Selasa, 27 Oktober 2009

RONA UNGU DI RELUNG HATI MAWA

RONA UNGU DI RELUNG HATI MAWA
MAN Kembangsawit
Kebonsari, Madiun, Jawa Timur.

Bagian I
BERKUNJUNG KE PASAR

Matahari mulai mengintip dari balik awan. Sinarnya perlahan-lahan menerobos di semua penjuru jagad raya. Tampak panorama yang elok di ufuk timur. Menambah ketentraman di hati orang-orang yang menikmatinya. Burung-burungpun tidak mau ketinggalan menyemarakkan pagi cerah ini dengan suara kicauan khas yang merdu di dengar telinga. Inilah nikmat yang diberikan Allah pada makhluk-Nya yang wajib disyukuri.
Di depan rumah yang berukuran agak besar, tampak seorang perempuan berjilbab duduk di teras rumahnya. Sepertinya dia sedang menunggu kedatangan seseorang. Hal itu terlihat karena berkali-kali dia melihat jam tangannya yang terus berputar.
Lalu wajah yang tadinya berkerut berubah menjadi berseri ketika dilihatnya seseorang yang datang kerumahnya.
"Assalamualaikum!", ucap seseorang yang baru dating itu padanya.
"Wa'alaikumsalam!", balasnya.
Zaenab, yang duduk di teras rumahnya mengajak masuk tamu yang baru dating itu.
Kemudian ibunya Zaenab menemui tamu itu.
"Aisyah baru datang to! Dari tadi Zaenab menunggu kedatanganmu." Kata bu Rosi tatkala menyalami Aisyah.
"Aduh! Maafkan aku Zaenab! Soalnya tadi aku disuruh ibu pergi ke pasar dahulu membeli sayuran. Ya terpaksa aku dating terlambat ke rumahmu." Terangnya.
"Tidak apa-apa Aisyah! Kalau aku jadi kamu, tentunya aku akan melakukan hal yang sama sepertimu. Kalau begitu kita berangkat yuk."
Zaenab berpamitan kepada kedua orang tua tercintanya. Diciumnya tangan keduanya yang sudah mulai keriput. Sedang Aisyah hanya bersalaman saja.
Keduanya berangkat dengan mengendarai motor shogun warna biru. Terdengar bacaan basmalah oleh zaenab saat kendaraan mulai melaju. Aisyah mengendarai motor dengan santai.
Sebenarnya mereka berdua hendak mendaftar di sekolah Aliyah Serutsewu, Kebonsari, Madiun. Sekaligus mengunjungi pondok yang berada di dekat sekolahan tersebut.
Sepanjang jalan yang dilalui banyak air yang menggenang. Maklum saja karena tadi malam hujan turun membasahi bumi di musim penghujan ini. Membuat hati para petani bersyukur pada Allah karena tanaman di sawah menjadi segar dan tumbuh subur karena siraman air dari langit.
Ketika melalui jalan yang sepi, Aisyah melajukan kendaraannya dengan kecepatan yang tinggi. Zaenab yang biasa naik motor dengan kecepatan sedang, segera mengingatkan temannya supaya mengurangi kecepatan. Namun sia-sia saja karena Aisyah tidak menghiraukan peringatan Zaenab.
Disaat Aisyah lengah, tidak sengaja dia melewati jalan yang tergenang air, sehingga airnya terlempar jauh. Dan kebetulan ada seorang pemuda menenteng tas belanja di kedua tangannya sedang lewat disitu. Sehingga kejadian buruk menimpa pemuda yang mengenakan sarung itu. Baju dan sarungnya menjadi basah karena perbuatan Aisyah. Spontan kaki Aisyah menginjak rem motornya. Dengan perasaan yang bercampur aduk, dia menghampiri pemuda itu. Sedang Zaenab hanya diam di tempat.
"Maafkan atas kesalahan saya ya!" ucap Aisyah setelah berada di depan pemuda itu.
Namun pemuda itu tidak menghiraukan gadis itu. Ia masih sibuk meneliti barang belanjaannya yang juga ikut basah.
"Hallo! Aku minta maaf ya!" ulangnya sekali lagi.
Barulah pemuda itu menatap wajah Aisyah. Ada pesona tersendiri bagi Aisyah saat ia membalas tatapan mata indah milik pemuda itu.
Dan berkatalah pemuda itu kepadanya.
"Kamu hanya berkata maaf saja? Kamu tahu akibat perbuatan kamu?"
"Lalu apa yang harus aku lakukan agar kamu mau memaafkan kesalahanku?"Tanya Aisyah dengan perasaan menyesal.
Pamuda itu tidak menjawab pertanyaan Aisyah. Dia malah pergi meninggalkan gadis itu. Sehingga perasaan menyesal semakin memenuhi dadanya. Zaenab menghampiri temannya dan mengajak untuk melanjutkan perjalanan. Aisyah menyerahkan kunci motor kepada zaenab agar menggantikannya mengemudi.
"Aisyah! Lain kali kalau mengemudikan motor tidak usah ngebut. Sekarang sudah merasakan akibatnya bukan? Mungkin ini teguran Allah supaya kamu sadar."tuturnya menasihati Aisyah yang berubah menjadi murung.
Aisyah adalah orang yang mudah meminta maaf pada orang lain jika melakukan kesalahan. Tetapi jika kesalahannya tidak dimaafkan, dia akan merasa terbebani dengan kesalahannya.
"Sudahlah Aisyah! Toh kamu sudah minta maaf sama dia atas kesalahanmu yang tidak sengaja kamu lakukan. Kalau dia tidak memaafkanmu, itu haknya dia. Yang terpenting kamu memohon ampun sama Allah."lanjutnya.
Beberapa menit kemudia mereka berdua sudah sampai di sekolahan Aliyah Serutsewu. Wajah Aisyah yang mendung perlahan-lahan berubah cerah saat memasuki bangunan gedung bercat hijau yang dihiasi tumbuh-tumbuhan segar. Hatinya menjadi nyamankarena pemandangan yang berada di depan matanya. Zaenab sendiri sibuk memperhatikan gedung sekolah yang tertata rapid an indah.
Keduanya memasuki ruang pendaftaran. Di dalam ruangan tersebut penuh dengan siswa siswi yang sedang mendaftar sekolah. Zaenab sempat memperhatikan satu dari mereka yang sedang tes baca Al-Quran. Bacaan anak itu fasih dan mengalun indah. Akan tetapi ia memakai baju seragam SLTP. Sehingga auratnya kelihatan. Terlebih lagi ia seorang kaum hawa yang wajib menutupi semua badannya kecuali wajah dan kedua telapak tangannya.
Di dalam kerumunan orang banyak itu, mereka berdua tiba giliran tes baca Al-Quran. Setelah itu, diberikan pertanyaan yang berhubungan dengan fiqih. Syukur Alhamdulillah dua pemudi itu mampu untuk menjalankan tes tersebut. Mereka berharap di hari pengumuman penerimaan siswa baru nama mereka tercantum sebagai siswi baru di sekolahan tersebut.
Zaenab berjalan-jaln untuk melihat seisi gedung sekolahan tersebut. Sedang Aisyah duduk di depan ruang pendaftaran bersama peserta lain yang belum dikenalnya.
Tatkala melewati sebuah masjid, tidak sengaja ia melihat sepasang muslim dan muslimah duduk berdekatan di samping rumah Allah yang suci. Dia melihat suasana yang seharusnya tidak pantas dilakukan oleh orang yang bukan muhrimnya. Zaenab cepat-cepat membalikkan badannya agar matanya terhindar dari pemandangan yan tidak diperbolehkan dalam agama Islam. Karena ceroboh kakinya menyandung batu besar yang tepat berada di depan kakinya. Hingga keluarlah teriakan mengaduk karena sakit. Tentu saja hal itu membuat dua anak adam itu menoleh kea rah Zaenab. Sebelum terjadi apa-apa, dia segera meninggalkan tempat itu.
Zaenab berjalan tertatih-tatih sambil merintih dengan suara lirih hamper tidak terdengar telinga. Beruntung kakinya hanya memar tidak sampai berdarah.
Dari arah utara tampak Aisyah menghampiri dirinya. Gadis keras kepala itu melongo melihat cara berjalan Zaenab yang tidak teratur.
"Kenapa Nab kakimu? Tanyanya dengan nada menggoda.
Yang ditanya hanya manyun satu meter. Zaenab tidak suka dipanggil dengan panggilan "Nab". Karena panggilan itu terlalu kuno buatnya.
"Mbak Zaenab, kenapa dengan kakimu?"tanyanya sekali lagi.
"Nah, begitu dong! Baru aku mau jawab. Tadi kakiku tersandung batu."
"Kenapa bisa kesandung?"
"Ya…..namanya orang berjalan nggak lihat-lihat begini akibatnya. Beruntung Cuma memar saja."
Percakapan mereka berhenti di tempat parkir. Aisyah menuntun motornya keluar gerbang. Dua remaja itu hendak mencari letak pesantren yang tidak jauh dari Aliyah Serutsewu. Dan tadi Aisyah mencari informasi tentang pondok tersebut pada salah satu panitia yang berada di ruang pendaftaran ketika Zaenab meninggalkannya sendirian.
Dari sekolahan tersebut Aisyah mengemudikan kendaraannya menuju arah barat. Disitu ada parempatan jalan, dia belok ke selatan. Panitia tadi mengatakan kalau setelah menuju ke arah selatan ada jalan pertigaan, nanti belok ke timur jika ada bangunan masjid berada di seberang selatan jalan dan bercatb hijau, maka pondoknya berada di dekat masjid tersebut.
Aisyah mengikuti petunjuk tersebut. Akhirnya dia berhenti di samping bangunan masjid yang dimaksudkan panitia tersebut. Suasananya asangat sepi. Tak satupun orang lewat di sekitar masjid. Zaenab menoleh ke semua penjuru berharap akan ada orang yang lewat supaya dia bias bertanya. Tiba- tiba saja Aisyah menepuk bahunya sehingga ia jadi kaget karenanya.
"Nab lihat itu ada tulisan pondok pesantren. Lihat tuh! Masuk yuk!" katanya sambil jari telunjuknya mengarah ke tulisan tersebut.
Zaenab manyun lagi karena dipanggil dengan panggilan "Nab". Aisyah yang tidak sadar telah membuat sebel temannya segera nyelonong masuk gerbang jalan menuju pondok. Sementara kendaraannya di parkir di samping masjid itu. Kemudian Zaenab menyusul di belakangnya.
"Ini pondok apa kandang ayam sih?"kata Zaenab spontan karena dilihatnya halaman penuh daun-daun kering dan plastik.
Ternyata ada seseorang yang mendengar ucapan Zaenab. Orang itu menampakkan dirinya di depan pintu kamar pondok.
"Mbak! Yang jelas ini adalah pondok!"kata seorang laki-laki itu tiba-tiba.
"Maaf! Habisnya halaman ini kotor sih." Ucap Zaenab semakin lirih karena menahan rasa malu.
"Sebenarnya mbak-mbak ini mau kemana?"tanyanya dengan sopan.
"Ya kami mau mencari pondok Serutsewu. Apakah ini pondok yang kami cari?" Tanya Zaenab.
"Iya,ini memang pondok Serutsewu,tapi untuk santri putra. Kalau santri putrid letaknya di seberang utara jalan, tepatnya di belakang dalemnya Pak Kyai. Lebih baik mbak-mbak mengenal lebih dahulu pondok ini. Untuk itu mari ikut saya ke pondok diniyah."
Zaenab dan Aisyah mengikutinya dari belakang. Saat pintu kantor dibuka, tampaklah hiasan dinding berupa kaligrafi yang dibuat oleh tangan-tangan kreatif memenuhi tembok. Meskipun berukuran sempit tidak menjadi masalah, karena penataan peralatan yang tertata rapid an didukung adanya hiasan-hiasan dinding membuat kantor mungil itu nyaman untuk ditempati.
Laki-laki itu mempersilahkan duduk dengan sikap yang masih sopan, sehingga membuat kedua remaja itu menjadi sungkan.
"Sebentar mbak, saya panggilkan Kang Habibi dulu. Saya tinggal dulu mbak. Permisi!"
Keduanya hanya mengangguk tanpa mengeluarkan kata-kata. Zaenab memperhatikan jadwal pelajaran diniyah yang terpajang di samping jendela, di melakang kursi yang didudukinya. Disitu tertulis jelas ada kitab sulam taufiq, khulashoh, risalatul musthahadhoh, nahwa dan masih banyak lagi. Dia hanya bengong membaca nama-nama kitab yang belum pernah ia ketahui sebelumnya.
Lalu terdengar suara salam dari seseorang yang baru datang. Suara itu terdengar lebih sopan lagi dibandingkan dengan pemuda sebelumnya. Dia dating sambil membawa nampan yang berisi dua gelas air the.
"Silahkan diminum mbak!"katanya kemudian.
"Iya, terima kasih!"ucap Zaenab.
Aisyah hanya diam saja. Pikirannya melayang tidak karuan. Sebenarnya ia masih agak ragu dengan rencananya untuk mondok. Karena keputusan itu diambil disaat hatinya sedang kalut,. Kacau, dan gundah. Ia memilih mondok supaya bias melupakan kekasihnya yang telah menghianatinya.
Kang pondok itu memberikan keterangan yang jelas dan lengkap tentang pondok Serutsewu sesuai dengan kenyataan yang ada tanpa dikurangi maupun ditambah.
Setelah merasa puas akan penjelasan pemuda itu, keduanya pamit pulang.
Keluar dari kantor diniyah, Zaenab menyeringai kepanasan karena terik matahari yang terlalu menyengat. Tepatnya matahari berada diatas kepala.
"Bagaimana Aisyah? Apa kamu semakin berniat nyantri disini?"katanya setelah menaiki motor.
"Iiy…..ya deh!"ucapnya dengan berat hati.
Zaenab diam sejenak mencerna jawaban temannya.
"Aisy! Kalau kamu masih ragu, nanti malam aku saranin sholat malam deh. Minte petunjuk kepada-Nya."
"Shalat malam? Shalat apa namanya?"
"Namanya Shalat istikhoroh. Ibaratnya kamu sedang bingung menghadapi dua pilihan seperti yang kamu rasakan sekarang. Mondok atau tidak." Terangnya dengan pasti.
"Tapi aku gak bias tata cara shalatnya." Katanya sambil menancap gas meninggalkan pesantren.
"Tata cara shalatnya sama saja dengan shalat biasa. Shalat istikharah terdiri dari dua rokaat. Soal niat plus doa ada di buku. Nanti aku pinjami."
Aisyah tersenyum manis karena dirinya merasa diperhatikan oleh Zaenab.
Sebenarnya Aisyah adalah lulusan SLTP Negeri 1 Geger, sekolalhan tingkat SLTP yang terfavorit di kecamatan Geger. Dia termasuk lulusan yang menyandang nilai terbaik nomor tiga dari tiga ratus siswa. Hanya saja dalam ilmu agama dia ketinggalan jauh. Sehingga dia berencana ingin mengenyam pendidikan agama di pesantren. Sedang Zaenab siswi luilusan MTs Tri Bakti yang terletak di Pagotan. Sekolahan tersebut masih dalam tahap berkembang belum begitu maju. Tapi bagi Zaenab hal itu idak menjadi masalah. Yang terpenting baginya adalah mampu melaksanakan dan mengamalkan ilmu yang didapatnya. Terlebih ilmu agama yang mengajarkan manusia menjadi manusia yang seutuhnya yan beriman dan bertaqwa kepada Allah AWT. Sehingga wajar saja kalau dirinya lebih mahir disbanding Aisy dalam hal ilmu Agama.
********************
Bagian 2
KEPENGURUSAN PONDOK

Angin malam yang dingin menggerakkan daun-daun lebat sehingga kelihatan bergoyang-goyang mengikuti irama yang mengalir. Baying-bayang dedaunan tampak berwarna hitam gelap samara-samar terlihat. Suasana di pedesaan sungguh terlihat sepi. Hanya sesekali terdengar suara burung hantu dengan suara andalnnya yang bias membuat orang lemah imannya menjadi berdiri bulu kuduknya alias merinding.
Dari luar kamar pondok, terdengar lantunan ayat-ayat suci Al-Quran yang dibacakan dengan fasih dan merdu. Namun suaranya tiba-tiba berhenti.
Kang Habibi menutup Al-Quran Al-Karim seraya mencium kitabullah tersebut. Karena ada kang santri yang mencarinya.
"Ada apa kang Rohman?" tanyanya setelah meletakkan Al-Quran pada tempatnya.
"Ah……..tidak apa-apa kang. Ya hanya ingin ngobrol santai saja." Tuturnya sambil membenahi posisi songkoknya.
"Ah……..kirain ada apa-apa. Kang rohman tadi pagi kulihat bajumu basah semua. Memamg tadi di pasar turun hujan ya?" Tanya Habibi asal ngomong.
"Oh…….tadi ya. Yah gara-gara ada perempuan naik motor nabrak genangan air pas aku lewat disitu. Akibatnya bajku jadi basah. Belum lagibelanjaannya jadi kotor."
"Kamu mengenali perempuan itu?"
"Tidak. Aku tidak kenal. Tapi kang, aku menyesal karena aku tidak memberi maaf perempuan itu. Padahal ia sudah minta maaf dengan sungguh-sungguh, eh……aku malah pergi meninggalkannya begitu saja."
"Lain kali kalau hal seperti itu terulang lagi, kamu harus bias menjadi orang yang pemaaf. Aku tahu kamu mudah emosi. Tapi InsyaAllah kalau kita berusaha, pasti bias mengendalikan nafsu syetan."
Kang Rohman mengangguk perlahan meresapi nasehat temannya.
Kang Rohman pamit keluar kamar hendak pergi kekamar mandi. Tangannya memegang perutnya yang buncit. Dapat dipastikan kalau ia hendak buang hajat.
Sedang kang Habibi pergi ke kamar atas menemui kang Tholib. Orang yang akan ditemuinya itu adalah ketua pondok pesantren Subulul Huda Serutsewu. Ia memegang jabatan sebagai pimpinan sudah lima tahun lamanya. Usianya sekarang mencapai dua puluh lima tahun. Dalam menangani masalah pondok, dia dikenal ulet, bijaksana dan tegas. Sehingga tek heran ia menjadi anak emas di pesantren tersebut. Kang Habib sendiri adalah anak buah kang Tholib. Dia memegang jabatan sebagai pengurus bagian keamanan. Tugas itu dipegangnya sudah tiga tahun sampai saat ini. Jabatan pengurus ia raih ketika umurnya tujuh belas tahun pada sat kelas dua aliyah.
Sampai di kamar atasdia tidak menemukan kang Tholib. Ada yang mengatakan kalau kang Tholib berada di masjid.
Dia membersihkan kedua telapak kakinya diatas keset yang berada di teras masjid sebelum memasuki tempat ibadah itu. Matanya menatap tajam kea rah jam dinding yang telah menunjukkan pukul 23.40
Dia mengucap salam tatkala melihat kang Tholib berada di serambi masjid.
"Assalamualaikum kang Tholib." Sapanya.
"Waalaikumsalam. Pasti mau laporan tentang kang Yayan to?" katanya menebak.
"Kok sudah tau kang?" kata kang Habib tak mengerti.
"Tadi sebelum kamu kesini ada yang lapor tentang kang Yayan padaku. Masalah kebersihan pondok bukan?"
"Iya kang! Tadi pagi kang Syafi'a mendengar perkataan seseorang yang berkunjung kesini untuk sekedar melihat pondok. Katanya sih ini pondok apa kandang ayam. Otomatis kalau ada yang berkomentar seperti itu berarti memang sudah keterlaluan."
"Siapa yamg berkunjung kesini kang?"
"Tadi ada dua perempuan yang ingin mondok ke sini. Tapi sebelumnya mereka mencari informasi dulu. Kalau cocok, ya mondok di sini. Kalau tidak salah mereka dari Jogodayuh."
Mereka berdua mengakhiri perbincangan sampai pukul 00.10. kang Habib kembali ke kamar hendak tidur. Kang Tholib sendiri mengurangi waktu tidurnya untuk membaca kitab tafsir jalalain yang merupakan tafsir Al-Quran. Itulah kebiasaan kang Tholib, selalu memuraja'ah atau mengulangi pelajaran yang baru diajarkan oleh ustadz. Ustadz yang mengajarkan kitab tersebut adalah Gus Yusron putra pertama dari alumnus bapak Kyai Abdullah pemilik Pondok Serutsewu.
Gus Yusron beberapa tahun yang lalu pernah mengenyam pendidikan di Damascus selama 4 tahun. Di sana juga beliau menemukan pendamping hidupnya yang sesama mahasiswa. Istri beliau berasal dari kalangan Pondok Gedhe yaitu putrid Kyai Bashir dari Kediri
Dari sepasang suami istri tersebut lahirlah 4 putra. Pertama bernama bernama Siti Fathonah yang saat ini telah menikah dengan Kyai Sidiq dari Sragen dan telah dikaruniai dua anak. Lima tahun kemudian putra kedua Zainal Musthofa melangsungkan pernikahan di Pondok Sarang, Jepara dengan seseorang yang telah di jodohkan dengannya oleh Kyai Sarang. Istrinya berasal dari keluarga sederhana. Kedua mertuanya seorang petani di daerah cepu. Sedang Sofyan Hanafi putra Gus Yusron ke tiga. Ia masih sekolah di sebuah Madrasah Aliyah di Jombang. Putra terakhir seorang laki-laki masih berumur lima tahun, Bayu Taufiqurrahman biasa dipanggil Gus Bayu, yang terakhir ini sangat pandai dengan umurnya yang masih belia.
Gus Yusron mempunyai tiga saudara yang masing-masing sudah membangun keluarga sendiri-sendiri, yang bermukim di Serutsewu hanya beliau seorang, sehingga Pondok Subulul Huda hanya dipegang oleh beliau.
Malam semakin larut, hanya terdengar suara Jangkrik di rerimbunan semak-semak liar di belakang pagar pondok. Seolah-olah hewan-hewan kecil itu berdzikir mengumandangkan asma-asma Allah yang mulia. Hembusan angin yang ramah menyapa lembut menyentuh sekujur tubuh menambah kenikmatan kala mata tertutup rapat-rapat, terbawa hanyut oleh bunga-bunga tidur yang semu.
Lampu penerang kamar mandi menyala terang tatkala ada seseorang masuk ke dalam tempat itu, laki-laki itu menggosok gigi sebelum mensucikan diri dari hadats kecil. Ia berusaha membuka matanya lebar-lebar untuk mengusir rasa kantuk yang sangat. Namun tidak juga berhasil. Ia paksakan tangannya menyentuh air pancuran yang dingin. Perlahan-lahan ia mulai membasuh mukanya diiringi niat berwudlu dalam hati. Ia basuh mukanya tiga kali. Kemudian anggota-anggota badan lainnya yang harus disucikan. Tak lupa sunnah-sunnah wudlu juga ia sempurnakan.
Kedua tangannya menengadah ke atas membaca doa usai wudlu. Diresapinya lafaz-lafaz yang meluncur begitu saja dari bibirnya. Pemuda itu melangkah dengan pasti menuju masjid Pondok hendak melaksanakan shalat malam. Kaki kanan ia dahulukan tatkala memasuki masjid. Pandangannya menerawang ke langit-langit masjid yang berhiaskan barisan tulisan kaligrafi.
Dalam keheningan malam ia memasrahkan dirinya sepenuh hati untuk bermunajat kepada Sang Khaliq. Untuk memohon ampunan dan rahmat dari Yang Maha Kuasa. Selepas shalat malam, Habibi melantunkan ayat-ayat suci yang berisi firman-firman Allah yang tidak ada keraguan sedikitpun di dalamnya.

Bagian 3
KEKHILAFAN
Pagi dinihari saat sang surya merangkak perlahan santri putra bekerja bakti membersihkan lingkungan pondok yang dipenuhi oleh plastik jajan dan dedaunan yang jatuh di halaman pondok Halaman pondok yang demikian luas membuat mereka kewalahan untuk mencabuti ilalang yang tumbuh liar di situ. Tapi pekerjaan akan akan terasa ringan jika dikerjakan dengan gotong royong. Apalagi jumlah santri putra sekitar enam puluh orang. Dari enampuluh santri ada beberapa yang tidak ikut kerja bakti seperti kang Habib karena menjaga koperasi, juga Kang Rahman yang pergi berbelanja di pasar membeli keperluan bahan makanan untuk dimasak oleh Mbak Binti yang juga nderek ndalem. Dalam sehari Mbak Binti memasak dua kali. pagi dan sore, soalnya semua santri mendapat jatah makan dua kali dalam sehari.
Pada awal bulan, semua santri membayar uang makan untuk satu bulan pada santri yang dipercaya oleh keluarga ndalem. Santri putra biasa membayar pada Kang Rahman, sedang santri putri menyerahkan uang makan pada Mbak Isti.
Ketika sedang asyik mencabuti rumput, Yayan dipanggil oleh Kang Tholib, Ketua Pondok. Kang Tholib mengajaknya masuk ke dalam Kantor Diniyah. Mereka berdua menjadi pusat perhatian berpasang-pasang mata yang memperhatikan gerak-gerik mereka.
Wajah yayan berubah menjadi pucat pasi tatkala Ketua Pondok itu menatap ke arahnya dengan tajam setelah ia berada di dalam kantor. Kang Tholib menjelaskan tujuannya memanggil anak buahnya itu. Mendengar penuturannya Yayan tertunduk merenungi kesalahannya, ia telah lalai mengurusi masalah kebersihan. Ia pun mengakui kesalahannya tersebut.
"Kang satu lagi yang mengganjal di hatiku. Kemarin kamu ada urusan apa di madrasah aliyah?"tanyanya mendelik.
"E…..Anu kang, ngantar Kang Shodikin mendaftar sekolah, saya ingin mengantar karena dia kan santri baru." Jelasnya berbohong.
"Memangnya Kang pondok yang sebaya dengan santri baru itu tidak ada?" tanyanya.
"Ada kang, tapi sudah berangkat duluan."
"Sudahlah Kang Yayan, kamu tidak usah berbohong. Aku tahu apa yang kamu lakukan di sekolahan itu. Janjian dengan mbak Laila to?"
Yayan tak berkutik dengan tembakan pertanyaan ketua pondok tersebut. Perasaannya semakin tidak tenang, ingin rasanya ia melarikan diri dari ruang persidangan itu. Matanya tak berani menatap Kang Tholib. Itu tanda bahwa tuduhan itu benar adanya.
"Kenapa menunduk Kang, benar apa yang ku katakana tadi?"
Yayan hanya mampu mengangguk lemah.
"Kang bukankah kamu di sini menjabat pengurus, tentunya sudah tahu kewajiban yang harus kamu lakukan, seharusnya kamu bisa menjadi teladan bagi santri-santri lainnya. Apakah pacaran itu sunnah, hingga kamu harus berbohong untuk melakukannya?"
Kang Tholib diam sejenak berusaha melawan amarahnya. Berkali-kali ia membaca istighfar.
"Kang Yayan, berdekatan dengan lawan jenis yang bukan muhrim itu sudah jelas tidak di perbolehkan oleh agama, apalagi pacaran?"
"Maafkan atas kekhilafan saya Kang, saya berjanji tidak akan mengulangi kesalahan untuk kedua kalinya." Kata Yayang memberanikan diri.
"Baik, tapi bagi santri siapapun yang melakukan kesalahan wajib di ta'zir, walaupun ia seorang pengurus, sebagai kebijakannya, mulai hari ini sampai dua minggu yang akan datang, kamu bersihkan masjid sampai debu satupun tidak tampak di mata. Dan selama satu bulan kamu dilarang keluar dari pondok, ku harap kamu mampu mengerjakan dengan baik dan hati yang ikhlas."
Yayan melangkah gontai menuju masjid, ia merasa dunia akan kiamat. Rasa malu meliputi ruang lingkup hati kecilnya. Dia duduk sendirian di masjid merenungi kekeliruan yang telah diperbuatnya. Sambil lidahnya berkomat-kamit melantunkan Zikir. Hampir saja butiran bening meluncur di pipinya. Diusapnya butiran kristal itu dengan sarung yang dikenakan saat ini. Ia merasa sangat menyesal atas semua kesalahan yang telah dilakukannya. Tapi sesal kemudian tiada guna.
Bagian 4
Tiba di Pesantren
Zaenab menarik nafas panjang menahan kecewa setelah mengetahui Aisyah membatalkan rencananya mondok di Pondok Subulul Huda. Ternyata Aisyah lebih memilih sekolah SMU favorit di Madiun daerah perkotaan. Keputusan itu diambilnya sendiri tanpa melakukan munajat kepada Allah seperti dianjurkan oleh Zaenab agar melaksanakan shalat Istikharah beberapa hari yang lalu.
Zaenab segera menghapus bayangan rasa kecewa. Yang memenuhi pikirannya sekarang hanyalah kesiapan dirinya untuk meninggalkan semua yang ada dirumahnya. Siap untuk meninggalkan kedua orang tua dan kakak perempuannya demi menuntut ilmu di Pondok.
Setelah berpamitan dengan tetangga terdekat, Zaenab diantarkan keluarganya menuju pondok pesantren yang diharapkan akan mencetaknya menjadi seorang wanita yang berakhlak karimah. Suasana hiruk pikuk di dukuhnya membuat dirinya semakin berat hati untuk melepaskan semuanya. Hingga membuat bola matanya berkaca-kaca membendung air mata yang hampir ambrol. Tanpa ia sadari, sang ibu telah berada dihadapannya. Wanita yang sangat dicintainya itu memberikan rangkaian nasehat yang penuh makna bagi seorang anak. Rasa haru mengiringi perjalanannya menuju sebuah tempat untuk menemukan jati diri yang sesungguhnya.
Sesampainya di Pesantren, mereka sowan pada Gus Yusron. Pak Hamid mengutarakan maksud kedatangannya sowan ke ndalem yang tak lain untuk memondokkan putrinya, Zaenab. Kedatangan mereka disapa hangat oleh Gus Yusron.
Beberapa menit telah berlalu, keluarganya pamit undur diri. Hal itu membuat Zaenab semakin sedih karena mulai nanti malam ia tidur tanpa ditemani nyanyian nyamuk-nyamuk yang bersarang di kamarnya, senyum yang selalu mengembang di wajah orang-orang yang dicintainya dan kata-kata bermakna yang menjadi motivasinya yang tak akan pernah bisa terhapus dari memorinya.
Dia melepas kepergian keluarganya dengan menderaikan air mata kasih yang menguraikan cerita hatinya saat ini.
Barang-barang milik Zaenab dibawa masuk ke pondok oleh seorang santriwati. Ia berjalan di belakang perempuan yang menjinjing tasnya.
Saat memasuki pintu gerbang pondok putrid, sangat terasa asing baginya. Suasananya begitu tenang sehingga membuat pikirannya kembali jernih.
Perempuan itu mengajaknya masuk ke dalam kamar pondok paling selatan. Disana terdapat tulisan angka satu di atas pintu kamar yang dimasukinya.
"Assalamu'alaikum!" sapa Zaenab pada mbak-mbak pondok yang berada di dalam kamar satu.
"Wa'alaikumussalam!" jawab mereka.
Zaenab menyalami mereka satu persatu. Beberapa dari mereka menanyainya, mulai dari nama, rumah, asal sekolah dan lain-lainnya.
"Namanya siapa, mbak?" Tanya seseorang yang telah membawakan tasnya.
"Namaku Zaenab al-Mawadah"
"Panggilannya?"
"Terserah mbak deh, mau panggil apa"
"Karena di pondok yang panggilannya Zaenab sudah ada. Aku panggil kamu dek Mawa aja. Panggilan yang indah kan?!"
Zaenab hanya tersenyum. Wajar saja kalau dirinya masih terasa asing untuk berbincang-bincang dengan mereka. Ia mendengarkan penjelasan tentang peraturan pondok oleh ketua pondok putri, yang biasa dipanggil mbak Santi.
Mawa baru berani bicara, saat di dalam kamar itu hanya tinggal dia dan Santi. Mereka berdua membicarakan tentang dunia kepesantrenan.
"Mbak Santi, yang ngepel lantai itu siapa, sudah rajin, cantik, rajin bersih-bersih, pasti orangnya baik?" Pujinya pada seseorang santriwati yang sedang membersihkan lantai teras pondok.
"Kamu terlalu polos dek. Dia membersihkan lantai karena mendapatkan ta'ziran dari pondok."
"Ta'….zi..ran, apa itu mbak?"
"Ta'ziran adalah sanksi atau hukuman. Laila dita'zir karena kepergok berpacafran dengan kang pondok di masjid Aliyah"
"Di masjid Aliyah, sepertinya aku tidak asing melihat wajah mbak Laila." Katanya sambil mengingat-ingat.
"Oh….aku ingat, aku pernah melihatnya berciuman dengan seorang laki-laki di samping masjid." Ucapnya spontan.
"Apa? Berciuman?" Tanya santi kaget.
"Astaghfirullahal'azim!"
"Kenapa dek Mawa?"
"Aku berdosa karena membuka aib orang lain."
"Tapi untuk yang satu ini membantu pengurus, berarti Laila harus ditambah ta'zirannya."
Diam-diam ada yang mendengarkan pembicaraan mereka berdua. Dan kebetulan yang emnguping adalah Isma, sahabat Laila. Tanpa menunggu lama Isma menghampiri Laila yang masih sibuk mengepel lantai.
Isma menceritakan tentang apa yang dibicarakan oleh ketua pondok dengan santri baru pada Laila. Hal ini membuat Laila menjadi semakin panas hatinya. Ia masih belum ikhlas menerima hukuman yang diberikan padanya. Rasa benci perlahan merasuk ke dalam darahnya. Apalagi ditambah laporan tanpa sengaja yang diberikan oleh santri baru pada ketua pondok putri.
"Namanya siapa sih?" Tanya Laila manggerutu.
"Zaenab al-Mawaddah"
"Zaenab, Aku tidak akan tinggal diam padamu." Ungkapnya ketus.
Sore hari, menjelang petang, Zaenab sibuk membersihkan kamar yang ditempatinya. Banyak baju-baju yang tidak diletakkan pada tempatnya. Apalagi bungkus jajanan yang berserakan di lantai. Padahal penghuni kamar satu hanya lima orang. Mereka adalah Binti, Zaenab Bintan Sholikatin, Indah, Azizah dan Zaenab sendiri.
"Dek Mawa, maaf ya, kamarnya masih kotor" tutur mbak Binti ketika melihatnya sedang membersihkan kamar.
"tidak apa-apa mbak. Soalnya mbak-mbak kelihatan masih sibuk semua. Karena saya nganggur, tidak ada salahnya jika saya bersihkan."
Binti merasa malu karena seharusnya santri lama mengajarkan kebaikan bukan keburukan. Menjaga kebersihan kamar sudah mutlak hukumnya. Tetapi ternyata hal itu masih menjadi teori saja, belum ada pengamalannya.
Sebenarnya setiap kamar sudah ada jadwal piketnya, hanya saja belum dikerjakan dengan sebaik-baiknya.
Pondok putri mempunyai lima kamar dimana setiap kamar dihuni minimal empat orang. Tahun ajaran sebelumnya, jumlah santriwati sebanyak sembilan belas orang. Dan sekarang tahun ajaran baru bertasmbah enam orang sehingga menjadi dua puluh lima santriwati. Berarti setiap kamar dihuni lima santri.
Setelah kamarnya menjadi bersih, ia melangkahkan kaki menuju tempat berwudlu. Karena sudah menjelang waktu shalat maghrib. Santri lama yang masih asyik duduk santai di depan teras, terheran melihatnya. Biasanya santri baru paling mulek kalau disuruh shalat berjamaah. Dengan alas an belum terlatih dari rumah. Tetapi ternyata santri baru yang satu ini berbeda dengan mereka.
Mawa berangkat ke masjid bersamaan dengan bergemanya seruan panggilan Allah. Langkahnya mantap dan wajahnya yang cerah menyimpan benih-benih ketakwaan terhadap sang pencipta Yang Maha Agung.
Tetapi dalam hatinya saat ini, muncul kata rindu tak terhingga pada keluarganya di rumah.
Bagian 5
TIMBULNYA MAHABBAH

Tiga hari setelah kedatangan santri baru, Ulfa yang baru saja lulus Aliyah, sowan kendalem hendak pulang boyong dari pondok.dua tahun lamanya ia mengabdikan diri ke ndalem membantu membersihkan rumah kyai. Setiap hari tugasnya manyapu lantai ndalem yang berukuran cukup luas itu dua kali dalam sehari. Pagi dan sore. Sore hari setelah menyapu, dia mengajk koperasi pondok milik ndalem.
"Mbak Ulfa, menurut pendapatmu siapa yang mampu menggantikan tugasmu membersihkan ndalem?"Tanya istri Gus Yusron.
"Menurut saya dan mbak binti, dek Zaenab santri baru ibu."ucapnya lemah lembut.
"Kalau dia tepat menurutmu, ibu nderek saja."
Beberapa hari kemudian, Mawa ditimbali oleh Ibu Nyai. Tentu saja ia merasa kaget, takut-takut kalau dirinya telah melakukan kesalahan.
"Nduk, beberapa hari yang lalu, mbak Ulfa sudah pulang boyong dari pondok sehingga tugas yang biasa dikerjakannya belum ada yang menggantikan. Bagaimana kalau kamu menggantikan tugas itu?" tutur Ibu Nyai lembut.
"Alhamdulillah saya selalu siap menerima tugas dari Ibu."
Mulai sekarang dan seterusnya Zaenab berkewajiban membersihkan ndalem.
Setelah ditimbali, sekarang juga Mawa menyapu lantai rumah.
Ketika sedang menyapu ruang tamu, ada kang santri yang datang hendak membenahi lampu. Mawa melangkah keluar.
"Mbak, nyapunya dilanjutkan saja. Saya hanya sebentar disini." Kata kang santri yang datang itu.
Mawa hanya mengangguk pelan. Dia melanjutkan pekerjaannya.
Pemuda itu naik di atas meja supaya tangannya bias meraih lampu. Tapi tiba-tiba saja meja yang dinaikinya roboh karena kaki meja ada yang patah.
Krak…..brak……..
"Aduh!"
"Astaghfirullahal'azim!" Ucap Mawa spontan. Ia menghampiri pemuda itu.
"Kang ada yang terluka?"
"Tidak ada mbak. Hanya keseleo saja. Nanti juga sembuh sendiri." Ucapnya sambil menahan sakit.
Mawa tidak bisa melakukan apa-apa. Ingin membantunya berdiri, tapi bukan muhrimnya. Apalagi di pondok ada larangan bahwa putra-putri tidak boleh berdekatan.
Dengan susah payah, barulah dia bisa berdiri.
"Astaghfirullahal'azim!" Ucap Mawa lagi.
"Ada apa mbak?"
"Ada darah di kakimu, kang!" kata Mawa sambil menunjuk luka itu.
"Ah…tidak apa-apa, hanya luka kecil."
"Tunggu sebentar kang"
Mawa mencari kotak obat. Tapi ia kesulitan mencarinya karena pertama kalinya dia masuk ndalem.
"Mencari apa mbak Mawa?" Tanya bu Nyai yang tiba-tiba datang.
"Mencari kotak obat Buk, untuk mengobati kang pondok."
"Kang pondok siapa?"
"Saya tidak tahu namanya. Tadi dia sedang memperbaiki lampu. Tiba-tiba saja meja yang dinaikinya roboh dan dia terjatuh"
"Ya Allah, terjatuh?" Ucap beliau terkejut.
Ibu Nyai mengambil obat sendiri, beliau menghampiri santrinya yang terluka. Zaenab mengikuti beliau dari belakang.
"Kang Habibi to! Mana yang sakit?" Tanya beliau.
"Hanya luka kecil saja bu, nanti saya obati sendiri saja di pondok" Jawabnya pelan.
"Ya sudah, lain kali hati-hati, ini obatnya" Beliau keluar dari ruangan itu.
Zaenab melanjutkan pekerjaannya.
"Mbak, syukron katsiron!" ucap Habibi berterimakasih.
"Apa kang?" Tanya Zaenab yang belum mengerti maksud dari kata-kata itu.
"Terima kasih banyak, mbak"
"Tidak usah berterimakasih, saya kan tidak melakukan suatu hal untuk menolongmu?"
"Meskipun tidak berbuat sesuatu, tadikan mbak jadi panic melihat luka saya. Berarti mbak ini hatinya mudah tergerak untuk menolong orang lain."
Kang Habibi meninggalkan ruang tamu.
Zaenab diam tak bergeming dari tempatnya. Hatinya terbawa hanyut oleh ucapan Habibi. Meskipun kata-katanya sederhana, tapi mampu memunculkan sensasi baru di dalam hati kecilnya. Karena cara penyampaian dan ekspresi Habibi begitu indah di pelupuk mata yang kemudian mengalir begitu memikat. Hingga turun ke hatinya.
Zaenab yang segera beristighfar ketika sadar dari lamunannya, memompakan kata-kata motivasi untuk dirinya, sembari berkata kepada dirinya sendiri.
"Zaenab, kamu tidak boleh menyimpan perasaan seperti ini. Belum waktunya untuk memikirkan masalah cinta. Yang terpenting, harus belajar sungguh-sungguh di pondok. Jangan sampai belajarmu jadi berantakan karena godaan cinta. Apalagi di saat usiamu masih terlalu muda." Tutur Zaenab menasehati dirinya sendiri.
Setelah merampungkan tugasnya. Zaenab dipanggil oleh bu Nyai. Dia disuruh untuk mengantarkanb makanan pada Habibi di koperasi pondok. Dalam hati sebenarnya dia gundah. Perasaan yang menggangunya semakin meluas ketika mendengar nama Habibi disebut. Setiap kali ia mencoba menghapus bayangannya, malah semakin menggunung rasa mahabbahnya pada Habibi.
"Ya Allah, Ya Rabb, anugerah apakah yang saat ini ku alami. Mengapa hamba terlalu gmpang untuk jatuh hati pada laki-laki yang belum aku kenal dengan jelas." Tuturnya dalam hati.
Jantungnya berdegup kencang tatkala melihat Habibi duduk santai di dalam took bersama dengan Rahman. Dia mengambil nafas dalam-dalam untuk mengenyahkan getaran hatinya.
Tiba di hadapan habibi, Zaenab semakin salah tingkah. Sampai-sampai dia lupa salam. Ia merasa malu karena diingatkan Habibi agar tidak lupa mengucapkan salam jika bertemu dengan sesame muslim.
"Kang Habibi ini ada makanan untukmu dan dari Ibu." Katanya tanpa melihat ke arah Habibi.
"Terima kasih mbak. Sudah mau nganterin." Balas Habibi ramah.
"Mbak namanya siapa, saya belum tahu." Tanya Habibi.
"Nama saya Zaenab al-Mawadah"
"Oh mbak Zaenab" Ungkapnya sambil mengangguk pelan.
Tiba-tiba Rahman menyela.
"Sebentar mbak Zaenab! Sepertinya saya pernah melihat mbak. Bukankah mbak yang waktu itu dibonceng temenmu di jalan raya. Baju saya jadi basah akibat temenmu yang kurang hati-hati."
"I….iya benar, teman saya merasa bersalah karena tidak mendapat maaf dari kang siapa?"
"Rahman."
"Iya Kang Rahman"
"Saya juga merasa berdosa karena tidak mau memaafkan. Sampaikan maafku pada temen mbak. Saya meminta maaf atas kekeliruan saya juga karena saya sempat su'uzon sama temen mbak. Jangan lupa, amanah ini mbak!"
"Iya, insya Allah" Jawabnya sambil mengangguk.
Zaenab segera berlalu dari koperasi tersebut. Langkahnya tampak terburu-buru dan tidak beraturan. Nafasnya mendesah panjang. Ada rasa kesal yang menghiasi batinnya. Kesal karena tetalh bertemu dengan Habibi. Semakin sering bertatap muka dengan tambatan hatinya, semakin sulit untuknya menghapus perasaan itu.
"Ya Rabb, sirnakanlah perasaan ini dari lubuk hatiku" Pintanya dalam hati.

BAB VI
TERTUTUP AWAN MENDUNG
Di belakang bangunan pesantren putri, terlihat hamparan tanaman padi yang mulai menguning. Barisan batang padi yang sejajar, rapid dan teratur, ibarat barisan shaf shalat jamah orang-orang muslim. Dan biji-biji padi tampak sarat, tapi belim siap untuk dipanen.
Tiupan angina pagi menyapa lembut, semilir meneduhkan kalbu. Menyongsong cerita alm yang sedang memujio keagungn sang Khaliq. Memuji dengan berjuta-juta ungkapan syukur atas anugerah yang tak terhitung banyaknya.
Baru seminggu berada di pesantren, Mawa ingin pulang untuk berkumpul dengan keluarganya. Ia ingin membuang rasa penat di dadanya. Sebongkah perasaan sedih, tak mau hilang dari hati kecilnya. Baginya, keluarga tercinta adalah tempat untuk bversandr atas cengkrama sembilu hati. Tetapi hanya kepada Allahlah kita menyerahkan diri sepenuhnya sebagai makhluk hina yng tak berdaya.
Di duduk seorang diri di bawah teduhnya pohon mangga yang berada di belakang pesantren putrid. Pandangan matanya menerawang jauh. Seolah mengintai menda kecil di kejauhan sana. Matanya tidak berkedip. Badannya pun juga tidak bergerak. Hanya nafasnya yang terlihat naik turun.
Sebenarnya ada sesuatu yang membuatnya tidak bersemangat. Sewaktu habis berjamaah subuh, ia menemukan almarinya dalam keadaan berantakan. Bajunya kacau di dalam almari. Tapi beruntung, uangnya masih aman di dalamnya.
Mawa penasaran. Siapakah gerangan yang tega berbuat demikian padanya. Factor apa yang mendorong untuk melakukan hal itu. Itulah yang mengganjal dalam pikirannya.
Juga, setelah merapikan bajunya. Ketika dia hendak menjemur pakaian. Ember yang berisi baju-baju yang hendak di jemur diangkatnya menuju tempat penjemuran, tapi tiba-tiba saja Laila menabraknya hingga ember yang digunakan untuk membawa baju jemuran itu pecah. Entah Laila sengaja atau tidak. Dzohirnya, Maw berfirasat kalau Laila memang sengaja menabraknya. Soalnya, Laila tidak measa bersalah sama sekali terhadapnya. Ia malah meninggalkan Mawa begitu saja. Apalagi raut mukanya tampak sinis.
Ia terbangun dari lamunannya ketika mendengar suara seseorang yang sedang latihan pidatodengan suara yang sangat lantang, bagaikan membelah bumi menjadi dua. Matanya mencri-cari arah datangnya sumber suara itu. Pandangannya berhenti tepat di sebuah gubug yang tidak jauh dari keberadaannya. Ia mengenali suara itu.
"Ternyata mbak Zaenab jago berdakwah ya. Sudah cerdas, cantik, tinggi lagi. Kurang apa coba."gumam Mawa dalam hati.
Tanpa sadar, ia kembali melamun. Namun lisannya mengeluarkan syair-syair lagu cinta milik Radja.
"Cinta adalah anugerah yang kuasa. Yang bila terasa betapa indahnya. Sung….."
Mawa berhenti menyanyi ketika mbak Binti sudah berada di sampingnya.
"Dek Mawa, lebih baik hafalan nadzoman Nahwu Jawan daripada menyanyi yang tak ada faedahnya.""
"Iya sih mbak! Tapi saat ini aku sedang sedih." Ungkapnya tak semangat.
"Memangnya kamu ada masalah apa?" Tanya Binti serius.
"Aku ingin boyong saja dari pondok. Di sini ada seseorang yang tidak suka padaku. Aku tidak tahu penyebab dia membenciku. Padahal sekalipun aku belum pernah berkomunikasi dengannya. Hanya bertegur sapa saja. Itu pun dia tidak pernah membalas sapaanku. Aku jadi bingung."
"Dek, jadilah orang yang punya komitmen. Pokoknya tujuan utamamu mondok adalah untuk menghilangkan kebodohan supaya menjadi orang yang mengerti, sehingga kalau kamu sudah benar-benar niat tholabul 'ilmi, kamu tidak akan mudah goyah hanya karena sedang ada konflik seperti yang sedang kamu rasakan saat ini. Jangan sampai hanya karena sesuatu yang kecil, kamu mengorbankan yang besar yaitu menuntut ilmu, apalagi ini ilmu agama." Jelas mbak Binti panjang lebar.
"Terimakasih atas nasehatmu mbak, aku kagum sama mbak karena pandai menasehati sesame teman. Juga tidak membeda-bedakan dalam berteman, sabar dan tegar hati. Tidak seperti aku, aku seperti seorang pengecut saja. Tidak berani menghadapi tantangan."
"Siapa yang mengatakan kalau kamu seorang pengecut. Bagiku kamu bukan seperti apa yang kamu katakana. Menurutku, kamu mempunyai kelebihan yang membuatku kagum. Tapi aku tidak akan mengatakan kelebihanmu itu, agar kamu tidak besar kepala."
"Jangan begitu mbak"
Suasana hening sejenak, hanya terdengar syiar-syiar agama yang keluar dari lisan seseorang yang berada di dalam gubug itu. Binti memperhatikan raut muka Mawa yang masih tertutup mendung.
"Dek ada apa lagi?"
"Sebenarnya ada hal lain yang juga membuatku seperti ini."
"Apa itu?"
"Aku merasa minder di kelas diniyyah. Diantara mereka, akulah yang paling bodoh. Apalagi kalau ngaji kitab, aku selalu ngantuk."
"Dek, kembali ke kalimat yang aku katakana tadi tadi, kamu mondok supaya menjadi orang yang mengerti kan? Untuk dapat mencapai hal tersebut kamu harus berdoa dan berikhtiar. Merasa minder, bodoh itu hal yang lumrah daripada merasa paling pinter. Kamu mondok baru kemarin sore, belum dapat apa-apa. Sudahlah pokoknya kamu harus semangat terus."
Binti mengajaknya beranjak dari tempat itu.
Diantara panasnya terik matahari, panggilan shalat telah dikumandangkan. Para santri putra maupun putrid bergegas memenuhi panggilan Allah untuk menunaikan ibadah shalat Dzuhur. Tidak ada satupun yang ketinggalan untuk shalat berjama'ah kecuali yang berhalangan. Karena peraturan pondok shalat berjama'ah dihukumi wajib, sehingga kalau ada yang shalat munfarid atau shalat sendirian, mendapat ta'ziran
Mawa menuju ke masjid sambil menyandang al-Qur'an di tangan kanannya. Sedang setelah dzuhur, seperti biasa, dia membaca al-Qur'an di masjid
Bagian 7
KALA HATI BERTABURAN BUNGA
Selesai shalat 'Isya', semua santri berbarengan menuju gedung diniyyah yang letaknya di samping pesantren putra. Bangunan itu cukup sederhana, tapi jasanya patut mendapatkan acungan dua jempol. Banyak alumni pondok yang telah berhasil dengan ilmu yang telah mereka raih. Banyak para alumni yang telah mendirikan pesantren sendiri. Mengembangkan pengetahuan yang telah di dapat dari pondok ini.
Malam ini, Mawa bersemangat untuk belajar di kelas diniyyah. Awan mendung telah sirna dari kalbunya. Dan kembali terang seterang sinar dewi malam yang sedang mengintip aktifitas manusia di muka bumi. Pikirannya kembali jernih. Senyum mengembang nampak di wajahnya. Perasaannya sudah menjadi tenang kembali.
Dia duduk di deretan bangku paling depan bersama Syifa yang juga santri baru.
Lonceng telah dipukul dua kali, pertanda semua santri melafalkan nadzoman yang telah diajarkan oleh ustadz masing-masing kelas.
Hari ini kelas satu membunyikan nadzoman Tanbihul Muta'allimin dengan serentak. Kitab Tanbihul Muta'allimin mengajarkan adab dan tata cara menuntut ilmu, seperti adab sebelum memasuki tempat mengaji yaitu berwudlu, mengenakan pakaian yang bersih dan harum juga bersiwakan. Karena dengan lahir yang bersih mendukung jiwa untuk bersih juga. Dengan demikian, Insya Allah ilmu yang disampaikan akan mudah masuk ke dalam otak, kuat ingatan dan mudah mengamalkan.
Kelas kembali tenang selesai para santri melafalkan nadzoman bersama. Terdengar langkah kaki menujun kelas mereka. Sudah dapat dipastikan bahwa yang adalah pak ustadz yang biasa dipanggil pak Muhsin.
Terdengar ucapan salam mengiringi langkah beliau memasuki ruangan kelas satu. Semua santri membalas salam beliau.
Sebelum pelajaran dimulai, pak Muhsin memberikan pemanasan. Pertanyaan-pertanyaan diberikan kepada beberapa santri. Mawa kebagian pertanyaan dari ustadz. Alhamdulillah dia bisa menjawab pertanyaan tersebut.
Beberapa menit telah berlalu. Saat pak ustadz sedang memberikan penjelasan, mendadak saat Mawa berhasrat untuk buang air kecil. Maklum saja, udara ma;lam lumayan dingin. Dia minta izin kepada pak ustadz.
Ia berjalan menuju kea rah utara. Lokasi kamar kecil berada di belakang kelas diniyah paling utara.
Kaki kiri melangkah, masuk pintu kamar kecil. Belum sampai buang air kecil, dia tak bergeming dari tempatnya tatkala mendengar percakapan seseorang.
"Kang Habibi! Malam ini kamu kelihatan bersemangat. Memangnya ada apa?"
"Hari ini, Zaenab kelihatan anggun. Aku jadi semakin saying kepada Zaenab. Sobat! Jangan bilang siapa-siapa ya!"
"Beres dech! Kang Rohman bukan orang munafik."
Percakapan singkat yang didengar oleh Mawa, mampu membuat hatinya meloncat-loncat kegirangan. Bunga-bunga cinta, serempak bermekaran harum di dalam hatinya.
Selepas buang air kecil,lisannya bertahmid. Dia berhenti di depan kamar kecil.
"Subhanallah! Ternyata kang Habibi merasakan pa yang aku rasakan. Biar aku simpan dalam hatiku akan prasaan ini sebagai ungkapan syukur atas anugerah cinta yang Engkau berikan padaku ya Allah. Kalau kang Habibi berjodoh denganku, dekatkanlah aku dan dia dengan caraMu. Sebaliknya, kalau tidak berjodoh, jauhkanlah aku dan dia dengan caraMu pula." Ucap Mawa dalam hati sanubari yang paling dalam.
"Astagfirullah hal'adzim. Ngomong apa hatiku"
Kemudian ia bergegas kembali ke dalam kelasnya.
Proses belajar mengji berjalan dengan lancer tanpa ada kendala sedikitpun tanpa ada kendala sedikitpun sampai jam belajar berakhir. Pak MUchsin mengakhirinya dengan bertahmid seraya mengucapkan salam.
Mawa, santri pertama yang keluar dari kelas setelah pak Muchsin. Entah kenapa hatinya tergerak untuk segera menuju asrama pondok.
Jalannya nampak terburu-buru. Sampai di depan teras, langkahnya kembali normal. Waktu membuka pintu, matanya terbelalak karena melihat seseorang sedang mengobrak-abrik bajunya hingga berserakan di lantai.
"Mbak lagi ngapain?"Tanya Mawa bersabar hati.
"Kamu? Nggak lihat aku lagi ngapain?"katanya ketus.
"Jadi selama ini, Mbak Laila yang suka merapihkan bajuku. Sebenarnya maksudmu apa? Apa aku punya kesalahan padamu. Kalau memang demikian aku minta maaf."
"Kamu tidak sadar telah membuatku kesal? Kamu kan yang mengadukan aku pada santi? Karena aku berpacaran dengan kang pondok. Sudah puas!"
"Oh……….ternyata penyebabnya cuma itu. Mbak! Apakah salah jika kamu mendapat takziran karena telah melakukan pelnggaran? Kalau memang tidak mau dihukum, ya jangan coba-coba untuk mlakukan penyimpangan. Lalu dimana letak kesalahgan saya?"tutur Mawa.
"Kamu memang bodoh. Masih pakai nanya lagi. Yang jelas aku gak suka kamu mengadukan apa yang aku lakukan"sentak Laila dengan nada meninggi.
Mawa mengelus dadanya, berusaha untuk tidak gegabah menanggapi amarah lawan bicaranya.
"Ya………saya akui, aku masih bodoh. Makanya saya menuntut ilmu disini, supaya bisa. Mbak, sebenarnya saya tidak mengadukan perbuatanmu pada mbak Santi. Waktu itu aku keceplosan saja. Nah…….sehingga perbuatan yang kamu sembunyikan, telah terungkap karena kata-kata yang tidak sengaja keluar begitu saja dari mulutku."
Laila semakin memberontak padanya. Tapi Mawa menghadapinya dengan kepala dingin. Hingga santri-santri yang lain mengetahui perkra itu. Santi, ketua pondok segera menangani hal itu. Mawa dan Laila disidang di kanto pengurus pesantren putri.
Finalnya, siapa yang salah, sudah barang tentu menanggung resikonya. Laila yang belum kelar takzirannya, malam ini mendapat hukumannya lagi.
Sementara Mawa berlega hati atas sditemukannya santri yang usil dan membuat ulah padanya.
Malam ini seakan malam milik Mawa sepenuhnya. Langit bertabur beribu bintangselalu mengingatkannya agar mensyukuri anugerah dari Sang Pencipta.
Bagian 8
SERIBU LARA

Mesin waktu terus berjalan tiada henti. Hari demi hari menuju minggu, minggu berganti bulan, dan bulan berganti dengan tahun. Tak terasa tiga tahun telah berlalu.
Banyak hal-hal yang telah berubah di pesantren. Dari santri yang tiga tahun lalu masih muda, sekarang tumbuh menjadi sosok santri yang telah dewasa. Sehingga sudah menjadi kewajibannya untuk menjadi teladan bagi adik-adik santri di bawah mereka.
Dan sekarang, Mawa telah lulus dari aliyah, meskipun dengan nilai yang tidak memuaskan. Ia tetap bersyukur atas keberhasilan yang telah dicapainya.
Ia sadar akan nilai kecil yang tertulis di ijazahnya. Selama sekolah di aliyah, prestasi belajarnya semakin menurun. Pelajaran yang disampaikan oleh guru, tidak semuanya terserap ke dalam otaknya. Penyebabnya, ketika proses belajar dia selalu ngantuk. Sampai-sampai oleh teman-temannya dijuluki raja tidur. Setiap hari dia berusaha untuk bersabar hati menghadapi ejekan-ejekan temannya. Dia menggap semua itu adalah cobaan jalan menuntut ilmu.
Sebenarnya Mawa sudah berusaha untuk mengusir rasa kantuknya. Namun tidak pernah bisa. Terlebih lagi saat ulangan, adalah momen yang sangat paling sulit untuk membuka mata.
"Subhanallah! Setan apa yang meracuni pelupuk mataku?"
Itulah kalimat yang paling sering diucapkannya jika tidak bisa mengusir rasa kantuknya.
Julukan raja tidur, tidak akan pernah terhapus dari sudut memorinya.
Mawa berniat ingin nyantri tiga tahun lagi. Ia igni mmperdalami kitab sambil memperdalami kitab sambil menghafal Al-Quran. Dan beruntung, keluarganya mendukung rencana baiknya itu.
Beralih ke Zainab Bintan Sholikhatin, teman satu kamar dengannya. Sekarang dia menjadi wanita yang dikenal oleh khalayak ramai karena mendapat juara satu lomba pidato tingkat provinsi di Jawa Timur beberapa bulan yang lalu. Namanya tidak asing lagi di telinga. Banyak acara pengajian yang mengundangnya agar menjadi mubalighoh. Sungguh menjadi kebanggan baginya menjadi daiyah yang bisa menyebarkan ajaran-ajaran islam lewat kata-kata yang terangkum dalam sebuah pidato.
Berbeda dengan nasib Laila.
Akibat pelanggaran yang telah dilakukannya berkali-kali, Laila dikeluarkan dari pondok Subulul Huda. Sebelumnya, Gus Yusron telah memberikan kesempatan sekali lagi agar mau memperbaiki dirinya. Tapi apa yng terjadi? Laila malah mengulangi kesalahannya lagi. Hingga akhirnya, pengasuh pondok mengeluarkannya dari pesantren.
Kuncup-kuncup bunga semakin hari semakin bermekaran indah, seindah sang surya di pagi hari. Seindah hati kala malam bertahajud. Melukis indah di tepian hati.
Mawa masih menyimpan perasaan itu sampai detik ini. Terlebih perasaan itu semakin beranak pinak karena keakrabannya dengan pemuda yang mengisi hatinya.
Tetapi di balik itu tak jarang dia menangis di keheningan malam sambil menengadahkan kedua tangannya ke atas saat ribuan mata terlelap dalam tidur. Ia menangis karena takut kalau cintanya pada makhluk melebihi cintanya kepada Ilahi Rabbi. Mawa beristighfar memohon ampunan atas segala dosa-dosanya.
Hari ahad, keluarga ndalem sedang menghadiri pengajian akbar di daerah ponorogo. Hanya gus Bayu putra terakhir dari gus Yusron yang tidak ikut pengajian. Sehingga Mawa diberi amanah agar mengasuh gus Bayu.
Saat sedang asyik mengajari gus Bayu membaca Iqra', ada tamu mengetuk pintu.
"Mbak, cepetan bukain pintu!" perintah gus Bayu dengan gayanya yang lucu.
"Iya gus!" jawab Mawa, seraya membukakan pintu untuk tamunya.
Ternyata yang datang orang tua santri. Mawa mempersilahkan duduk tamu tersebut. Dia masuk ke dapur untuk membuatkan minuman dan menghidangkannya.
"Mbak, apa gus Yusron dan bu Nyai ada?" Tanya tamu, seorang ibu.
"Beliau sekeluarga sedang menghadiri pengajian akbar di ponorogo. Kalau boleh saya tahu, ibu orang tua dari siapa?"
"Saya ibu dari Habibi dan ini adiknya.sudah lama Habibi tidak pulang ke rumah. Makanya ibu sudah kangen ingin memeluk anak ibu yang sekarang mesti sudah dewasa. Mbak ini siapa namanya?"
"Oh…saya Zaenab, bu!"
"Oalah, anak ini Zaenab yang sering diceritakan Habibi pada ibu, ternyata ini to?"
"Maksud ibu?"
"Habibi sering bercerita tentang Nak Zaenab pada ibu. Maklumlah, anak laki-laki yang dibicarakan pasti soal perempuan. Habibi benar, ternyata Nak Zaenab ini cantik, sopan, cerdas pinter berdakwah lagi, tentu orang tua Nak Zaenab bangga mempunyai putri seorang Nak Zaenab ini."
"Bu, saya tidak merasa bisa berdakwah."
"Tidak perlu merendah Nak Zaenab. Ibu dengar beberapa bulan yang lalu masuk televise dalam acara lomba pidato sepropinsi dan dapat juara satu kan? Tapi sayang ibu tidak melihat acara itu. Ibu tahu dari Habibi."
Zaenab kaget bukan kepalang, bagaikan disambar petir di siang bolong mendengar penuturan Ibu Habibi. Ternyata selama ini yang Habibi kagumi adalah Zaenab Bintan Sholihatin yang pinter pidato bukan Zaenab atau Mawa dirinya.
Sungguh tidak pernah terlintas dalam benaknya akan kekeliruan itu. Jadi selama tiga tahun lamanya ia menyukai seorang yang ia kira juga menyukainya juga. Hatinya benar-benar kecewa, sakit hati, pedih menyatu menggumpal di dalam hati.
"Nak Zaenab kenapa diam?"
"E..sebenarnya saya bukanlah Zaenab yang ibu maksud. Disini ada dua anak dengan nama Zaenab. Saya dan yang satunya sedang pulang kampung."
Zaenab sekuat tenaga menutupi perasaannya yang terluka. Ia berusaha menampakkan keramahan di hadapan Ibu Habibi.
"Bu, kalau begitu saya panggilkan Kang Habibi dulu."
Ibu Habibi mengangguk saja.
Mawa menghampiri Habibi yang sedang jaga koperasi pondok.
Entah kenapa tiba di depan Habibi, berjatuhan butiran-butiran air mata di kedua pipinya.
"Mbak Zaenab, kenapa menangis?"
"Ah…tidak, hanya kelilipan saja. Kang, ibumu ada di ndalem sekarang. Cepat sana temui ibumu!"
Mawa segera menghilang dari hadapan Habibi. Air matanya semakin deras mengalir membanjiri pipinya. Ia tak kuasa menahan beban dalam batinnya. Perih hatinya teringat cerita Ibu Habibi.
Dia masuk ke kamar gus Bayu. Ia berusaha tersenyum tatkala gus Bayu memperhatikannya.
"Mbak Mawa habis nangis ya? Sudah besar kok masih suka nangis. Apa nggak malu sama aku?"
"Mbak Mawa nggak nangis kok. Hanya kelilipan saja."
"Oh..kemasukan debu matanya, nggak boleh bohong lho! Kata abah, kalau bohong disebut orang bunatik!"
Mawa spontan tertawa.
"Mbak kenapa tertawa?"
"Gus, yang benar itu munafik."
"Oh iya aku lupa. Mbak aku masih kecil koq sudah pikun ya? Astagfirullah!"
"sudah..sudah gus, jangan membuatku tertawa terus."
Mawa sesaat bisa menghilangkan sakit hatinya bersama dengan putra Kyainya.
Mawa mengajak momongannya jalan-jalan di taman samping ndalem. Bunga-bunga yang beraneka ragam jenisnya, terlihat menari-nari menyapa kedatangannya. Rumput-rumput hias seakan tertawa riang membalas senyumnya yang mengembang. Tumbuhan-tumbuhan seolah menatap ke arahnya.
Gus Bayu mengajaknya duduk di kursi yang ada di sudut taman. Melihat belalang di atas rumput, Bayu menghampiri hewan kecil itu.sementara Mawa duduk termenung. Lagi-lagi bola matanya memerah. Ia teringat akan luka hatinya.
"Ya Rabb, kenapa hamba harus merasakan semua ini padahal hamba pertama kalinya merasakan perasaan itu. Mengapa anugerah yang Kau berikan padaku membuatku menderita."
Bayu menoleh ke arah Mawa.
"Mbak, ngajak ngomong aku ya?"
"Enggak Gus"
Bayu makin asyik bermain dengan belalang.
Mawa mengusap air matanya yang meleleh dengan jilbab yang dipakainya.
"Mbak! Sebenarnya ada apa denganmu?" Tanya Habibi yang tiba-tiba muncul dihadapannya.
Mawa buru-buru mengusap air matanya.
"Nggak ada apa-apa."
"Aku bukan anak kecil yang mudah kamu bohongi. Sebagai teman aku tidak tega melihatmu sedih. Kalau ada masalah ceritalah, siapa tahu aku bisa membantu memecahkan masalah itu."
"Sungguh aku tidak apa-apa. Lebih baik kamu temani ibumu"
Padahal dalam hati Mawa memendam rasa sakit yang sangat. Ia tidak ingin ada seorang pun yang tahu tangisan hatinya. Cukup Allah yang mengetahui segala rahasia hati hamba-Nya.
Dia berhenti menangis tatkala tidak sengaja matanya menatap jam tangan yang menunjukkan pukul 09.35 WIB.
"Gus, yuk kita shalat dluha di kamarku." Ajak Mawa seraya beranjak dari tempat duduknya.
"Aku nanti mau berdoa. Mbak kalau berdoa pasti dikabulkan Allah ya?"
"Pasti Gus. Hanya saja kadang doa kita tidak seketika dikabulkan. Bisa saja ditangguhkan."
"O…begitu!"
Mawa mensucikan diri dengan air wudlu. Perasaanya perlahan-lahan mulai tenang.
Kemudian ia mengangkat kedua tangan bertakbiratul ikram diiringi niat shalat dluha dalam hatinya. Dalam kekhusukannya, dilantunkannya ayat-ayat al-Qur'an dengan tanpa suara. Hanya terlihat gerak-gerik bibirnya yang penuh khidmat membaca doa-doa shalat.
Di dalam koperasi pondok, tempat Habibi duduk menghadap sebuah buku bacaan. Buku yang menjadi temannya dikala dia sendiri. Buku kecil tapi menyimpan segudang ilmu.
Dari arah barat ada seorang yang berlari menuju ke arahnya.
"Kang Habibi!" teriak orang itu.
Tiba dihadapan Habibi, orang itu mendengus panjang mengatur nafasnya yang tak beraturan.
"Ada apa kang?"
"Berita buruk…." Kata kang Rahman serius.
"Maksudmu apa kang Rahman?"
"Begini, sewaktu aku pulang ke rumah, aku melihat rombongan orang bermobil berkunjung ke rumah Zaenab."
"Terus..!"
"Terus kedatangan mereka tak lain adalah untuk melamar Zaenab. Dan gawatnya lagi, Zaenab dan keluarganya menerima lamaran itu."
Habibi diam sebentar.
"Kang Rahman, tak apalah, toh jodoh hanya Allah yang berhak menentukannya. Mungkin memang sudah takdir, aku dan dia tidak berjodoh. Tenang saja aku tidak akan sakit hati."
"Beneran kang Habib?"
"Iya, sebenarnya jauh hari setelah aku mendengar kabar kalau dia mendapat juara lomba pidato beberapa bulan yang lalu, aku agak ragu sama dia."
"Kenapa?"
"Entahlah, aku merasa tidak pantas saja. Dia orang sukses, sedangkan aku biasa saja kan?"
"Kamu jangan merendah gitu kang."
Habibi kembali terfokus pada buku yang dibacanya. Rahman sendiri duduk-duduk menemani Habibi.
"Kang Habib, aku heran sama kamu."
"Kenapa memangnya?"
"Kok kamu bisa tegar banget. Udah tahu wanita idamannya dilamar orang, bukannya sedih malah keasyikan baca buku."
"Jadi, kamu ingin melihatku menangis?"
"Bukannya begitu, umumnya kan sakit hati?"
"Kang, kalau sakit hati itu tentu ada walaupun tidak seberapa. Sebenarnya aku juga bingung sendiri dengan perasaanku."
"Maksudmu?"
"Aku bingung, sebenarnya aku itu suka atau sebatas kagum saja sama Zaenab, kalau suka aku tidak patah hati. Tapi aku juga merasa sayang dia."
"Kok bisa begitu?"
"Entahlah, Wallahu a'lam"
Hari semakin gelap.
Selepas shalat maghrib, Mawa ketiduran di kamar. Dari mukanya ia terlihat kelelahan. Tidak hanya lahirnya juga lelah batinnya.
Beberapa saat kemudian, ada seseorang menepuk tangannya.
"Mbak Mawa, bangun…bangun!"
Mawa membuka matanya pelan.
"Terima kasih mbak Binti, sudah membangunkan." Katanya seraya berdiri hendak berwudlu.
Jalannya sempoyongan karena rasa kantuk masih menghinggapinya.
Santri putri berderet antri untuk berwudlu di kamar mandi. Fasilitas kamar mandi memang masih minim. Tapi rencananya tahun depan kamar mandi santri putri akan ditambah ruangannya mengingat jumlah santri juga semakin bertambah tiap tahunnya.

Bagian 9
HABIBAH HIDUPKU
Di bawah terangnya lampu penerang kantor, beberapa ustadz dan pengurus sedang bermusyawarah membahas rencana ziarah ke walisanga. Mendengar rencana tersebut, para santri bersenana hati. Berapapun ongkos naik bus tidak jadi masalah bagi mereka. Asalkan sampai ketempat yang dimaksud.
Akhirnya berdasarkan kesepakatan bersama, seminggu lagi mereka akan ziarah ke walisanga. Mengunjungi makam para wali yang tersebar di Indonesia. Untuk mendoakan para pejuang dan pembela agama Islam di nusantara.
Seminggu kemudian, rencana itu benar-benar di laksanakan. Pagi setelah subuh, semua santri berkumpul di depan masjid menunggu kedatangan bus sewaan. Alhamdulillah baru menanti beberapa menit busnya telah datang. Semua santri menempatkan dirinya masing-masing sesuai dengan tempat yang sudah diatur oleh pengurus yang menanganinya.
Mawa duduk di kursi yang paling belakang di dekat jendela.
Setelah semuanya menempatkan diri, semua santri dan pengasuhnya berdoa bersama-sama memohon kepada yang kuasa agar diberikan keselamatan sampai tempat tujuan. Di sepanjang perjalanan ia memperhatikan pemandangan alam yang begitu indah memikat hati. Pemandangan sejuk yang mampu menyejukkan hati dan pikiran untuk sejenak. Sebagai obat hati yang tertusuk duri-duri tajam.
Tiba-tiba saja dia teringat akan sakit hatinya. Ingin rasanya dia menangis lagi sepuas-puasnya. Karena dengan menangis, beban di hatinya sedikit berkurang.
"Ya Allah. Ampunilah dosa-dosaku. Karena selama ini aku sering melupakanMu. Hingga akhirnya aku terjatuh sendiri."
Pandangannya menghadap ke jendela. Ia tak ingin ada orang yang melihatnya menangis. Berkali-kali diusapnya air mata yang tak henti-hentinya mengalir. Sambil lisannya berdzikir menyebut asma Allah.
Binti yang duduk dengannnya mempeerhatikan tingkahnya yang pendiam akhir-akhir ini.
"Dek lihatlah aku!"perintah binti.
"Untuk apa mbak?"Mawa bertanya tanpa menatap Binti sedikitpun.
"Kalu punya masalah jangan di pendam sendiri. Bagusnya kamu curhat sama orang yang menurutmu bisa dipercaya. insyaAllah dengan kamu menceritakan keluhkesahmu pada orang lain, beban hatimu akan berkurang. Cobalah apa yang aku katakana."
Pada hari kedua setelah mengunjungi makam Sunan Kudus, rombongan keluarga pondok pesantren menuju makam Sunan Ampel. Hari kedua adalah hari yang berkesan dalam kehidupan Zaenab Al-Mawaddah. Karena luka hatinya telah terobati.
Waktu itu, semua santri berdoa di makam Sunan Ampel. Kebetulan ia kedatangan tamu tak diundang yang datang setiap bulan. Sehingga ia menunggu di bus. Ketika sedang menghayati buku bacaan, ada seseorang yang masuk dengan menggendong Bayu.
"Gus, lihat mbak Zaenab rajin baca buku ya."
"Iya itu bagus. Daripada bobok di dalam bus kayak kang Habibi."
"Mbak lagi sakit ya? Kok tidak ikut tahlilan di makam?"
"Saya tidak pantas kesana. Lagi tanggal merah. Kang Habibi sendiri sedang ngapain di sini?"
"Ini gus kecil minta naik bus."
Mawa kembali membaca buku. Habibi kelihatan seperti orang bingung.
"Mbak! Aku boleh ngomong sesuatu?"
"Ngomong aja kang!"
"Sebenarnya…."
"Sebenarnya apa?"
Habibi tampak ragu untuk mengatakan sesuatu kepada Mawa. Lama sekali ia berdiri di depan Mawa. Membuat Mawa jadi canggung.
"Kang ada apa?"
Habibi senyum-senyum penuh arti.
"Kang tidak enak sama santri lain."
"Kalau begitu aku beri tahu nanti saja ya."pemuda itu berlalu meninggalkan dirinya.
"Ya Rabb! Kenapa Habibi sama sekali tidak memahami isi hati."ucapnya dalam hati.
Pemuda itu mengajak gus kecilnya menuju makam Sunan Ampel. Gus Yusron sedang khusyuk-khusyuknya mendoakan ahli kubur yang diamini santri-santrinya.
Bayu merengek tidak mau ke makam. Ditariknya tangan kanan Habibi dan diajaknya menuju ke tempat parkir bus.
"Ada apa lagi gus?"
"Aku ingin naik bus saja."
"Nah…di dalam bus ada mbak zaenab. Lebih baik gus Bayu ikut mbak Zaenab saja ya?"
"Ah…tidak mau. Aku ingin ikut kang Habibi saja."
"Kalau ikut sama saya, di luar saja. Soalnya di dalam bus ada santri putri. Kalau abah tahu, nanti dikira saya dan mbak Zaenab berpacaran."
"Biar saja, yang penting Allah tahu kalau Kang Habibi tidak pacaran dengan mbak pondok. Ayo cepat!"
Bayu semakin erat menarik tangan Habibi. Mau tidak mau ia menuruti keinginan gusnya.
Tiba di dalam bus, dengan lincahnya gus kecil naik ke dalam bus. Sementara dari luar pintu bus, Habibi mengintip bidadarinya yang masih asyik membaca buku. Dengan perasaan tak menentu dia memasuki bus tersebut.
"Mbak Zaenab! Apakah seorang laki-laki boleh menyukai lawan jenisnya dalam suatu pesantren?"
Kenapa tidak. Perasaan suka itu datangnya dari Allah. Tapi kita juga lihat situasinya Kang. Dalam agama Islam yang namanya pacaran tidak diperbolehkan bukan? Kita boleh saja menyukai orang. Tapi tidak boleh berpacaran. Memangnya ada apa Kang?"
"Sebenarnya aku sendiri yang mengalami hal itu. Perasaan itu muncul entah kapan mulainya. Yang jelas aku kagum akan akhlaknya yang terpuji, sopan dan juga perhatian. Pernah dia begitu panik melihatku terjatuh dari meja sewaktu aku memperbaiki lampu."
Habibi menatap wajah bidadarinya lekat-lekat. Kemudian lisannya ber-istighfar tatkala sadar kekhilafannya memandang wanita yang bukan muhrimnya.
"Kang, maksudmu aku?" Tanya Mawa dengan nada tidak percaya.
"Iya, aku akan menemanimu tiga tahun lagi. Apakah engkau mau menjadi habibahku? Yang akan siap hidup denganku kala suka maupun duka?"
Zaenab al-Mawadah tertunduk malu. Dalam hati kecilnya ia ingin berteriak untuk mengatakan "iya" pada Habibi.
Gus Bayu asyik bermain robot-robotan. Sementara Habibi dan Mawa diam tak menentu.
"Apakah kamu mau menjadi Habibahku?" Tanya Habibi sekali lagi.
Tiba-tiba Zaenab mengangguk pelan. Habibi seakan masih belum percaya akan jawaban Zaenab. Ia mengulangi pertanyaannya sekali lagi dan Mawa mengangguk lebih mantap lagi.
Tak tergambarkan kebahagiaan di dalam dada mereka. Terlebih Zaenab, ia bersyukur dengan sepenuh hati akan anugerah terindah dari Sang Khaliq.
Akhirul kalam, Habibi menanti calon bidadarinya tiga tahun lamanya. Laki-laki itu semakin mantap dengan pilihan hatinya.

Tidak ada komentar: