lagi, aku belum memberitahu ibu.”
”Oh iya, nanti kita mampir.”
”Terimakasih”


Sekitar pukul 11.00 WIB MA Ar-Rahmah telah sepi. Tinggal beberapa siswa saja yang masih tampak berlalu lalang di gedung sekolah itu. Diantaranya adalah Ari dan Fitri yang sibuk mencari telephn koin yang memang disediakan pihak sekolah bagi siswi-siswinya. Karena ternyata yang tersedia tidak dapat difungsikan, maka terpaksa mereka mencari wartel terdekat yang kebetulan berjarak tidak jauh dari gedung MA.
Entah kenapa hatinya tiba-tiba gelisah, diliputi rasa cemas. Ia tenangkan hatinya dengan istighfar. Namun seakan tak jua membuat kegusaran hatinya hilang. Saat tiba gilirannya, rasa cemasnya semakin tidak dapat dibendung saja hingga tanpa terasa dan tanpa tahu sebabnya air mata Fitri menetes.
”Fit, mau ku temani?” tanya Ari yang sejak tadi memperhatikan perubahan sikap pada Fitri.
”Tidak perlu Ri, aku tidak apa.” Jawabnya singkat.
Jari-jarinya yang lentik mulai memencet beberapa nomor.
Tak lama kemudian telpon diangkat.
”Assalamuálaikum” suara seorang laki-laki terdengar.
”Waálaikum salam. Pak lek ini Fitri. Bisa bicara dengan ibu?”
”Oh kamu Tri. Kebetulan ini pak lekada di rumahmu. Tri kamu sudah dengar kabar terakhir tentang keluargamu?”
”Kabar apa pak lek?” tanya Fitri dengan nada agak terkejut dan cemas yang berbaur menjadi satu.
”Oh sebaiknya kamu bicara dengan ibumu sekarang.”
”Assalamu’alaikum, nduk!”
”Wa’alaikum salam, Bu ada apa? Ibu...Ibu menangis?”
”Bapak nduk, Bapak sudah menghadap Allah.”
”Apa bu? Inna lillahi Wa inna ilaihi Rajiun!”
”Tri...Tri...Tri...!” teriak suara dalam telephon.
”Maaf bu, Fitri lemas, ibu yang sabar ya. Ini hanya cobaan Bu. Saya temannya Fitri, Ari. Saya tutup dulu telephonnya. Assalamuálaikum!” Ari mengambil alih pembicaraan dalam telepon.
Tiba di komplek pondok, di kamar 3, fitri yang masih terbaring itu mngerdipkan mata, tangannya bergerak, semua yang berada di sekitarnya lega.
”Fit, sudah sadar.” Ucap Fatimah sambil meminumkan segelas air putih di tangannya.
Matanya menitikkan air mata. Pandangannya kosong.
”Fit, kamu makan ya!” bujuk Fatimah.
Fitri menjawab hanya dengan gelengan kepala. Fatimah memberi kode agar semua yang berada di kamar meninggalkan kamar. Kini yang tersisa hanya Fitri, Ari dan Fatimah.
”Fit, mbak sudah tahu semuanya. Itu memang berat, tapi cobalah kamu fikirkan sejenak. Kita semua adalah milik Allah. Kita tidak dapat melawan takdir apapun dari Allah untuk kita. Kematian pasti datang kepada siapapun, tidak pandang bulu, apalagi pilih-pilih, siapapun, tua, muda, anak-anak, sehat maupun sakit. Semua layak untuk mendapatkan takdir ini.”
Fitri masih temenung. Pandangannya masih kosong. Tapi butiran air matanya malah semakin menderas.
”Bapa....k!” Teriak Fitri dalam isaknya yang kemudian kembali tak sadarkan diri.
Matahari sudah kembali keperaduannya. Saat Fitri sadar matanya masih merah dan agak bengkak.
”Fitri, aku tinggal dulu ya! Ummi mau bicara denganmu.” Ujar Fatimah yang kemudian beranjak menjauhinya, diiringi dengan masuknya wanita paruh baya anggun.
Mengenakan jubah lengkap dengan kerudung dan selendang terurai di atasnya. Mendekatinya.
Entah apa yang mereka bicarakan. Namun Fitri tetap menitikkan air mata.
Sesaat sebelum Umi keluar Fatimah tanpa sengaja mendengar sedikit pembicaraan mereka.
”Fitri, kamu anak yang baik juga sholehah. Fit kurang 4 hari lagi kamu akan menghadapi UAN. Akankah kamu menambah beban ibu dan keluargamu jika nanti kamu tidak lulus? Fitri anakku...Umi tahu, Umi bukan ibu kandungmu, tapi Umi akn merasakan kesedihan yang sama apabila anak Umi tidak bahagia, apalagi tidak lulus ujian.”
Hati Fitri seolah mendapatkan desiran angin kesejukan yang menentramkan hatinya.
”Fitri anakku, bukankah dalam kitab-kitab yang telah kita pelajari sudah diterangkan bahwa Allah mempunyai takdir yang tidak dapt dicegah? Dan salah satunya adalah kematian. Fitri, tidak perlu kau teus menangisi kematian bapakmu karena itu akan mempergelap jalannya di akhirat. Sekarang kamu hanya perlu belajar giat, agar kamu lulus ujian dan bapakmu bisa mendapatkan kebahagiaan di akhirat.”
Kini hatinya benar-benar luluh, hatinya yang gersang kini bak mendapatkan siraman hujan yang membuatnya basah dan damai.
Ia peluk erat ummi yang telah menyejukkan jiwanya. Sang ibu pun mengusap-usap kepala anak didiknya itu dengan penuh kasih sayang. Tak lama kemudian umi itu keluar.
Bintang menghiasi awan ditemani sang rembulan yang mengusir kegelapan malam, ketika Fatimah kembali ke kamar ditemani Ari. Mereka melihat Fitri sudah tersenyum.
”Fit, sudah mendingan?”tanya Ari
”Alhamdulillah, terima kasih ya!”
Kemudian semuanya berpelukan bersuka cita.
”Kini kita bisa ujian!”teriak Ari
”Assalamu’alaikum, mbak Fitri ada telpon.”semua mata memandang ke arah datangnya suara itu. Merasa diperhatikan, ia memperkenalkan diri.
”Saya Nisa dari kamar 5. Mbak Fitrinya ada?”lanjutnya.
”Oh...saya dik!”jawab Fitri sambil berdiri.
”Di ndalem mbak, sekarang!”
”Oh...iya, terima kasih!”
”Sekitar 15 menit kemudian Fitri kembali ke kamar dengan pipi kembali basah. Namun bibirnya menyungging senyum.”
”Siapa mbak? Tanya latif.”
”Dari Ibu”jawabnya singkat.
”Sabar ya mbak!”balas Latif.
”Ah...tenang aja! Ibu hanya mengingatkan agar giat belajar kok!”

-----

Sejak dahulu Fitri sudah terbiasa untuk selalu belajar sehingga empat hari yang ada benar-benar ia gunakan untuk memahami enam mata pelajaran UAN. Semua buku ia kumpulkan dan pelajari, begitu pula soal-soal latihan try out. Khususnya try out terakhir yang tidak ia ikuti. Keinginan untuk menjadi yang terbaik, membahagiakan almarhum ayah dan ibunya telah begitu mengakar dalam batinnya sehingga mampu mematahkan tunas-tunas kekecewaan dan keputusasaan. Sehari sebelum UAN ia kembali menghubungi ibunya untuk meminta restu dan doa sehingga ia mampu mengikuti UAN dengan tenang.
UAN telah usai. Tiga hari yang penuh ketegangan telah terlewati. Kini Fitri dapat bernafas lega. Namun ia tak pernah lupa untuk berdoa. Ia meminta kepada Sang Kholiq agar ia lulus dengan nilai yang memuaskan. Dalam setiap malam-malamnya tak pernah ia lupa untuk bermunajat kepada Allah, meminta dan mengadu kepada-Nya.
Hari ini hari ke-3 setelah UAN. Matahari tersenyum menampakkan kegirangan. Burung-burung berkicau menyambut sinarnya.
”Fit...kamu ke Madrasah tidak?”tanya Ari.
”Untuk apa?”balas Fitri sambil merapikan bajunya.
”Kita mengembalikan buku perpus.”
”Oh...”jawabnya singkat.
”Oh apa?”Ari tampak agak kesal.
”Oh...iya aku ikut.”jawabnya
Saat mereka hendak pergi, perasaan Fitri deg-degan, ia merasa senang. ”Aku kenapa” lalu pertanyaan itu muncul dengan sendirinya. Pertanyaan itu terjawab ketika mereka melewati ndalem. Fitri tanpa sengaja melihat pemuda yang pernah ia jumpai.
”Rifai!”ia berkata lirih.
”Apa Fit?”tanya Ari.
”Ah...enggak!”
Fitri mengalihkan pandangannya, saat itulah Rifai melihat Fitri. Ces...serasa ada kesejukan masuk kedalam rongga hatinya.
Rifai kini sudah menyelesaikan sekripsinya dan sudah menyandang gelar S-1.
Hari ini matahari bersinar cerah dengan awan-awan putih mengitarinya. Begitu pula dengan perasaan siswi MA Al-Rahmah Kediri. Semua siswa-siswi MA itu lulus. Begitu pula dengan Fitri. Ia lulus dengan nilai terbaik di semua MA dan SMA Kediri.
Empat tahun sudah berlalu semenjak ia lulus dari MA Kediri. Dan sekarang ia telah menyandang gelar S-1 Pendidikan Agama Islam Tarbiyah dengan program beasiswa dan sekarang mengajar di MAN 2 Kediri.
Hari ini merupakan hari bersejarah bagi Fitri serta Rifai. Senja yang tampak indah, desiran angin yang berhembus menjadi saksi pinangan Rifai dan keluarganya terhadap Fitri. Fitri tampak begitu ayu nan anggun dengan baju biru yang ia kenakan saat menghidangkan makanan dan minuman.
“Nduk Fitri duduklah sebentar.”perintah ibunya kepada Fitri. Ia taat dan segera duduk di sampingnya. Sesaat ia sempat beradu pandang dengan pemuda tampan dan gagah yang datang bersama abah dan uminya dari pondoknya dahulu.ia heran, karena ia berfikir bahwa abah serta umi hanya bersilaturahmi padanya.
”Nduk, kamu kenal kan siapa tamu kita ini?”tanya ibunya kalem.
”Iya bu!”jawabnya.
”Sekarang terserah kamu. Mereka jauh-jauh datang ke gubug ini untuk memintamu mendampingi anaknya.”ibunya menjelaskan.
Ia tersentak kaget mendengarkan perkataan ibunya itu. Seolah tak peraya jika ia akan dipinang oleh keluarga ndalem yang pernah mendidik dan membesarkannya. Tak percaya jika Rifai uang ia kenal itu adalah putra dari abah dan uminya.
”Anakku Fitri, obalah kita kedalam sejenak. Umi ingin biara berdua denganmu.”pinta seorang wanita berjubah warna krem yang mulai berjalan menghampirinya. Fitri menganggukkan kepala, lalu mengikuti langkah uminya itu.
Mereka duduk di sebuah kursi di samping kamar Fitri.
”Fitri anakku, tentunya kau sudah tau tujuan kami datang ke rumahmu. Anakku Rifai InsyaAllah ia anak yang saleh da InsyaAllah ia mampu menjadi seorang suami yang baik untukmu, menjadi pembimbing dan panutan serta bapak yang baik dan bertanggung jawab untuk anak-anakmu kelak. Dan InsyaAllah ia mampu memberikan nafkah untukmu. Bagaimana nak? Apakah kau mau menerima lamaran ini?”
Deg...hatinya tersentak kaget. Ia tenangkan hatinya, ia teringat kembali saat-saat indah bersamanya. Rifai adalah pemuda yang dahulu telah mengembalikan Al-Qurannya. Rifai adalah pemuda yang selama ini mampu menuri hatinya. Satu-satunya pemuda yang membuat hatinya gundah, resah. Satu-satunya pamuda yang telah memberikan warna dalam hatinya. Akhirnya ia memantapkan hatinya.
”InsyaAllah umi, saya bersedia.”
”Terima kasih nak.”ia raih dan memeluk gadis semampai yang duduk di sampingnya itu. Ia ium kedua pipinya.
”Mari nak, kita kedepan.”ajaknya kemudian.
Fitri bangkit dan manghapus air mata yang sempat membasahi pipinya itu.
Di ruang tamu ayah Rifai kemali bertanya kepada Fitri, dan dengan mantap ia mengulangi jawabannya bahwa ia bersedia.
”InsyaAllah, saya bersedia.”
Setelah mendengar jawaban Fitri, senyum menghiasi setiap wajah orang-orang yang berada di ruang tamu tersebut. Termasuk Rifai dan Fitri. Tahmid selalu terucap dalam batin keduanya.
”Sekalipun cinta telah kuuraikan dan kujelaskan panjang lebar
Namun jika inta kudalangi aku jadi malu pada keteranganku sendiri
Meskipun lidahku telah mampu menguraikan dengan terang
Namun tanpa lidah
Ternyata cinta lebih terang
Sementara pena begitu tergesa-gesa menuliskannya
Kata-kata pecah berkeping-keping, begitu sampai pada cinta
Dalam menguraikan cinta, akal terbaring tak berdaya
Dagaikan keledai terbaring dalam lumpur
Cinta sendirilah yang menerangkan cinta dan percintaan
Dan engkaulah cintaku....mas Rifai”
”Aku mencintaimu tulus..., dan engkau pula cintaku yang akan menyempurnakan imanku kepada Allah dan menyempurnakan aku sebagai pengikut Rasulullah. Terimakasih cinta....”
Puisi itu dilantunkan Fitri ketika ia benar-benar sah menjadi pendamping hidup Rifai. Ditemani sang rembulan yang indah, di bawah langit malam yang bertabur bintang.
”Alhamdulillah....”mereka terus bertahmid, bersyukur kepada Allah.