Selasa, 27 Oktober 2009

MAKNA SEBUAH MAHABBAH

MAKNA SEBUAH MAHABBAH
Oleh Dwi Rahmawati
MAN Kembangsawit, Kebonsari, Madiun, Jawa Timur.

Di sudut ruangan kamar yang tidak terlalu lebar, sesosok gadis nan elok sedang khusyuk berjihad kepada Tuhannya, sementara yang lain terlelap pulas dalam balutan dinginnya malam. Seolah tak didera rasa kantuk gadis itu tetap bergumam dengan tangan menengadah di depan dada. Suaranya nan lembut memecah kesunyian. Bulir-bulir air mata meleleh berjatuhan di kedua bola matanya.

Itulah kebiasaan fitri, seorang santriwati Pondok Pesantren ar-Rahman hingga tiba waktu shubuh, tiada henti dalam beribadah kepada Allah.
Sayup-sayup suara adzan memecah keheningan. Fitri terhenyak dari kekhusyukannya. Dengan lembut ia membangunkan teman satu kamarnya, Ika, Aisyah, Arid dan Latif. Sedangkan Fatimah tetap ia biarkan terlelap dalam tidur karena sedang berhalangan. Selanjutnya ia beranjak ke Masjid.
Usai shalat shubuh Fitri serta santri yang lain tidak diperkenankan untuk kembali ke kamar masing-masing dan mengikuti pengajian kitab Bulughul Maram yang berisi tentang berbagai hadis yang menjadi dasar-dasar hukum dalam Islam.
Pengajian telah usai. Fitri dan Ari kembali ke kamar beriringan.
”Fitri al-yaum, yaumul jumáh, madza turiidiin?” tanya Ari.
”Lianna al-yaum yaumul úthlah, uriid an adzhab ila al-Maktabah.” jawab Fitri.
”Kaif law nadzhab ila as-suq?”
”li ayyi syayín?”
”Uriid an asytari al-Jilbab”
“Insya Allah”
“Jazakallah ya fitri”
“áfwan”
Mereka berbincang dengan bahasa Arab karena hari jumát merupakan hari wajib berbahasa Arab di lingkungan pondok.
Setelah mendapat izin dari pengasuh, mereka keluar dari pondok dan menuju pasar gede yang ada di pusat kota. Sehingga mereka harus naik angkodes hingga ke halte bus kemudian naik bus hingga turun di pasar gede.
Hari jumat adalah hari yang sangat sibuk sehingga hampir setiap bus yang lewat telah penuh sesak oleh penumpang.
“Dari tadi kita tunggu kok ga ada satu bus pun yang berhenti sih.” keluh Ari kepada Fitri yang tengah menyenandungkan kalam ilahi.
“Ijlis ya Ari, sebentar lagi juga datang.” jawab Fitri menghibur sahabatnya itu dan kemudian meneruskan kembali menyenandungkan kalam ilahi. Yang tertulis di mushaf kecilnya.
Tak lama kemudian bus yang ditunggu datang. Mereka naik dengan sangat santai karena kebetulan hanya mereka berdua yang menunggu di halte tersebut. Namun setelah masuk ke dalam bus, betapa terkejutnya mereka karena semua kursi telah penuh, kecuali sebuah bangku deret yang berada di urutan ke dua dari depan.
Namun mereka ragu karena salah satu bangku telah diisi oleh seorang pemuda yang sedang asyik membaca buku di tangannya. Fitri enggan untuk duduk dengan laki-laki yang bukan mahramnya dan memilih untuk berdiri.
Namun Ari tiba-tiba menarik tangannya sehingga fitri terjatuh terduduk di samping pemuda tadi. Bahkan hampir ambruk ke pangkuan pemuda itu.
Dengan sangat malu ia kemudian berdiri dan meminta maaf kepada pemuda tadi. Kemudian bergegas meninggalkan pemuda itu. Tak lama kemudian bus berhenti tepat di depan pasar gede.
Sejak turun dari bus tak henti-hentinya Ari mengomentari pemuda yang baru saja ditemuinya tadi hingga Fitri bosan untuk mendengarnya. Setelah lama berbelanja mereka singgah di warung tegal sederhana di dalam pasar. Fitri bermaksud membaca al-Qurán sambil menanti pesanan. Namun alangkah terkejutnya Fitri karena al-Qurán yang dibawanya tidak ada.
Ia mencari di dalam setiap sudut tasnya, namun tetap saja tidak ia temukan.
”Fitri, ada apa?”tanya Ari.
”Al-Quránku, al-Qur’anku tidak ada, bagaimana ini Ri?” jawab Fitri sambil terus mencari.
”Bukankah tadi ada di sakumu?”
“Iya...tapi sekarang tidak ada, bagaiman Ri?”
”Eh...jangan-jangan...”
”Jangan-jangan, apa Ri?”
” Jangan-jangan terjatuh di bus tadi saat kamu hampir menubruk pemuda tadi..”
”Oh iya, apa mungkin ya? Ri, itu mushaf pemberian orang tuaku!” kata Fitri dengan air mata yang mulai menetes.
”Fitri, maaf ya? Tapi aku yakin nanti pasti ketemu.”
”Pemuda tadi nampaknya orang yang berpendidikan, jadi pasti dikembalikan, tapi ada biodatanya kan?” Tanya Ari dengan suara yang datar.
”Ada tapi hanya nama, itupun tak lengkap hanya nama panggilan saja.” jawabnya dengan nada menyesal.
”Fitri sudahlah pasti kelak akan ketemu, sekarang kamu makan mie-nya dulu, nanti keburu dingin.” ucapnya mencoba menenangkan Fitri. Dengan malas Fitri mulai memegang alat makannya.

-----

Sementara itu, pemuda yang ditubruk Fitri tadi masih asyik dengan bukunya, baru setelah bus berhenti di depan bangunan besar bertuliskan Pondok Pesantri al-Mubarok ia menutup bukunya dan bersiap untuk turun. Tanpa sengaja ia melihat sebuah mushaf kecil di sampingnya, kemudian ia mengambilnya dan membukanya. Saat itu ia menemukan sebuah nama, yaitu Fitri. Ia langsung teringat gadis yang hampir menubruknya di bus.
Bayangan wajah manis nan anggun dengan kepribadian yang sangat menjaga nilai-nilai agama begitu lekat di hatinya, seakan tidak mau pergi.
”Mungkinkah ini cinta?” Bisik lirih batin pemuda itu.
”Astaghfirullahaládzim” ucap pemuda itu berulang-ulang kali agar ia kembali sadar dan segera memasukkan mushaf tersebut ke dalam sakunya. Pemuda itu turun dari bus, masuk ke dalam pintu gerbang dan terus berjalan hingga tak terlihat.

-------

Fitri dan Ari sudah kembali ke pondok sebelum adzan jumat berkumandang, namun wajah Fitri tetap murung dan gelisah. Hal ini membuat seisi kamar menjadi bingung. Fatimah yang merupakan teman dekat Fitri mendekat dan bertanya.
”Ya ukhti, madza hasola lak?”
”La ba’sa mbak Fitri”
”Quly ya Fitri, madza hasola lak?” Ulang Fatimah.
“Mbak, faqoda minni al-Mushaf al-Qurán” Jelas Fitri dengan air mata mulai berderai.
“Mushaf al-Quran?” Tanya Fatimah dengan heran.
“Iya tapi tapi mushaf itu pemberian orang tuaku”
”Bersabarlah, tenangkan dirimu, sekarang beristirahatlah”
”Baiklah mbak, terimakasih.”
”Afwan”
Fitri beristirahat, namun dalam relung hatinya terdalam ia masih memikirkan mushaf kecilnya.

-----

Setiba di pondoknya penemu al-Qurán fitri yang ternyata bernama Rifa’i segera masuk ke kamar dan duduk melamun.
”Fa’i, sore-sore gini kok ngelamun sih? Hati-hati lho ntar kerasukan!” celetuk Bowo yang segera membuyarkan lamunan Rifa’i.
“Oh kamu to bowo, aku ga melamun kok, cuma sedang berpikir bagaimana aku bisa menghafal nadzam alfiyah sebanyak ini?” jawabnya sambil menunjukkan dua lembar nadzam alfiyah kepada bowo.
“Kok sampai dua lembar? Memangnya kamu kemana saja?”
“Kemarin aku pulang dua minggu penuh, baru tadi sebelum adzan jumat aku datang.” Terangnya.
“Oh begitu, nah kamu dah sowan belum?” tanya bowo lagi.
“Astaghfirullah, terimakasih bowo, aku belum sowan, aku sowan dulu ya.”Jawab Rifa’i sambil berlari meninggalkan Bowo.

Usai sowan Rifa’i kembali ke kamar. Ia mengambil mushaf yang baru ia temukan tadi. Ia teringat pada gadis berjilbab itu.
”Pasti dia mencari mushaf ini.” Gumamnya.
Perlahan ia membuka dan membacanya. Ia berjanji akan memelihara dan merawat mushaf itu sampai ia berhasil menemukan pemiliknya dan mengembalikannya.
”Mas, al-Qur’annya baru?” tanya Ardo, teman satu kamarnya.
’’Bukan, ini bukan al-Qur’an milikku, Qur’an ini aku temukan di dalam bus." Jawab Rifa’i.
’’Lalu itu milik siapa?” tanyanya lagi.
“Kalau disini ada nama Fitri, mungkin ini milik gadis yang bernama Fitri, mungkin ini milik gadis yang bernama Fitri.”
“Oh begitu.” Gumamnya.
“Hati-hati lho mas, jangan-jangan nanti mas jatuh cinta sama pemilik al-Qur’an itu”
“Hus...kamu bicara apa Do, kok ngomong ngelantur gitu?” jawabnya sambil meletakkan mushaf itu di meja.
“Eh hari ini diniyah masuk tidak, aku sudah kangen nih sama kitab kuning.”
“Waduh mas, kayaknya rasa kangen mas harus ditunda dulu deh, soalnya hari ini diniyah libur.”
“Oh begitu, ya sudah aku mau ke masjid dulu, melihat pengumuman.” Kata Rifa’i seraya bangkit dan mulai berjalan.

Jauh dalam angan Rifa’i masih terbayang gadis berjilbab yang ia temui tadi. Namun ia berusaha keras untuk menghilangkan bayangan itu. Rifa’i melihat papan pengumunan, ia sangat terkejut karena namanya Ahmad Rifa’i Bahrul Ulum tertera dalam pengumuman yaitu sebagai wakil pondok untukmengikuti lomba tafsir hadis tingkat ula yang akan dilaksanakan di SMA 3 Kediri.
Dalam hati Rifa’i kini bercampur dua rasa, rasa senang karena terpilih, juga cemas kalau-kalau dia tidak mampu mengemban amanat dan tanggung jawab itu. Namun Rifa’i segera meyakinkan dirinya agar siap untuk mengikuti lomba tersebut. Karena ia tidak mau mengecewakan ustadz-ustadznya yang telah memilihnya diantara tiga ratus lima belas santri yang lain.
Rifa’i melanjutkan membaca ketentuan lomba. Pandangannya tertuju pada tanggal perlombaan.
“Astagfirullah, kurang satu bulan lagi?” ujarnya dengan nada kaget.
Ia meninggalkan papan pengumuman dan menuju kamar untuk mempelajari tafsir hadis. Hingga ia tertidur pulas.


Dalam tidur ia bermimpi bertemu Fitri. Fitri duduk mengenakan mukena, dihadapannya tampak kitab al-Qur’an yang kini dibawa Rifa’i, kitab itu terbuka dan suara fitri samar-samar terdengar lembut. Makin lama ia semakin mendekat dan suaranya makin jelas terdengar. Alunan ayat-ayat Al-Quran semakin merdu dengan nada qiro’ah. Rifai semakin mendekati Fitri, tiba-tiba Fitri berhenti mengalunkan ayat-ayat Al-Quran dan melihat ke arah Rifai, senyum mengembang di bibir Fitri sedangkan Rifai masih saja mengagumi wajah Fitri nan ayu itu. Kemudian ia terbangun dari mimpi indahnya itu.

”Astaghfirullaha’adzim”ia bangun namun bayangan senyum Fitri masih membekas di pelupuk matanya. Ia tak membiarkan syetan terus menggelutinya. Ia bangkit menuju tempat wudlu kemudian sholat di masjid. Selesai sholat ia berdoa agar ia tidak terus terbayang oleh bayangan Fitri. Namun ia memohon agar dipertemukan dengan Fitri untuk mengembalikan Al-Quran miliknya. Usai berdoa ia menghadap kitab tafsirnya hingga waktu subuh tiba.

Sholat shubuh telah usai. Rifa’i dan santri yang lain menuju ke serambi untuk mengaji Kitab Tafsir Jalalain yang dipimpin langsung oleh pengasuh pondok pesantren yaitu KH. Ahmad Syamsuri Mubakir, yang masih mempunyai garis keturunan dengan ayah Rifa’i, KH. Sulaiman Bahrul Ulum Mubakkir yang merupakan pengasuh pondok pesantren ar-Rahmah tempat Fitri bermukim untuk menuntut ilmu saat ini.

-------

Sementara itu, keesokan harinya di Pesantren Fitri, suasana sangat ramai, dengan cerah pagi yang indah. Tapi tidak bagi Fitri, ia masih teringat mushafnya.
”Fitri, sudah, jangan terlalu difikirkan, sekarang kita harus berangkat, nanti telat.” Ajak Ika.
”Fitri, maaf, ini semua salahku yang kemarin mengajakmu dan telah menarik tanganmu saat di bus.” tukas Ari.
”Ari, sudahlah, lupakan saja, aku tidak menyalahkan kamu kok.”
”Sungguh?”
Fitri tersenyum sambil menganggukkan kepala sebagai tanda kesungguhannya.
Ari mulai tenang karena Fitri sudah mulai bisa tersenyum kembali.

-----

Tiba di kelas para siswi sangat riuh karena pada jam pertama adalah ustadz Helmi yang terkenal sangat tegas, sedang mereka belum mengerjakan tugas yang diberikan pada hari kamis kemarin.
Bel masukpun berbunyi, para siswa masih sangat riuh karena tugas mereka belum selesai.
Tiba-tiba “brak....brak....” Terdengar suara pintu digedor oleh guru piket.
“Kenapa tidak segera berdoá!” Bentak guru piket.
Semua siswa terdiam dan mulai berdoa dengan dipimpin oleh Rizki, ketua kelas. Selesai berdoa, guru piket kembali bertanya ”Siapa ustadz yang mengajar pada jam ini?”
”ustadz Helmi” mereka menjawab dengan serempak.
”Oh kebetulan ustadz Helmi berhalangan, pergi ke Malang, jadi kalian silahkan belajar sendiri ya?” terang guru piket.
”Hore.....!” Seru anak-anak. Sebuah kebiasaan yang lazim ditemukan ketika seorang guru yang tidak begitu berkenan di hati anak-anak tidak masuk mengajar.
Melihat keadaan tersebut pak guru piket dengan rasa prihatin, bertanya kepada anak-anak.
”Tujuan kalian ke pondok ini untuk apa?” Tanya pak guru piket.
”Mencari ilmu pak!” jawab anak-anak.
”Nah, harusnya kalian merasa rugi, karena kesempatan kalian untuk mendapatkan ilmu berkurang. Ingatlah jerih payah orang tua ataupun siapa saja yang telah membiayai kalian. Mereka membanting tulang, sampai-sampai tidur tidak nyenyak, eh...kalian disini malah senang ketika tidak dapat pelajaran.” pak guru piket menjelaskan panjang lebar.
”Ya pak!” Jawab anak-anak serempak.
Di satu sisi bangku, Fitri tersentuh dengan nasehat pak guru. Ia teringat kepada orang tuanya dan mushaf pemberian mereka. Tak terasa setitik kristal cair meleleh dari sudut matanya.
”Jadi gunakan waktu sekarang untuk belajar sendiri, jangan keluar dari kelas. Gunakan waktu sebaik-baiknya!” lanjut pak guru.
”Ya, pak..!” Jawab anak-anak kompak.
Pak guru tersebut segera pergi meninggalkan kelas itu.

-----

Waktu terus berjalan, bel berbunyi delapan kali, menandakan bahwa waktu pulang telah tiba. Siswi-siswi mulai berkemas, merapikan perlengkapan belajar mereka. Setelah berdoa mereka segera bergegas pulang ke rumah masing-masing dan sebagian ke pondok pesantren bagi yang mondok.
Setiba di kamar Fitri duduk termenung. Fatimah langsung menghampirinya.
“Ukhti, apa kamu ingin mencari mushafmu?”
“Iya mbak, tapi kapan? Sedang aku sudah izin dua kali dalam satu bulan ini.”
”Tenang saja, nanti biar mbak yang izin ke pengurus, kita cari hari jumat saja.”
”Iya mbak, terimakasih.”

-----

Hari jumat yang ditunggu-tunggu Fitri tiba, pagi-pagi sekali Fatimah dan Fitri sudah keluar dari pondok, mereka menunggu bus yang kemarin di tumpangi Fitri. Lama mereka menunggu, akhirnya bus kemarin datang. Dengan cekatan mereka naik dan langsung bertanya kepada kernet bus.
Namun kecewa segera mendera Fitri karena ternyata kernet bus tersebut tidak tahu menahu tentang mushaf tersebut.
”Fitri, kamu ga apa-apakan, coba kamu ingat dimana saja kamu singgah, mungkin terjatuh di tempat lain.” Kata Fatimah.
”Tidak mbak, aku yakin terjatuh di bus ini” Jawabnya.
”Oh iya, kemarin Ari bilang kamu hampir menabrak seorang pemuda?”
”Benar mbak, apa mungkin dibawa pemuda itu ya? Sebentar mbak saya tanya ke Kernet.”
”Maaf pak, kalau pemuda yang kemarin jumat duduk di situ, turun dimana ya?” tanyanya sambil menunjuk bangku nomor dua dari depan.
”Waduh mana saya ingat?”
Mendung kembali menggelayuti hati Fitri. Harapan dia pupus sudah.
Sedang bus terus berjalan, Fitri terduduk lemas di samping Fatimah.

Ketika kernet berteriak menyebut Pondok Pesantren al-Mubarok, kondektur yang sejak tadi memperhatikan tingkah kedua putri berjilbab terhenyak dan segera berjalan tergesa ke arah dua anak itu.
“Mbak, maaf kalau tidak salah, saya teringat ada seorang anak dengan ciri-ciri seperti yang kamu maksud turun di Pondok al-Mubarok itu.”
Fitri yang semula lemas, seperti mendapatkan tenaganya kembali. Segera ia bangun, berterimakasih dan minta turun di lokasi itu.
Fitri dan Fatimah turun, mereka memperhatikan keadaan sekeliling pesantren itu. Setelah hafal mereka segera mencari bus kembali ke pondok. Terbersit secercah asa di relung hatinya. Ia berniat mencari pemuda itu di lain waktu.


Dua bulan berjalan, mereka terus mencari pemuda yang dimaksud. Tapi rupanya usaha mereka belum mendapatkan hasil.
Waktu berjalan bulan ketiga pun memasuki kehidupan Fitri dari sejak ia kehilangan mushaf itu.
Tiba waktu ketika sekolah mengumumkan adanya perlombaan antar sekolah yang meliputi lomba cerdas cermat, lomba pidato dan mengarang empat bahasa yaitu bahasa Arab, bahasa Inggris, bahasa Indonesia dan bahasa Jawa, parade puisi, qiroah, MTQ, Theater dan lomba membaca kitab kuning.
Fitri terpilih mewakili sekolah dalam lomba MTQ, sedangkan Ari mewakili lomba pidato bahasa Arab. Lomba akan dilaksanakan di SMA III Kediri bulan depan.
Fitri disibukkan dengan berbagai latihan dan persiapan perlombaan, begitu pula dengan Ari dengan persiapan lomba pidatonya. Kesibukan ini membuat Fitri terlupakan sementara dengan mushafnya yang hilang.

------

Tidak terasa satu bulan telah berlalu dan esok lomba akan benar-benar dihadapi. Rifa’i telah siap berkat bantuan ustadz-ustadznya yang selalu memberikan dukungan dengan berbagai pelatihan dan test yang dilimpahkan kepada Rifa’i. Hal ini juga tidak lepas dari bantuan rekan satu pondoknya, terutama rekan-rekan satu kamarnya yaitu Bowo, Ardo, Adi, syaiful, Arif, Ahmad dan teman setianya Anwar yang selalu membantu dan menyokongnya dari belakang hingga ia tetap selalu bersemangat untuk mengikuti perlombaan.
Begitu juga dengan Fitri, suaranya semakin meningkat indah dan merdu. Setelah ia melakukan proses Ghurah ditambah lagi setiap pagi ia selalu berlatih untuk menyenandungkan ayat-ayat al-Qur’an dengan sebaik mungkin, seindah mungkin dan juga semerdu mungkin.
Berbagai upaya telah juga telah ia lakukan dari meminum madu setiap pagi dan malam menjelang tidur agar suaranya tetap lantang dan prima.


Pagi ini gedung sekolah SMA 3 Kediri begitu ramai, penuh sesak oleh peserta lomba yang hampir keseluruhan adalah siswa tingkat menengah atas termasuk Fitri. Ia begitu anggun dan cantik dengan balutan busana muslimah berwarna krem dengan jilbab yang tergelar hingga dadanya.
Aripun tak kalah cantik, ia mengenakan busana hijau dengan jilbab pendek mengikat leher namun tetap tidak menampakkan lekuk tubuhnya karena ia memakai jas sehingga tampak lebih berwibawa.
”Fit, dimana ruang lomba kamu?” tanya Ari.
“”di Ruang 3 lantai 2, kalau tidak salah.” jawab fitri.
”Fit kamu kok ga seru gitu sih?” gerutu Ari.
”Iya-iya, masa gitu aja marah nanti kalau ga juara gimana?” ledek Fitri.
Ari tetap melipat wajahnya, seakan tak mendengar apa yang dikatakan Fitri kepadanya.
Tiba-tiba Ari berteriak.
”Fit...Fitri, lihat itu pemuda yang kemarin di bus.” Ia berteriak sambil menunjuk seorang pemuda yang tengah berjalan di gedung seberang.
”Siapa Ri? Di bus yang mana?” Jawab Fitri santai.
“Itu yang dulu hampir kamu tabrak.”
”Oh pemuda itu, mana Ri? Dimana?”
”Itu...” jawabnya sambil menunjuk seorang pemuda gagah yang berjalan dengan penuh wibawa lalu masuk ke dalam sebuah ruangan.
Pemuda itu tak lain adalah Rifa’i, yang juga mengikuti lomba pada event tersebut. Ia tampk gagah dengan baju koko merah yang ia kenakan.
Rifa’i masuk ke dalam ruang panitia, karena ia belum mendaftarkan diri.
”Maaf, saya ingin mendaftarkan diri untuk perlombaan tafsir hadis.” sapanya kepada panitia.
Setelah ia mengurus semua persyaratan, ia diberi kartu peserta dengan nomor urut 18 sedang lombanya berada di ruang 4 lantai 2.
”Mas Anwar, aku naik dulu ya? Mau cari ruang, nanti kita ketemu di sana saja.” kata Rifai menunjuk ke kantin.
”Baiklah, aku juga mau ke ruang lomba, sampai jumpa nanti, semoga sukses.” balas Anwar.
”sama-sama.” balas Rifai.
Kemudian mereka berejabatan tangan dan mulai berjalan ke tujuan masing-masing.”

Tampaknya doa Rifai benar-benar dikabulkan Allah. Takdir Allah akan mempertemukan mereka hari ini.
Rifai naik ke tangga menuju lantai 2, sedangkan Fitri sudah berada di lantai 2. ia tampak sendiri karena Ari sudah berada di ruang lombanya, yaitu lantai bawah.
Rifai sudah berada tepat di lantai 2. ia merasakan ada yang aneh. Ia begitu tegang dan hatinya berdebar-debar.
”Rif, aku merasa aneh disini.” Kata Rifai kepada Arif, rekan yang baru dikenalnya.
”Aneh...” Tanyanya menyelidik.
”Oh mungkin karena anginnya lebih besar daripada di bawah tadi.”
”Tidak, aku merasa tegang dan grogi.”
”Belum masuk ke ruang lomba kok sudah grogi? Jangan lupa banyak-banyak membaca sholawat agar tenang dan tidak grogi.” ujar Arif mencoba menenangkan Rifai.
”Terimakasih Rif.” balas Rifai dengan senyum yang mengembang di bibirnya sehingga tampak lebih manis.
Rifai terus menenangkan hatinya dan mengatur detak jantungnya yang berdebar-debar semakin kencang dan tidak beraturan.
Ia terus berjalan melewati beberapa ruang lomba. Ruang lomba tafsir hadis memang berada di ujung. Ia terus berjalan. Tiba-tiba ia merasa ada yang memanggilnya di sebelah ruangan, ia menoleh.
”Ada apa Fai?” tanya Arif.
“Tidak ada apa-apa, tapi aku merasa ada yang memanggilku dari ruang ini.” Jawabnya sambil menyapu seisi ruangan itu.
Tiba-tiba matanya tertuju pada seorang gadis berbaju krem yang duduk dengan beberapa temannya. Rifai terus mengamati gadis itu.
“Sepertinya aku pernah melihatnya.” Gumamnya dalam hati.
Gadis berbaju krem itu tidak merasa kalau ia sedang diperhatikan. Ia terus asyik mengobrol dengan teman-temannya.
Rifai terus mengamatinya, ia berusaha untuk mengingat-ingatnya.
”Siapa dia?” Pertanyaan ini terus muncul dalam hatinya.
’’faiq ,ada yang memanggil atau tidak? Tanya arif dengan nada datar,namun teryata mampu membuat rifai kaget.
’’tidak, tidak ada, mungkin hanya perasaanku saja.’’ Jawabnya dengan kata yang terbata.
Mereka berdua melanjutkan langkah mereka. Saat Rifai mulai berjalan ia masih menatap gadis berbaju krem itu. Gadis itupun juga menatapnya saat Rifai mulai mengalihkan pandangan.
”Fitri, kamu lihat apa?” tanya seorang temannya. Fitri tak menjawab, ia menoleh dan tersenyum pada temannya itu.
Fitri tidak sadar kalau ternyata dia memperhatikan Rifai cukup lama sehingga temannya merasa aneh karena fitri tak pernah seperti itu.

------

Lomba telah di mulai semua peserta masuk ke ruang masing-masing.
Peserta lomba tafsir paling sedikit jumlahnya diantara lomba yang lain, sehingga tak heran jika lomba ini paling cepat selesai dibanding yang lainnya. Seusai lomba tafsir, para peserta meninggalkan ruangan, setelah dewan juri keluar, tinggal beberapa peserta saja yang tersisa di dalam ruangan itu. Rifai tampak diantaranya.
Mereka asyik memusyawarahkan soal-soal yang mereka dapatkan tadi. Sesaat mereka terdiam, sayup terdengar alunan Ayat-ayat suci al-Qur’an dikumandangkan dengan amat merdunya, menyentuh hati nurani terdalam. Rifai mempertajam pendengarannya seakan suara ini pernah ia dengar.
Seketika itu ia pamit kepada peserta-peserta lain dan mulai bangkit untuk keluar. Ia mencari sumber suara. Ternyata suara itu berasal dari ruang disampingnya, yaitu ruang lomba MTQ. Rifai mengamati peserta yang sedang melantunkan ayat-ayat al-Qur’an itu. Ia berusaha untuk mengingatnya namun tidak jua kunjung ada bayangan. Hingga peserta itu selesai giliran, Rifai belum mampu membuka ingatannya.
Ketika peserta itu membalikkan badan. Ia sempat beradu pandang dengan Rifai. Saat itu Rifai ingat bahwa peserta itu adalah gadis yanf pernah muncul dalam mimpinya. Ya...gadis yang senyumnya masih membekas dalam ruang hampa hatinya.

-----

Lomba MTQ telah usai, Fitri keluar bersama beberapa peserta lain. Namun kemudian mereka berpisah. Rifai ingin sekali menyapanya. Akan tetapi ia tidak tahu harus berkata apa. Tiba-tiba seorang gadis berjas menghampiri Fitri.
“Fitri, bagaimana dengan perlombaanmu?”
Rifai yang mendengar nama itu segera tersadar dari kebuntuan ingatannya. Ia teringat pada nama yang tercantum pada mushaf yang ditemukannya di bus beberapa bulan yang lalu.
Ia berfikir sejenak dan kemudian mempercepat langkah untuk menyusul Fitri. Ternyata Fitri telah menghilang di lautan manusia yang berada di ruang itu.
Rifai pasrah. Ia berjalan menuju kantin di tempat dimana ia dan Anwar sepakat untuk bertemu.
Saat berjalan menuju kantin ia melihat Fitri duduk di bawah pohon. Ia tampak menunggu seseorang.
”Assalamu’alaikum!” Sapa Rifai.
Merasa di sapa Fitri menjawab ”Wa’alaikum salam.”
Fitri memandang orang yang menyapanya. Sekilas ia kagum kepada pemuda itu. Namun ia segera beristighfar dan menjaga pandangannya.
”Maaf apakah saudari yang bernama Fitri?” Rifai memulai dialog.
”Benar.” jawab Fitri singkat.
”Kalau begitu apakah ini milikmu...?”Rifaí megeluarkan sesuatu dari sakunya
Fitri menatap benda kecil yang tak lain adalah Al-Quran. Kemuadian ia raih Al-Quran itu da dibukanya.
“Alhamdulillah...”itulah kata pertama yang diucapkannya.
“Benar ini milik saya, terima kasih. Tapi bagaimana bisa Al-Quran ini ada di tangan anda.”lanjutnya.
“Kemarin waktu saya turun dari bus, tidak sengaja saya melihatnya tergeletak di sebelahku lalu saya ambil. Tapi maaf saya baru sempat mengembalikannya. Karena dalam Al-Quran tidak tercantum identitas pemilik buku.”lanjut Rifai.
“Memang selama ini saya....”tiba-tiba Ari datang dan memotong pembicaraan mereka.
“Fitri, madza hashol laki?”tanya Ari dengan bahasa Arab, agar Rifai tidak mengerti isi pembicaraan mereka.
“La baksa, min aina?”balas Fitri.
”Minal hammam, Fitri man huwa? A huwa habibuki”tanya Ari.
Mendengar ia ditanyakan, lalu Rifai memperkenalkan dirinya.
“Ana Rifai, minal ma’had al-Mubarrok.”
Ari tampak sangat malu, wajahnya memerah pucat pasi.
”Salam kenal” balas Ari.
Kemudian Ari berbisik kepada Fitri.
”Fit, kok nggak bilang-bilang kalau ia bisa bahasa Arab? Aku kan malu Fit.”
”Maaf aku gak tau, aku aja baru kenal.”jawab fitri
”Oh, maaf ini teman saya Ari. Kami satu pondok.”Ari tersenyum kepada Rifai dengan wajah yang masih merah.
”Satu pondok?”balas Rifai yang masih heran.
”Iya, kami sekarang bermukm di pondok Ar-Rohmah.”
Rifai terdiam dan teringat pada suasana rumahnya yang juga mepunyai pondok pesantren yang juga bernama Ar-Rohmah.
”Ar-Rohmah, apakah pondok itu diasuh oleh Bpk. Sulaiman Bahrul Ulum Mubakkir?”tanya Rifai penasaran.
Ari dan Fitri saling berpandangan.
”Bagaimana anda bisa tahu tentang pondok kami?”tanya Fitri keheranan.
“Apakah kakak pernah ke sana atau punya famili yang kebetulan mondok di sana juga?”sambung Ari.
“Saya memang penah ke sana, bahkan sering kesana, saya ini adalah....”
Belum selesai bicara, ia mendengar ada seseorang yang memanggilnya dari arah belakang. Kemudian Rifai menoleh dan menghampirinya. Entah apa yang mereka bicarakan. Selang beberapa waktu, Rifai kembali menghampiri Ari dan Fitri dengan mengajak rekannya yang memanggilnya tadi.
“Fitri, Ari, perkenalkan ini rekanku. Mas Anwar namanya.” Mas Anwar tersenyum ramah kepada mereka berdua, merekapun membalasnya.
”Maaf ya, kami masih ada urusan. Kami pamit dulu.” tambah Rifai.
”Terima kasih kak, semoga kita masih bisa bertemu lagi.”jawab Fitri.
”Insya Allah..., Assalamu’alaikum...”
”Wa’alaikumsalam...”jawab Ari dan Fitri kompak.

Kemudian mereka berbalik arah dan mulai berjalan menjauh menuju gerbang.
Fitri masih memandang kosong ke arah mereka, tidak sadar bahwa ternyata dia diperhatikan Ari.
”Fitri!!!” teriaknya di dekat telinga Fitri yang sejak tadi tampak melamun.
”Ästaghfirullahal’adzim.”Fitri tampak kaget dan bingung, apa yang harus ia lakukan. Ditambah dengan pipinya yang memerah, menampakkan rasa malunya. Ari melihat Fitri seperti itu tak tahan ingin tertawa, tapi ia berusaha menahannya.
”Sepertinya baru kali ini deh aku melihat kamu memperhatikan seseorang sampai segitunya.”ledek Ari.
”Ah....tidak, aku kan cuma memperhatikan orang yang telah mengembalikan Al-Quranku. Baik ya orangnya.”kata Fitri mencoba untuk menutupi.
”Baik... baik orangnya apa orangnya?”ledek Ari lagi.
”Apaan sih, eh...kita pulang yuk! Nanti kemaleman.”ajak Fitri saat jam tangannya tepat menunjukkan pukul 17.00.
”Iya, tapi kita lihatpengumumannya dulu ya.”

Setelah melihat pengumuman di papan pengumuman, mereka bergegas pulang ke pondok. Di dalam bus Ari tampak pulas dalam tidurnya. Ia tampak lelah. Sedangkan Fitri tidak mampu untuk memejamkan matanya. Ia tetap terjaga dengan bayangan Rifai yang masih terlintas jelas dalam benaknya. Ia memandang lekat dalam mushafnya yang telah kembali. Ia peluk mushaf itu kemudian tersenyum-senyum sendir.

Hari-hari telah berjalan normal kembali, begitu juga dengan Fitri. Ia belajar keras, berusaha mengejar ketertinggalannya. Satu motto yang ia pegang teguh hingga saat ini,”Aku adalah anak pondok pesantren. Aku harus bisa jadi panutan dalam setiap langkahku, baik masalah agama maupun dunia.” Sehingga ia tidak ingin prestasinya turun hanya karena lomba, apalagi sebentar lagi sekolah akan mengadakan ujian semester. Ia juga tidak lupa kepada Allah, agar ia slalu diberi kemudahan dalam menuntut ilmu. Tak lupa ia berdoa agar mendapatkan juara dalam lomba yang baru ia jalani.

Begitu pula denga Rifai. Ia kembali sibuk dengan skripsinya untuk memperoleh gelar S-1 sastra Arab. Rencananya ia akan mengajukan sekripsinya tiga bulan lagi, tepatnya bulan Agustus. Meski demikian Rifai tidak pernah mengesampingkan pendidikan pondok. Ia seorang pemuda yang pandai dalam membagi waktu, sehingga baik di pondok maupun di universitas ia patut dibanggakan. Meski demikian ia tidak pernah sombong. Thawadu’ dan rendah hati selalu menyertai langkahnya.

PENGUMUMAN LOMBA
Langit masih bertabur bintang ketika Fitri terjaga dari lelapnya. Kokok ayam yang terakhir masih terdengar sayup-sayup saat adzan subuh berkumandang beberapa saat yang lalu. Ia bangkit keluar dari kamarnya dan menghirup udara padi nan beku sampai masuk ke tulang sum-sumnya. Sudah lama ia tak merasakan dindin segar udara padi di kompleks pondok. Karena memang ia hanya melakukan hal itu setiap berhalangan
Dalam hati ia tafakkur kepada Allah, memuji-Nya atas semua keindahan ciptaan-Nya. Utamanya atas segala nikmat yang telah dilimpahkan kepadanya.
Fitri menyusri jalan yang dihiasi oleh bunga-bunga kertas di setiap tepinya, dinaungi pohon flamboyan yang berbunga meriah. Menggambarkan kegembiraan yang menggebu.
Hari ini merupakan hari yang berharga untuk Fitri. Ia akan menerima piala keberhasilannya di lomba kiro’ah kemarin. Ia susuri jalan lenggang itu dengan syukur yang selalu ia lantunkan dalam kalbu. Hadir kembali putaran perjuangannya yang disambut senyum di bibirnya, namun tersirat penyesalan dalam wajahnya.
”Oh ibu, maafkan aku tidak meminta restumu. Kata-kata ini selalu terucap dalam batin Fitri.”
”Andai sebelumnya aku mohon restumu, mungkin aku akan mendapatkan yang lebih baik lagi.”tuturnya dalam batin.
”Ëhm...”desahnya kemudian.
Ia terus berjalan menikmati indahnya pagi. Tiba-tiba sebuah motor honda biru tua berhenti di dekatnya.
”Fitri, barengan yuk....”kata seorang pria yang wajahnya masih tertutup helm itu.
Fitri terdiam.
”Fitri ini aku.”katanya lagi seraya membuka helm.
”Oh...Ari, kau mengagetkanku.”ia bernafas lega kemudian menaiki motor itu.
Mereka memang berangkat bersama dari pondok, tapi di tengah jalan Ari di besuk oleh kedua orang tuanya. Setelah bersalaman Fitri berangkat dahulu.
“Ini motor siapa Ri...?”
“Milik papa.”
“Lalu mereka dimana?”
“Mereka nunggu di pondok, kita gak lama pergi.”
Motor biru tua itu meluncur manis membelah keramaian jalan raya saat itu.
Dengan gesit ia memarkir motornya di bawah flamboyan yang rindang, kemudian masuk ke dalam gedung.
”Duh fit aku nerveus nih...”
”Tenang saja, sebentar lagi kita akan pulang.”
Semua piala dan hadiah telah diserahkan kepada para pemenang. Mereka pulang saat itu juga. Kegembiraan terlihat dari wajah mereka yang bersiap naik motornya. Fitri memejamkan matanya, terbayang wajah ibunya nan jauh di sana. Ia membuka matanya dan saat itu juga ia berniat untuk mengujungi ibunya.
”Assalamualaikum”seorang pemuda menyapanya, mereka berbalik.
”Wa’alaikumsalam”jawab mereka serempak.
”Oh...kak Rifai”
”Selamat ya!”ucap Rifai.
”Sama-sama kak, kakak malah dapat juara 1.”Ari menjawab.
”Ah...biasa saja, kalian mau kemana?”
”Kami mau pulang kak, kakak sendiri?”
”Saya juga langsung pulang, masih banyak tugas. Mari, saya pulang dulu. Assalamualaikum!”
”Mari..., waalaikumsalam!”
Fitri masih saja diam seribu bahasa. Mulutnya terkunci rapat, hingga ketika Ari menghidupkan motornya Fitri sampek kaget. Mereka melaju kembali, membelah keramaian yang sesak.
-----

Malam itu bulan tersenyum manis, ditemani sang bintang. Fitri, Ari dan penghuni kamar 3 Ar-Rahmah mengadakan syukuran. Bale-bale tanggun berbentuk persegi diletakkan di tengah ruangan. Setelah berdoa dan memanjatkan puji syukur kepada Ilahi. Ari dan Fitri bergantian mengutarakan hajatnya, kemudian makan bersama.
”Mbak Fitri besuk jadi pulang?”tanya Latif
”InsyaAllah dik, aku sudah kangen banget pada ibuku.”jawab Fitri.
”Kenapa dik? Kamu ingin ikut?”Ari ikut bicara.
”Ah, enggak mbak, lha wong rumahnya naik gunung turun gunung menyeberang samudera gitu.!”
”Memangnya sejauh itu mbak?”celetus Ika.
”Ya enggak, itu kan Cuma ungkapan. Berapa sih nilai bahasamu?”
”Eh...eh...kita syukuran buat mempererat silaturahmi, kok malah perang.”Fitri melerai.
”Enggak...enggak mbak, kan Cuma bercanda.”lanjut Latif disambut dengan gelegar tawa yang memenuhi ruangan.

-----

Fajar menyingsing dengan semburat sinar merah tampak remang-ramang di ufuk timur. Fitri membuka mata, mengusir mimpi-mimpinya menghadapi dunia nyata.
Sesusah berucap syukur Fitri bersiap untuk pulang. Dengan penuh hormat dan tadzim ia sowan kepada ibu nyai. Seperempat jam sudah ia di dalam kamar bersama ibu nyai. Sesaat kemudian ia keluar dengan pipi yang basah. Ia menangis karena nasehat-nasehat yang diberikan untuknya.
Akhirnya Fitri pulang ke desa tanah kelahirannya Setelah berpamitan dengan teman satu kamarnya.

-------

Semburat sinar senja tampak indah dan menakjubkan. Fitri melangkah pasti di jalan pedesaan nan asri. Rasa lelah telah terhapus berganti dengan kegembiraan yang mendalam.
Sebuah rumah sederhana namun anggun nampak di hadapannya, senyumpun mengembang. Ia putar pandangannya dan semua yang tampak sangat jauh berbeda ketika ia meninggalkannya tiga tahun lalu. Halaman berpasir yang dulu sering ia gunakan bermain, rumah merpati dan pohon cempaka putih kini berganti dengan sebuah taman indah dengan bunga yang beraneka ragam.
"Assalamu'alaikum." Hatinya bergetar ketika ia mengucapkan salam sembari mengetukkan jari tangannya di sebuah pintu kayu dengan warna yang masih dipertahankan.
"Assalamu'alaikum." Ia ulangi salamnya dengan hati harap-harap cemas.
Hingga akhirnya sebuah suara menyahut dari dalam.
"Wa'alaikum salam…"
Seorang perempuan paruh baya membukakan pintu.
"Cari siapa dik?"
Saat pertanyaan itu dilontarkan untuknya, ia meraih tangan perempuan itu menciumnya dan tanpa terasa pipinya telah basah oleh air mata.
"Fitri….? Apa benar kamu Fitri nak…?"
Ia raih remaja dihadapannya dan ia dekapkan di dadanya.
"Ayo nduk, masuk! Ibu rindu sekali padamu."
"Ibu, maafkan Fitri." Fitri tidak berani menatap mata ibunya.
"Nak, kenapa setelah tiga tahun kamu baru menempatkan diri menjenguk ibu?"
"Maaf bu, Fitri terlalu sibuk. Setiap liburan Fitri harus selalu menahan rindu pada ibu karena tugas yang belum selesai. Maafkan Fitri ya Buk?"
"Ndak apa-apa, toh sekarang ibu senang karena kamu sudah pulang. Sekarang kamu mandi, nanti kita makan bersama bapak dan adikmu."
"Buk…, bapak dan adik kemana?"
"Bapak ke rumah pak Wiryo dan adikmu masih TPQ, sudah sana mandi."
Suasana makan menjadi sangat menyenangkan. Perasaan antara satu dengan yang lain telah menjadi satu ikatan yang kokoh. Setelah makan mereka melaksanakan shalat Maghrib berjama'ah.

Malam semakin larut. Suara binatang malam membuat suasana malam semakin syahdu. Sebetulnya rasa kantuk telah menerang Fitri. Tetapi ia tak mau memejamkan matanya. Ia tahu ibunya masih sibuk mempersiapkan dagangannya untuk besok.
Fitri bangkit keluar kamar dan menghampiri ibunya.
"Nduk, belum tidur?" Tanya ibunya.
"Belum, bu. Belum bisa tidur. Fitri ingin Bantu ibu, boleh kan?"
"Nanti capek?"
"Tidak..tidak bu, Fitri sudah terbiasa tidur malam. Kalau hanya sekedar membantu seperti ini saja tidak akan capek." Jelas fitri sambil mengmbil posisi duduk disamping ibunya.
"Nduk, gimana dengan pelajaran sekolahmu?"
"Semuanya baik bu…" suasana hening sejenak.
"Bu…" terdengar suara Fitri. "Maafkan Fitri ya Bu?"
"Kenapa? Ada apa?"
"Kemarin Fitri ikut lomba MTQ dan Fitri dapat juara ke dua."
"Itu kan bagus, selamat ya!"
"Tidak bu, Fitri tidak minta restu ibu, Fitri menyesal bu, maafkan Fitri ya bu?" rengek fitri. Tak terasa air mata Fitri mengucur deras.
"Iya, iya nduk, sudah kamu nggak usah nangis, ibu senang kamu punya fikiran seperti itu, semoga kamu jadi anak yang sholihah ya nduk."
Kebesaran hati ibu Fitri tidak malah membuat berhenti derai air mata Fitri, tapi justru membanjir. Tapi segera ia bisa menguasai dirinya dan mencoba menguasai diri.
"Amin…" jawab Fitri.
Malam semakin merangkak naik. Rasa kantuk telah hinggap di mata fitri. Namun tak tega ia meninggalkan Sang Ibu. Ia tetap menemani sang Ibu hingga pekerjaannya usai.


Kokok ayam terdengar bersahutan, pertanda pagi telah tiba, burung masih bernyanyi dengan ditemani senyum mentari.
""Pak, Bu, Ema berangkat dulu, Assalamu'alaikum!" Gadis belia yang masih duduk di bangku MI itu berangkat ke sekolah setelah mencium tangan ayah ibunya.
"Kak, adik berangkat dulu ya?" ia pamit pada kakaknya yang duduk di dipan di depan rumahnya.
"Iya dik, jajannya dikurangikan dah sarapan? semangat ya!"
"Yap..Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikum salam."
Fitri tertegun melihat keceriaan gadis belia itu.
"Tri, ikut ke pasar ga?" Tanya ibunya.
"Tidak bu, biar Fitri jaga rumah saja."
"Ya sudah, kamu nggak pengen jalan-jalan?"
"Tidak, lha bapak mana bu?"
"Bapakmu sudah berangkat ke sawah lewat belakang."
"Hati-hati di rumah ya nduk, nanti kalau sudah siang dan ibu belum pulang, kamu masakkan sayur buat adikmu ya? Ibu berangkat dulu, Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam."
Fitri terus memandang perempuan paruh baya yang terus melangkah dengan pasti. Tiba-tiba muncul rasa iba dalam benaknya. Ibu yang seharusnya menikmati masa tuanya harus bekerja keras untuk membiayainya dan adiknya.
"Aku harus segera lulus dan melanjutkan pendidikan dengan beasiswa." Kata ini kini berulangkali terucap dalam benaknya.
Tak terasa lima hari sudah ia tinggal di rumah dan esok Fitri harus segera kembali ke pondok.
Hari ini pagi secerah biasanya. Burung berkicau pula. Namun hati Fitri berawan seolah tak terkecoh oleh tajamnya sang surya.
Fitri, ibu dan Ema sholat shubuh berjama'ah. Usai shalat Fitri tak beranjak dari sajadahnya. Ia menanti ibunya selesai bermunajat kepada Sang Khalik.
"Bu…" Halus dan perlahania mendekati ibunya yang sedang melipat mukena.
"Ya, nduk ada apa?" Sang ibu tanggap kemudian membiarkan Fitri menyandarkan kepalanya di pangkuannya.
"Kenapa?"
"Bu…Fitri tidak ingin berpisah dengan ibu tapi hari ini genap sudah satu minggu Fitri di rumah. Sekarang Fitri harus kembali…"
"Nduk memang sekarang tugasmu adalah belajar dan tempat untukmu belajar adalah pondok, jadi tidak perlu kamu sedih atau mengkhawatirkan bapak, ibu ataupun adikmu. Kamu harus sungguh-sungguh jangan seperti ibu dan bapakmu yang tidak sempat mengenyam bangku pendidikan. Kamu harus jadi orang yang pinter dan bener…!"
Nasehat itu benar-benar masuk dan terhujam ke dalam hatinya. Tak sadar air matanya membasahi pipi dan pangkuan ibunya.
"Nduk, kenapa? Kamu tidak boleh nangis. Kamu harus jadi orang yang kuat." Tak setetespun air mata meleleh dari mata ibunya.
Hal ini membuat Fitri tergugah dan kembali muncul semangatnya.
"Bu…" Fitri menegakkan duduknya. Ia tersenyum dan mengusap pipinya yang basah.
"Ibu benar, Fitri harus kembali ke pondok dan kembali menuntut ilmu dan mewujudkn cita-cita ibu. Fitri janji. Fitri akan selalu mengingat pesan ibu."
Ibunya membalas dengan senyuman yang menentramkan jiwa.
"Bu, nanti masak apa?"
"Lha kamu pengen makan apa? mumpung masih di rumah."
"Kalau Fitri ingin makan sambal goring hati buatan ibu…" Jawab Fitri manja.
Mereka terus ngobrol sampai di depan pintu dapur dan memulai aktifitas memasak.
Usai sarapan Fitri, Ema dan Ibunya duduk di teras rumah.
"Nduk, kapan kamu ujian?" Tanya sang ibu.
"Kira-kira satu bulan lagi."
"jangan lupa belajar ya?"
"Insya Allah, doakan Fitri ya Bu?"
"Terus nanti mau kuliah dimana?"
"Pengennya sih di STAIN atau IAIN, disana Fitri bisa mengajukan beasiswa."
"Tri, apa kamu ga pengen nikah dulu?"
Fitri terhenyak kaget, ia arahkan pandangannya ke Ibunya. Seolah bertanya.
"Maksud ibu, kamu nikah sambil kuliah atau kamu ingin selesaikan kuliahmu?" Terang ibu.
Fitri paham dan percaya bahwa ibunya tetap akan mendukung setiap langkahnya. Ia tersenyum dan menjawab dengan santun.
"Bu, bukannya Fitri tidak mau menikah, kelak Fitri pasti akan menikah, tapi bukan dalam waktu dekat ini. Fitri masih terlalu muda untuk menikah. Fitri belum tamat aliyah, Bu." Fitri menatap ibunya lekat, ia tahu ibunya ingin fitri selalu ada disampingnya.
"Bu, bukankah dalam pernikahan dibutuhkan cinta? sedang Fitri masih belia, belum pantas untuk bercinta. Sampai saat ini Fitri belum temukan cinta."
Dalam benak Fitri teringat kata-kata Jalaluddin Rumi dalam Karyanya Diwan Shamsi abriz:
Sekalipun cinta telah kuuraikan dank u jelaskan panjang lebar
Namun jika cinta ku datangi aku jadi malu pada keternganku sendiri
Meskipun lidahku telah mampu menguraikan dengan terang.
Namun tanpa lidah
Cinta ternyata lebih terang
Sementara pena bagiku tergesa-gesa menuliskannya
Kata-kata pecah berkeping-keping begitu sampai kepada cinta
Dalam menguraikan cinta akal terbaing tak berdaya
Bagaikan keledai terbaring dalam Lumpur
Cinta sendirilah yang menerangkan cinta
Dalam percintaan.
Fitri membalikkan pandangannya tampak olehnya pipi ibunya yang basah. Ia hapus air mata itu. Ada rasa haru yang sangat bergejolak di batinnya.
"Maafkan Fitri Bu.., Fitri tidak bermaksud membuat ibu sedih. Fitri hanya…"
Belum sempat ia lanjutkan perkataannya. Sang ayah yang ternyata berada di samping pintu angkat bicara.
"Nduk, bapak bangga padamu meskipun usiamu masih muda kamu bisa berpikir dewasa. Bapak bangga pada kegigihanmu untuk tetap menuntut ilmu. Bapak bangga pada keistiqomahanmu putriku."
Ia menghampiri puterinya. Ia usap kepalanya dengan mata berkaca-kaca.
"Ibu juga bangga padamu, nduk."
Mereka bertiga saling berpeluk erat diiringi isak tangis haru.
Matahari mulai naik ke kepala. Semakin memperlihatkan kegagahan sinarnya. Fitri yang tengah mengemasi barang-barangnya di dalam kamar dihampiri ayahnya.
"Nduk, nanti kamu pulang jam berapa?"
"Tidak tahu pak, mungkin lepas dzuhur."
"Apa tidak kesorean? Kalau bapak antar sekarang bagaimana?"
Fitri diam sejenak, ia merasa iba kalau ayahnya kepanasan di jalan raya.
"Nduk, bapak tidak apa-apa, yang penting nanti kamu bisa selamat sampai pondok." Bapak Fitri mencoba meyakinkan Fitri dan mengusir kegundahan di hatinya.
Fitri tetap dalam diamnya. Ia mengangguk pelan pertanda setuju. Maka saat itu pula Fitri bersiap-siap setelah berpamitan dengan adik dan ibunya. Ia keluar namun tetap diiringi ibunya disampingnya.
"Tri, nanti kalau kamu mau ujian jangan lupa beritahu ibu ya? Ini nomor telepon pak lekmu." Ucap sang ibu sambil menyerahkan sepucuk kertas kecil. Fitri menyambut hangat kertas kecil itu dan segera memasukkan ke dalam tasnya.
Setelah meminta restu dan doa Sang ibu serta mencium tangannya. Ia langkahkan kakinya ke arah ayahnya.

Matahari hampir tak tampak ketika Fitri dan ayahnya tiba di pesantren ar-Rahmah. Usai shalat Maghrib ayahnya langsung meluncur pulang setelah dirasa cukup segala urusan dengan Fitri.
Fitri melangkah pasti memasuki halaman komplek pesantren. Masih terngiang di telinganya nasehat-nasehat ibunya sebelum berangkat. Kini semangat baru memenuhi hatinya, rasa ingin membahagiakan dan menunaikan amanah ibunya.
"Assalamu'alaikum." Ia mengucap salam ketika sampai di depan kamarnya. Namun tidak ada seorangpun yang menjawab.
"Ari…Ika…Mbak Fatimah…!"
Sekali lagi tak seorangpun menyahut. Akhirnya ia masuk, meletakkan tas di samping almari mungilnya. Tampak semburat rasa heran dan kecewa di wajahnya.
"Astaghfirullahal'adzim, mereka kan masih ngaji khulasoh, kok aku bisa lupa ya?"
Ia sibuk menata bawaannya dari rumah, tiba-tiba terdengar langkah kaki disertai sendau gurau dari luar, ia bersembunyi di balik pintu. Smpai di depan pintupun mereka masih asyik bersenda gurau.
"Kak Ari, tahu ga burung apa yang paling kaya?" Ujar latif.
"mmmmm…apa ya?"
"Assalamu'alaikum" Fitri tiba-tiba menampakkan dirinya di hadapan sahabat-sahabatnya.
"Wa'alaikum salam…eh mbak Fitri…" teriak mereka bersamaan. Mereka berpelukan satu persatu baru kemudian duduk dan saling tukar pengalaman.

Malam makin larut. Bintang-bintang tampak mengintip dari balik jendela seolah memperhatikan Arid an Fitri yang masih asyik memperhatikan Arid an Fitri yang masih asyik bercerita.
"Fit, ketika kamu pulang, kak Rifa'I ke sini lho..!" Ucap Ari perlahan agar yang lain tidak mendengar.
"Ah…masa?" Jawab Fitri tak percaya.
"Apa dia mencariku?" lanjutnya.
"Yee…GR banget sih" Celetusk Ari.
"Ssst….jangan keras-keras nanti ketahuan pengawas" ia mengingatkan temannya yang baru saja beruara lantang.
"Iya..iya… kemarin kak Rifai menginap di ndalem bersama dua orng rekannya, kelihatannya ia akrab banget dengan abah dan ummi."
"Yang benar kamu Ri?"
"Iya, baru kemarin sore mereka pergi. Mungkin dua hari mereka menginap disini."
"Astaghfirullah, mengapa setiap mendengar namanya hati ini tak berhenti berdebar." Desahnya dalam hati, namun segera ia tepis perasaan itu.
"Sudahlah Ar, untuk apa kita membicarakan orang. Lebih baik kita tidur agar besok kita tidak tertinggal jama'ah shubuh."
Perlahan ia pejamkan matanya dengan bibir yang masih berzikir memuji sang Kholik.
Langit dinihari selalu memikatnya. Bintang yang berkilauan di matanya tampak bak mata ribuan malaikat yang mengintip penduduk bumi. Bulan terasa begitu anggun menciptakan kedamaian di dalam hati. Ia lalui waktu malam ini seperti biasa. Ia ber-taqarrub, beribadah dan berzikir kepada Sang Khalik hingga fajar menjelang.

-----

Matahari menuju tengah petala ketika ia pulang. Wajahnya pucat pasi langkahnya gontai. Disampingnya ada Fatimah yang menyokong setiap langkahnya. Menasehati dan mengingatkan bahwa ujian sudah dekat.
"Dik, sebentar lagi kan kamu uian kelulusan, kamu malah sakit. Jangan terlalu dipaksakan dik. Satu minggu ini bukan waktu yang lama. Biar nanti aku antar ke dokter ya?!"
Kata-katanya bagai setetes embun yang mampu menentramkam jiwa Fitri. Senyumnya mengembang meski bibirnya pucat. Dengan suara yang serak-serak basah ia menjawabnya.
"Tidak usah mbak, nanti juga sembuh sendiri. Mungkin karena aku tidak sarapan tadi pagi, jadi ya lemas seperti ini."
"Benar dik?" Tanya Fatimah meyakinkan.
"benar mbak, Buat apa Fitri bohong pada mbak."
Sesampai di kamar Fitri lebih memilih rebahan dan mencoba untuk tidur. Namun rasa pening dan panas di tubuhnya membuatnya tak mampu memejamkan mata batinnya meski kedua indera penglihatannya tampak terpejam.
Fatimah datang dengan membawa sebuah nampan berisi jajanan gorengan. Sepiring nasi lengkap dengan sayuran lengkap dengan teh manis hangat. Tak lupa ia siapkan obat sakit kepala dan segelas air putih.
Perlahan dia mendekati Fitri yang kian lelap. Ia mengukur panasnya dengan meletakkan punggung tangannya ke kening Fitri.
"Masya Allah, badannya panas sekali." Ia langsung beranjak mengambil kompres an meletakkannya di kening Fitri.
Akhirnya fitri benar-benar terlelap dalam tidur. Fitri bermimpi bertemu ayahnya. Ayahnya memakai sarung putih dan baju serta peci putih.
"Bapak…!" ia berteriak memanggil ayahnya dan menghamburkan diri dalam pelukan ayahnya.
"Nduk, seminggu lagi kamu ujian, jaga kesehatanmu dan belajar yang rajin. Bapak akan selalu berdoa untuk keberhasilanmu."
Entah kenapa ucapan ayahnya itu begitu dalam dirasa olehnya.
"Nduk, sudahkah kamu penuhi amanat ibumu?"
Fitri mengangkat wajahnya dan menggeleng.
"Cepatlah kau hubungi, ibumu sangat mengharapkanmu. Jaga ibu dan adikmu karena kaulah anak pertama dan bersabarlah dalam menghadapi masalah. Yakinlah apapun masalah itu dan seberat apapun itu adalah ujian dan cobaan dari Allah. Mengerti Nduk."
Fitri menganggukkan kepalanya sebagai tanda kepahamannya.
Dua orang yang berpakaian serupa menghampiri ayah Fitri. Setelah mengucapkan salam salah seorang dari mereka berucap dengan tutur kata yang halus.
"Maaf pak, mari sudah waktunya."
Fitri tak mengerti maksud ucapan orang itu.
"Baiklah." Ayah Fitri menjawab ajakannya.
"Nduk, ingat pesan bapak. Jaga adik dan ibumu dalam menghadapi apapun bentuk ujian dan cobaan." Fitri menganggukkan kepala. Sang ayah mencium kening fitri. Fitri pun mencium tangan ayahnya dengan mata berlinang air mata.
"Bapak pergi dulu nduk. Sampaikan salamku pada ibumu. Assalamu'alaikum!"
"Wa'alaikum salam..!"
Ayahnya berbalik, berjalan diapit oleh dua orang laki-laki tadi. Mereka berjalan jauh-jauh semakin jauh..hingga tak terlihat lagi. Fitri diam tetap berdiri kokoh dengan mata jauh menerawang.
"Fitri...Fitri..." tiba-tiba banyak suara memanggilnya. Perlahan ia buka matanya.
"mbak Fatim, Ari..."
"Kamu mengigau?" tanya mereka.
Fitri tak menjawab. Dalam angannya masih terngiang nasehat dan pesan ayahnya. Timbul kecemasan dalam hatinya.
"Ayo fit minum teh hangatnya, agar kamu segar."

Senja berganti malam. Semburat mega merah memudar dan bulan tampak murung bersembunyi di balik awan seolah menggambarkan perasaannya yang kian gundah.
Setelah shalat maghrib ia berzikir dan berdoa. Dalam doanya sayup-sayup terdengar suara lembutnya.
"Ya Rabb, Engkau mengetahui apa yang terhijab dan tersibak. Ya Allah Engkau Maha Mengetahui, Engkau sebaik-baik pemberi fatwa dan Engkau sebaik-baik penafsir mimpi. Engakulah sebaik-baik Dzat. Ya Allah hamba memohon petunjuk-Mu Wahai Dzat yang Memberi petunjuk dan Fatwa. Ya Allah hamba mohon sibaklah arti mimpi hamba. Ya Allah jagalah keluarga hamba dari...."
Suaranya tak jelas lagi terdengar. Isak tangis terdengar darinya diiringi dengan kedua tangannya. Ia usapkan ke wajahnya yang masih pucat pasi. Sujud syukur ia lakukan usai berdoa dilanjut dengan shalat ba'diyah maghrib.
Hari ini ia tidak ikut berjama'ah dan mengaji khulasoh karena masih pusing dan lemah.
Usai shalat ia memilih untuk membaringkan badannya di atas sajadahnya dengan bibir yang terus melantunkan ayat-ayat suci yang ia hafal.
Fajar telah terbit ketika ia membuka matanya. Remang-remang cahaya redup rembulan menyinari jendela kamarnya. Suara adzan telah banyak dikumandangkan. Ia bangun dan beristighfar.
Sesal masuk ke relung kalbunya.
"Kenapa aku baru terjaga?" pertanyaan itu terus berulangkali dipertanyakan dihatinya.
Dengan kepala yang masih pening ia bangkit menerobos angin pagi yang kurang bersahabat. Ia menuju ke kamar mandi untuk mengambil air wudlu.
Saat mentari benar-benar menampakkan sinarnya ia sudah siap untuk kembali ke sekolah bersama teman-temannya.
"Fit, kamu yakin mau masuk sekolah." Tanya Ari.
"Iya, Ri, aku sudah sehat kok."
”Ya sudah kita berangkat sekarang.”
Fitri hanya tersenyum kemudian melangkah mengikuti langkah Ari. Ia teringat pesan ayahnya dalam mimpinya kemarin.
”Fit, kamu jaga baik-baik kesehatanmu, sebentar lagi kita ujian, kamu mau lulus kan?”
”Insya Allah Ri, Doakan ya! Siapa sih yang mau sakit, tapi siapa juga yang bisa nolak kalau dikasih sakit. Semoga aku bisa sembuh sebelum ujian nanti.”
Ari hanya terdiam. Ia tahu Fitri hanya berusaha menghibur dirinya sendiri.
”Ri, nanti kamu bersedia aku ajak ke wartel?” lanjut Fitri.
”Untuk apa?”
”Ujian kurang lima hari lagi, aku belum memberitahu ibu.”
”Oh iya, nanti kita mampir.”
”Terimakasih”


Sekitar pukul 11.00 WIB MA Ar-Rahmah telah sepi. Tinggal beberapa siswa saja yang masih tampak berlalu lalang di gedung sekolah itu. Diantaranya adalah Ari dan Fitri yang sibuk mencari telephn koin yang memang disediakan pihak sekolah bagi siswi-siswinya. Karena ternyata yang tersedia tidak dapat difungsikan, maka terpaksa mereka mencari wartel terdekat yang kebetulan berjarak tidak jauh dari gedung MA.
Entah kenapa hatinya tiba-tiba gelisah, diliputi rasa cemas. Ia tenangkan hatinya dengan istighfar. Namun seakan tak jua membuat kegusaran hatinya hilang. Saat tiba gilirannya, rasa cemasnya semakin tidak dapat dibendung saja hingga tanpa terasa dan tanpa tahu sebabnya air mata Fitri menetes.
”Fit, mau ku temani?” tanya Ari yang sejak tadi memperhatikan perubahan sikap pada Fitri.
”Tidak perlu Ri, aku tidak apa.” Jawabnya singkat.
Jari-jarinya yang lentik mulai memencet beberapa nomor.
Tak lama kemudian telpon diangkat.
”Assalamuálaikum” suara seorang laki-laki terdengar.
”Waálaikum salam. Pak lek ini Fitri. Bisa bicara dengan ibu?”
”Oh kamu Tri. Kebetulan ini pak lekada di rumahmu. Tri kamu sudah dengar kabar terakhir tentang keluargamu?”
”Kabar apa pak lek?” tanya Fitri dengan nada agak terkejut dan cemas yang berbaur menjadi satu.
”Oh sebaiknya kamu bicara dengan ibumu sekarang.”
”Assalamu’alaikum, nduk!”
”Wa’alaikum salam, Bu ada apa? Ibu...Ibu menangis?”
”Bapak nduk, Bapak sudah menghadap Allah.”
”Apa bu? Inna lillahi Wa inna ilaihi Rajiun!”
”Tri...Tri...Tri...!” teriak suara dalam telephon.
”Maaf bu, Fitri lemas, ibu yang sabar ya. Ini hanya cobaan Bu. Saya temannya Fitri, Ari. Saya tutup dulu telephonnya. Assalamuálaikum!” Ari mengambil alih pembicaraan dalam telepon.
Tiba di komplek pondok, di kamar 3, fitri yang masih terbaring itu mngerdipkan mata, tangannya bergerak, semua yang berada di sekitarnya lega.
”Fit, sudah sadar.” Ucap Fatimah sambil meminumkan segelas air putih di tangannya.
Matanya menitikkan air mata. Pandangannya kosong.
”Fit, kamu makan ya!” bujuk Fatimah.
Fitri menjawab hanya dengan gelengan kepala. Fatimah memberi kode agar semua yang berada di kamar meninggalkan kamar. Kini yang tersisa hanya Fitri, Ari dan Fatimah.
”Fit, mbak sudah tahu semuanya. Itu memang berat, tapi cobalah kamu fikirkan sejenak. Kita semua adalah milik Allah. Kita tidak dapat melawan takdir apapun dari Allah untuk kita. Kematian pasti datang kepada siapapun, tidak pandang bulu, apalagi pilih-pilih, siapapun, tua, muda, anak-anak, sehat maupun sakit. Semua layak untuk mendapatkan takdir ini.”
Fitri masih temenung. Pandangannya masih kosong. Tapi butiran air matanya malah semakin menderas.
”Bapa....k!” Teriak Fitri dalam isaknya yang kemudian kembali tak sadarkan diri.
Matahari sudah kembali keperaduannya. Saat Fitri sadar matanya masih merah dan agak bengkak.
”Fitri, aku tinggal dulu ya! Ummi mau bicara denganmu.” Ujar Fatimah yang kemudian beranjak menjauhinya, diiringi dengan masuknya wanita paruh baya anggun.
Mengenakan jubah lengkap dengan kerudung dan selendang terurai di atasnya. Mendekatinya.
Entah apa yang mereka bicarakan. Namun Fitri tetap menitikkan air mata.
Sesaat sebelum Umi keluar Fatimah tanpa sengaja mendengar sedikit pembicaraan mereka.
”Fitri, kamu anak yang baik juga sholehah. Fit kurang 4 hari lagi kamu akan menghadapi UAN. Akankah kamu menambah beban ibu dan keluargamu jika nanti kamu tidak lulus? Fitri anakku...Umi tahu, Umi bukan ibu kandungmu, tapi Umi akn merasakan kesedihan yang sama apabila anak Umi tidak bahagia, apalagi tidak lulus ujian.”
Hati Fitri seolah mendapatkan desiran angin kesejukan yang menentramkan hatinya.
”Fitri anakku, bukankah dalam kitab-kitab yang telah kita pelajari sudah diterangkan bahwa Allah mempunyai takdir yang tidak dapt dicegah? Dan salah satunya adalah kematian. Fitri, tidak perlu kau teus menangisi kematian bapakmu karena itu akan mempergelap jalannya di akhirat. Sekarang kamu hanya perlu belajar giat, agar kamu lulus ujian dan bapakmu bisa mendapatkan kebahagiaan di akhirat.”
Kini hatinya benar-benar luluh, hatinya yang gersang kini bak mendapatkan siraman hujan yang membuatnya basah dan damai.
Ia peluk erat ummi yang telah menyejukkan jiwanya. Sang ibu pun mengusap-usap kepala anak didiknya itu dengan penuh kasih sayang. Tak lama kemudian umi itu keluar.
Bintang menghiasi awan ditemani sang rembulan yang mengusir kegelapan malam, ketika Fatimah kembali ke kamar ditemani Ari. Mereka melihat Fitri sudah tersenyum.
”Fit, sudah mendingan?”tanya Ari
”Alhamdulillah, terima kasih ya!”
Kemudian semuanya berpelukan bersuka cita.
”Kini kita bisa ujian!”teriak Ari
”Assalamu’alaikum, mbak Fitri ada telpon.”semua mata memandang ke arah datangnya suara itu. Merasa diperhatikan, ia memperkenalkan diri.
”Saya Nisa dari kamar 5. Mbak Fitrinya ada?”lanjutnya.
”Oh...saya dik!”jawab Fitri sambil berdiri.
”Di ndalem mbak, sekarang!”
”Oh...iya, terima kasih!”
”Sekitar 15 menit kemudian Fitri kembali ke kamar dengan pipi kembali basah. Namun bibirnya menyungging senyum.”
”Siapa mbak? Tanya latif.”
”Dari Ibu”jawabnya singkat.
”Sabar ya mbak!”balas Latif.
”Ah...tenang aja! Ibu hanya mengingatkan agar giat belajar kok!”

-----

Sejak dahulu Fitri sudah terbiasa untuk selalu belajar sehingga empat hari yang ada benar-benar ia gunakan untuk memahami enam mata pelajaran UAN. Semua buku ia kumpulkan dan pelajari, begitu pula soal-soal latihan try out. Khususnya try out terakhir yang tidak ia ikuti. Keinginan untuk menjadi yang terbaik, membahagiakan almarhum ayah dan ibunya telah begitu mengakar dalam batinnya sehingga mampu mematahkan tunas-tunas kekecewaan dan keputusasaan. Sehari sebelum UAN ia kembali menghubungi ibunya untuk meminta restu dan doa sehingga ia mampu mengikuti UAN dengan tenang.
UAN telah usai. Tiga hari yang penuh ketegangan telah terlewati. Kini Fitri dapat bernafas lega. Namun ia tak pernah lupa untuk berdoa. Ia meminta kepada Sang Kholiq agar ia lulus dengan nilai yang memuaskan. Dalam setiap malam-malamnya tak pernah ia lupa untuk bermunajat kepada Allah, meminta dan mengadu kepada-Nya.
Hari ini hari ke-3 setelah UAN. Matahari tersenyum menampakkan kegirangan. Burung-burung berkicau menyambut sinarnya.
”Fit...kamu ke Madrasah tidak?”tanya Ari.
”Untuk apa?”balas Fitri sambil merapikan bajunya.
”Kita mengembalikan buku perpus.”
”Oh...”jawabnya singkat.
”Oh apa?”Ari tampak agak kesal.
”Oh...iya aku ikut.”jawabnya
Saat mereka hendak pergi, perasaan Fitri deg-degan, ia merasa senang. ”Aku kenapa” lalu pertanyaan itu muncul dengan sendirinya. Pertanyaan itu terjawab ketika mereka melewati ndalem. Fitri tanpa sengaja melihat pemuda yang pernah ia jumpai.
”Rifai!”ia berkata lirih.
”Apa Fit?”tanya Ari.
”Ah...enggak!”
Fitri mengalihkan pandangannya, saat itulah Rifai melihat Fitri. Ces...serasa ada kesejukan masuk kedalam rongga hatinya.
Rifai kini sudah menyelesaikan sekripsinya dan sudah menyandang gelar S-1.
Hari ini matahari bersinar cerah dengan awan-awan putih mengitarinya. Begitu pula dengan perasaan siswi MA Al-Rahmah Kediri. Semua siswa-siswi MA itu lulus. Begitu pula dengan Fitri. Ia lulus dengan nilai terbaik di semua MA dan SMA Kediri.
Empat tahun sudah berlalu semenjak ia lulus dari MA Kediri. Dan sekarang ia telah menyandang gelar S-1 Pendidikan Agama Islam Tarbiyah dengan program beasiswa dan sekarang mengajar di MAN 2 Kediri.
Hari ini merupakan hari bersejarah bagi Fitri serta Rifai. Senja yang tampak indah, desiran angin yang berhembus menjadi saksi pinangan Rifai dan keluarganya terhadap Fitri. Fitri tampak begitu ayu nan anggun dengan baju biru yang ia kenakan saat menghidangkan makanan dan minuman.
“Nduk Fitri duduklah sebentar.”perintah ibunya kepada Fitri. Ia taat dan segera duduk di sampingnya. Sesaat ia sempat beradu pandang dengan pemuda tampan dan gagah yang datang bersama abah dan uminya dari pondoknya dahulu.ia heran, karena ia berfikir bahwa abah serta umi hanya bersilaturahmi padanya.
”Nduk, kamu kenal kan siapa tamu kita ini?”tanya ibunya kalem.
”Iya bu!”jawabnya.
”Sekarang terserah kamu. Mereka jauh-jauh datang ke gubug ini untuk memintamu mendampingi anaknya.”ibunya menjelaskan.
Ia tersentak kaget mendengarkan perkataan ibunya itu. Seolah tak peraya jika ia akan dipinang oleh keluarga ndalem yang pernah mendidik dan membesarkannya. Tak percaya jika Rifai uang ia kenal itu adalah putra dari abah dan uminya.
”Anakku Fitri, obalah kita kedalam sejenak. Umi ingin biara berdua denganmu.”pinta seorang wanita berjubah warna krem yang mulai berjalan menghampirinya. Fitri menganggukkan kepala, lalu mengikuti langkah uminya itu.
Mereka duduk di sebuah kursi di samping kamar Fitri.
”Fitri anakku, tentunya kau sudah tau tujuan kami datang ke rumahmu. Anakku Rifai InsyaAllah ia anak yang saleh da InsyaAllah ia mampu menjadi seorang suami yang baik untukmu, menjadi pembimbing dan panutan serta bapak yang baik dan bertanggung jawab untuk anak-anakmu kelak. Dan InsyaAllah ia mampu memberikan nafkah untukmu. Bagaimana nak? Apakah kau mau menerima lamaran ini?”
Deg...hatinya tersentak kaget. Ia tenangkan hatinya, ia teringat kembali saat-saat indah bersamanya. Rifai adalah pemuda yang dahulu telah mengembalikan Al-Qurannya. Rifai adalah pemuda yang selama ini mampu menuri hatinya. Satu-satunya pemuda yang membuat hatinya gundah, resah. Satu-satunya pamuda yang telah memberikan warna dalam hatinya. Akhirnya ia memantapkan hatinya.
”InsyaAllah umi, saya bersedia.”
”Terima kasih nak.”ia raih dan memeluk gadis semampai yang duduk di sampingnya itu. Ia ium kedua pipinya.
”Mari nak, kita kedepan.”ajaknya kemudian.
Fitri bangkit dan manghapus air mata yang sempat membasahi pipinya itu.
Di ruang tamu ayah Rifai kemali bertanya kepada Fitri, dan dengan mantap ia mengulangi jawabannya bahwa ia bersedia.
”InsyaAllah, saya bersedia.”
Setelah mendengar jawaban Fitri, senyum menghiasi setiap wajah orang-orang yang berada di ruang tamu tersebut. Termasuk Rifai dan Fitri. Tahmid selalu terucap dalam batin keduanya.
”Sekalipun cinta telah kuuraikan dan kujelaskan panjang lebar
Namun jika inta kudalangi aku jadi malu pada keteranganku sendiri
Meskipun lidahku telah mampu menguraikan dengan terang
Namun tanpa lidah
Ternyata cinta lebih terang
Sementara pena begitu tergesa-gesa menuliskannya
Kata-kata pecah berkeping-keping, begitu sampai pada cinta
Dalam menguraikan cinta, akal terbaring tak berdaya
Dagaikan keledai terbaring dalam lumpur
Cinta sendirilah yang menerangkan cinta dan percintaan
Dan engkaulah cintaku....mas Rifai”
”Aku mencintaimu tulus..., dan engkau pula cintaku yang akan menyempurnakan imanku kepada Allah dan menyempurnakan aku sebagai pengikut Rasulullah. Terimakasih cinta....”
Puisi itu dilantunkan Fitri ketika ia benar-benar sah menjadi pendamping hidup Rifai. Ditemani sang rembulan yang indah, di bawah langit malam yang bertabur bintang.
”Alhamdulillah....”mereka terus bertahmid, bersyukur kepada Allah.

Tidak ada komentar: